“Pacet!” seru Endi dan Doni nyaris bersamaan. Alang menjentikkan jari. Sekejap makhluk penghisap darah itu mencelat entah ke mana. Serentak Doni dan Endi berdiri. Bergidik melihat ke sekujur tubuh, kaki dan tangan. Wajah mereka tampak tegang. Alang tersenyum meringis.
“Udah hilang, Bang. Melayang entah kemana.”
“Jijik dan geli!” ujar Doni bergidik.
“Iya. Lebih menjijikkan dari pada ular!” tambah Endi lagi.
Tak lama mereka pun melanjutkan perjalanan kembali. Tanda-tanda yang dibuat Alang memang cukup membantu. Mempercepat pergerakan mereka. Di tengah perjalanan, Endi memaki kesal. Mendapati beberapa ekor pacet, diam-diam berhasil menyusup, dan menggigit kakinya. ***
Menjelang tengah hari, para survivor sudah berkumpul. Hanya Tim Pencari Air yang belum kelihatan. Orang-orang itu duduk membentuk lingkaran besar. Tim Kabin telah mengumpulkan puluhan kotak snack dan air mineral. Puluhan tas dari berbagai macam bentuk dan model. Juga empat kotak kardus besar. Ada yang utuh. Ada yang terbakar separuh, serta ratusan benda yang telah jadi arang. Mungkin masih banyak barang di kargo bawah yang terjepit. Tertindih badan pesawat dan sulit diambil.
“Selain jasad penumpang, kami berhasil menemukan puluhan barang. Baik dalam kondisi utuh, hancur, atau terbakar. Nanti kita dipilah. Mudah-mudahan masih ada yang bisa dimanfaatkan,” terang Prayit. Lalu terdengar gumaman para survivor yang bertanya kapan air dan makanan akan dibagikan. Tapi Prayit tak menjawabnya, karena terlihat Romo hendak bicara.
“Kami hanya mampu menggali lubang bekas lintasan pesawat. Itu pun tak lebar dan dalam. Tim terlalu letih dan haus. Oh ya, tim Doni belum kembali, sebaiknya kita tunggu mereka, atau—,”
“Langsung saja, Pak! Bagikan saja air atau makanan itu. Kami sudah sangat haus dan lapar!” Seseorang berteriak memotong perkataan Romo.
“Iya, Pak. Kami lapar!”
“Kami haus!” Suara keluhan itu sahut-menyahut. Romo mengangkat tangan.
“Baik. Sekarang biar Tim Kabin memilahnya dulu. Barang-barang pribadi, akan dibiarkan di tempatnya masing-masing. Nanti pemilik sah boleh mengambilnya.” Jelas Romo. Tim Kabin dibantu Dewi, Kikan dan Lia untuk memilahnya. Memisahkan berdasar kategori: makanan, minuman, pakaian, buku dan sebagainya. Tampak seseorang mendekati Ican yang tengah memeriksa isi travel bag warna coklat.
“Itu punyaku. Berikan kepadaku!” Orang itu berteriak. Ican bingung. Belum sempat ia bicara, orang yang mengaku pemilik tas itu menariknya.
“Tunggu sebentar. Bukankah kita harus ber—,”
“Ini memang punyaku! Bisa kubuktikan apa isinya. Isinya cuma barang-barang pribadiku!” tepisnya sengit. Memotong perkataaan Ican. Terjadi tarik menarik di antara mereka.
“Sebentar!” Prayit mendekat sembari mencoba melerai.
“Kalau pemiliknya tak jelas, wajar kita bagi. Tapi tas ini benar-benar punyaku!” tegas lelaki itu lagi. Melihat kejadian itu beberapa orang mulai berteriak. Mengakui sejumlah barang-barang. Bahkan beberapa orang menyeruak ke arah Tim Kabin.
“Betul. Yang warna hitam itu tasku!”
“Kardus coklat itu punya saya!”
“Berikan milik kami!” Suasana berubah gaduh. Makin banyak yang berteriak mengaku sebagai pemilik barang. Prayit dan Romo maju menghadang.
“Tahan sebentar!” Lagi-lagi Romo mengangkat tangan.
“Sudahlah, Pak. Jangan banyak pidato. Kami letih, lapar juga haus. Berikan saja. Kami juga tak mengambil milik orang!” Tegas satu suara.
“Tolong dengarkan dulu. Saya mohon. Setelah itu, terserah kalian. Jika itu memang itu hak kalian!” seru Romo serius. Gumaman para survivor perlahan menghilang. Suasana kembali senyap.
“Bukan hal mustahil, jika barang-barang ini memang milik kalian. Untuk kebutuhan dan keperluan pribadi. Tapi tolong dipahami. Sekarang kita adalah sekumpulan korban. Sama-sama terkurung di hutan antah berantah. Kita tak akan bisa bertahan, jika berpikir sendiri-sendiri. Hanya kebersamaan yang akan menguatkan kita. Mari tanya nurani kita sejenak. Masih bisakah kita berbagi dalam kondisi seperti ini?” Suara Romo semakin parau. Semua bungkam. Suasana mendadak kaku.
Mereka memang terdiri dari banyak jiwa dengan pola pikir berbeda. Terkumpul dari berbagai lapisan, golongan strata serta lingkungan sosial yang beragam. Tentu punya kadar toleransi yang berbeda. Bukan hal mudah untuk mengubah pola pikir dalam waktu yang singkat. Apa lagi jika telah terbiasa egois atau soliter. Hanya memikirkan diri atau keluarga sendiri. Apa lagi dalam kondisi sulit dan tertekan. Sikap buruk bisa saja muncul dari pribadi yang sebelumnya baik. Secara tersembunyi atau terang-terangan.
“Kita semua lapar, haus, luka, bahkan masih ada yang koma. Semua menderita. Tapi—apa kita betul-betul tak bisa berbagi sedikit pun?!” Prayit angkat bicara. Berjalan menyeruak ke tengah-tengah lingkaran. Matanya berputar menjelajahi wajah-wajah kuyu di sekelilingnya. Semua tertunduk diam.
“Pemilik sah juga tak kan bisa mendapatkan barangnya, tanpa kerja keras Tim Kabin. Kami yang mengais, dan mengeluarkannya. Memilahnya di antara potongan tubuh dan kepala. Tentu kami yang lebih berhak! Karena kami yang menemukan!” Suara Prayit makin tajam. Lima detik kemudian, mulai terdengar gumaman para survivor yang menentang pernyataan Prayit.
“Ya! Tapi kami tak pernah berniat begitu. Karena ini dilakukan untuk kita, bukan untuk pemilik, atau yang menemukan.” tegas Prayit. Diam-diam Kiki yang sempat bertindak konyol, merasa wajahnya dibebani batu seberat satu ton. Makin menunduk menatap tanah.
“Tim Gali—harus menggali dalam kondisi lapar, haus, dan terluka. Agar jasad saudara-saudara kita bisa segera dikuburkan. Supaya tak terlantar dan membusuk. Tim Jaga—di saat mereka cidera, butuh dorongan moral, harus menutupi kepedihan mereka sendiri, demi memberi semangat bagi korban lain. Tim Pencari Air—harus menjelajahi kawasan hutan asing dan liar. Bahkan berbahaya. Entah dapat atau tidak. Bisa kembali atau tidak, tapi mereka tetap berangkat. Semua itu dilakukan untuk siapa? Tolong jawab?!” Nada suara Prayit meninggi. Tarikan napasnya terdengar berat akibat luapan emosi. Hening. Tak ada seorang pun yang menjawab.
“Ini semua untuk kita—tanpa terkecuali! Jadi tolong—buka sedikit nurani kita. Kita hanya berbagi apa yang bisa dimanfaatkan orang banyak. Itu saja.” Nada suara Prayit perlahan menurun, parau, lalu bungkam. Matanya tampak memerah berkaca-kaca. Suasana kian hening. Perlahan orang yang merebut tas dari tangan Ican mendekati. Dengan kepala tertunduk ia menyodorkan tas itu kembali.
“Maaf—.” Hanya kalimat itu yang ia ucapkan. Suaranya tersendat. Ican mengangguk. Orang itu berbalik. Berjalan menjauhi kerumunan. Menuju ke sebuah pohon, lalu duduk bersandar di bawahnya. Menyembunyikan wajah di balik kedua lengannya. Bahunya tampak berguncang. Ia menangis sesenggukan. Semua menatapnya nanar. Tak ada lagi yang bergumam, apa lagi berkata-kata.
Tim Kabin melanjutkan tugasnya kembali. Memilah serta mengumpulkan makanan. Ada empat puluh lima snack, dua puluh dua gelas air mineral, tiga botol air mineral isi satu koma lima liter, dua belas minuman kaleng, tujuh bungkus keripik, dua puluh kotak bolu lapis. Beberapa potong baju dan celana. Beberapa jaket, sepatu, sandal, topi, kamera, discman, laptop, serta barang-barang pribadi yang hanya berguna bagi pemiliknya. Namun tak semua barang-barang itu utuh. Sebagian besar sudah rusak atau terbakar.
Tim Kabin membagikan makanan dan minuman. Terhitung survivor berjumlah dua puluh tujuh orang. Logistik dibagikan berdasar jumlah survivor yang siuman, yakni dua puluh empat orang. Masing-masing satu snack kotak dan segelas air mineral. Wajah para survivor tampak berbinar. Begitu lahap menyantap snack kotak yang makin layu. Namun tak lama kembali terdengar gumaman tak puas. Saling berbisik dan bertanya, kenapa makanan itu tak dibagiratakan sekaligus. Sekotak snack dan segelas air, tak akan mampu menghilangkan lapar dan haus yang mendera.
“Kami masih lapar, Pak. Kami tadi menggali. Apa kami tak diberi sedikit lebih?” Tawar laki-laki bernama Suba. Beberapa anggota Tim Gali mengangguk mendukungnya. Prayit mengatupkan geraham. Matanya menghujam ke arah Suba.
“Berapa kali saya katakan. Tak ada yang paling berhak. Paling lelah, apa lagi paling berjasa. Semua sama. Kita harus hemat, karena kita tak tahu, besok bisa makan atau tidak. Atau—kau bisa menjamin besok masih bisa makan, jika semua dihabiskan hari ini?” tantang Prayit. Suba tercekat. Tentu ia tak berani. Ia pun berlalu dengan kepala tertunduk.