"Sinar semangatnya membuat suram terkikis perlahan."—One last time [01] LS.
***
"Daddy, oh Daddy!"
Anak lelaki yang mengenakan jersey bola dengan nomor punggung tujuh itu masuk ke dalam rumah sembari berteriak memanggil sang ayah. Namun, yang dipanggil tak juga menunjukkan batang hidungnya.
Gema mengempaskan tubuhnya di sofa, menanggalkan sepatu dengan merek kenamaan yang saat ini melekat di kakinya. Netra remaja itu bergerak lincah menilik seluruh isi rumah; mencari keberadaan ayah kesayangannya.
"Biasakan mengucap salam ketika masuk rumah, Gema."
Gema tersenyum riang. Ia berlari kecil menghampiri sang kakek yang sekarang berdiri pada anak tangga terakhir, menyalaminya sebelum akhirnya bersuara. "Hallo, Opa. Daddy mana? Kok enggak kelihatan?"
Adam tak menjawab karena sosok yang tengah mereka perbincangkan muncul.
"Kamu kalau udah main bola suka lupa pulang, ya, Ge. Ini jam berapa coba?"
Gema meringis mendengar ayahnya mengomel. Ya, bukan salah Gema. Siapa suruh bermain bola itu menyenangkan. Gema jadi merasa terikat dan tak bisa lepas dari olahraga satu itu. "Udah hampir magrib, Dad. Maaf, tadi mainnya seru, sampai ada perpanjangan waktu, jadi agak lama deh."
Abizar geleng-geleng. Putra tunggalnya itu memang kecanduan berat pada sepak bola. Gema pernah dengan lugas mengatakan kalau suatu saat ia pasti bisa menjadi bagian dari Tim Nasional Indonesia. Abizar tak keberatan jika saja Gema bisa mengelola waktunya dengan baik, tak mengesampingkan belajar dan istirahat.
"Kamu mandi dulu, sebentar lagi magrib. Setelah salat, kita makan sama-sama."
"Siap, Kapten!" sahut Gema sembari berlalu dari hadapan ayah dan kakeknya.
Abizar mengulum senyum melihat kelakuan putra kesayangannya. Keceriaan dan semangat Gema memang selalu berhasil menjadi pengusir lelahnya.
"Kamu harus bersiap seandainya suatu hari nanti Gema bertanya tentang keberadaan ibunya."
Senyum itu perlahan memudar. Abizar menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku sama Gema sudah cukup bahagia, Pa. Gema tidak akan bertanya kalau Papa mau bekerja sama untuk tetap diam dan menutupinya."
"Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Cepat atau lambat, dia akan mulai bertanya. Seandainya hari itu tiba, tolong katakan yang sejujurnya dan biarkan Gema tinggal bersama ibu kandungnya."
"Pa, tolong--"
"Kamu masih muda, butuh pendamping. Jangan terus memikirkan dan mengurusi anak yang bukan darah dagingmu."
"Aku dan Kiara masih terikat, Pa. Jadi, Gema itu putraku. Aku mohon, biarkan kami tetap bahagia."
***
[Vegassoccer]
Galuh
Gila kaki gue sakit, woy!
Fauzan
Sabar, Bro. Main bola tanpa benturan enggak berasa main bola.
Septian
Tapi, parah sih SMA Pictor emang kasar banget mainnya.
Gema yang saat ini duduk bersila di atas tempat tidur hanya mengangguk-angguk membaca pesan yang masuk. Ia membenarkan pernyataan Septian. SMA Pictor memang lawan yang tangguh, tapi kasar. Gema selaku penyerang pun berkali-kali dijatuhkan ketika mulai mendekati area terlarang.
Me
Lain kali lebih hati-hati aja.
Galuh
Gema Mas Bro! Lo gimana? Kayaknya lo yang paling banyak dapat gempuran.
Septian
Iya, Ge, lo gimana? Enggak ada cedera yang serius, 'kan?
Me
Aman, selama Daddy enggak tahu!
"Ge."
Karena terkejut, Gema melempar asal ponselnya. "Daddy, bikin kaget aja."
"Bukannya istirahat, kamu malah mainan ponsel."
"Daddy ngomel terus. Lekas tua nanti."
Abizar duduk di sebelah Gema, mengulurkan tangan, lantas mengacak rambut anak itu. Meskipun sudah 16 tahun, tapi bagi Abizar, Gema tetap putra kecilnya. Rasa sayangnya tak berkurang sedikit pun. Keinginan untuk tetap memanjakan Gema juga tak pernah luntur.
"Enggak biasanya selesai makan malam kamu langsung pamit ke kamar. Sakit?"
Gema menggeleng. Kalau ia berterus terang tentang kejadian yang menimpanya selama pertandingan tadi, bisa-bisa itu akan menjadi pertandingan terakhirnya. Sang ayah tidak akan mengizinkannya bermain bola lagi jika tahu Gema terluka. Tidak ada yang parah memang, hanya lututnya lecet dan badannya terasa remuk. "Aku enggak apa-apa, Dad. Ngantuk aja. Eh, pas di kamar malah enggak ngantuk sama sekali."
"Syukurlah. Besok pulang jam berapa? Daddy jemput, ya?"
"Daddy enggak ke kantor? Aku pulang sama Galuh aja. Dia bawa motor sendiri kok."
"Sengaja mau pulang siang. Gak boleh. Dia belum punya SIM udah berani bawa motor. Kalau ada apa-apa nanti repot."
Bibir Gema mengerucut. Selalu saja begitu. Ya, ia memang manja jika di rumah, tapi gengsi juga bila di hadapan teman-temannya Gema terlihat seperti itu.
Tanpa menyahut, Gema bangkit dari duduknya. Lelaki itu berjalan gontai menuju balkon kamar. Langit tak sedang mendung. Gemerlap bintang tampak jelas dalam bentang langit malam. "Daddy, sini deh."
Mau tak mau Abizar mengikuti putranya. "Ada apa?"
"Bintang yang paling terang itu pasti Mommy. Daddy percaya enggak kalau suatu hari nanti aku juga akan jadi bintang yang bersinar terang seperti Mommy?"
Abizar diam, masih berusaha menafsirkan makna dari kalimat yang meluncur begitu saja dari mulut Gema. "Bintang apa?"
Dengan percaya diri Gema menjawab, "Bintang lapangan. Daddy dan Mommy nanti pasti bangga."
Terharu sekaligus miris. Gema terlalu percaya bahwa ibunya wanita baik.
"Ge, kamu bahagia hidup sama Daddy?"
"Jelas. Tapi, aku pasti lebih bahagia kalau Mommy masih ada. Sayangnya Allah lebih mencintai Mommy dan mau cepat-cepat bawa Mommy ke surga."
Sesak menghimpitnya. Abizar kembali terkurung dalam kesakitan dan rasa bersalah.
Melihat raut terluka sang ayah, Gema buru-buru menghiburnya. "Daddy tenang aja. Aku udah enggak sedih kok. Aku tetap bangga dan bahagia dibesarkan sama Daddy. Setiap orang bertanya, 'kamu siapa?' aku pasti jawab keras-keras kalau namaku Gema Raihan Athaya, putra kesayangan Daddy Abizar."
Abizar merentangkan tangan, merengkuh Gema ke dalam pelukannya. "Daddy sayang kamu, Ge. Jangan pernah tinggalkan Daddy."
|Bersambung|