CHAPTER 2

1256 Words
Maxime menyempatkan diri untuk pergi ke gedung olahraga karena dia tergabung dalam tim futbol. Pria itu melihat teman-temannya tampak sedang berlatih di lapangan dan beberapa dari mereka sedang melakukan pemanasan. "Hai, Max!" Teriak salah satu temannya, Eduardo. Lelaki berdarah Italia itu merupakan salah satu sahabat terbaik yang Maxime punya karena Eduardo tidak bermuka dua seperti orang kebanyakan. Maxime hanya melambaikan tangannya lalu dia memilih untuk duduk di kursi panjang sambil mengeluarkan earphone dan ponsel. "Hari ini kau mau latihan?" Tanya Eduardo. "Tentu saja. Aku tidak ada kerjaan sore ini." "Baguslah. Ngomong-ngomong, kau pacaran dengan Stacy, ya? Beritanya menyebar di sekolah." Maxime sudah menduga kalau ini akan menjadi rumor besar di sekolah mereka. Maxime, seorang berandalan sekolah kini berpacaran dengan p*****r paling terkenal di sekolah mereka. Bukankah cocok? "Aku hanya iseng." "Kau memang benar-benar. Ku kira kau bakal pacaran dengan Elea." Maxime lantas menaruh kembali ponsel ke dalam tasnya. Sebegitu dekatnya kah dia dengan Eleanor sampai semua orang mengira mereka pacaran? "Tidak, dia bukan kekasih ku. Kami hanya teman." "Hmm, berarti aku boleh menjadi kekasihnya ‘kan?" "Tidak boleh. Kau punya barang yang kecil," Candanya. Eduardo memukul bahu Maxime karena kesal,"Dasar mulut ular!" Maxime tertawa melihat tingkah Eduardo, tapi sebenarnya di dalam hatinya bukan itu yang ingin dia sampaikan. Dia tidak mau Eleanor pacaran dengan siapa pun. Gadis itu tidak boleh memiliki hubungan selain dengannya saja. Melihatnya dengan Ethan saja, Maxime sudah sangat marah apalagi orang lain. Maxime sebenarnya tidak ingin ke lapangan, tapi dia tahu kalau setiap hari Kamis Eleanor akan berada di sini untuk melihatnya latihan. Lelaki itu tidak ingin mengecewakan Eleanor siang ini, makanya dia memaksa untuk datang kemari. Seperti dugaannya, Eleanor datang. Sahabat masa kecilnya itu duduk di tribun sambil menenteng buku pelajaran di tangannya. Maxime tahu kebiasaan Elea kalau sedang memerhatikan diam-diam, dia pasti akan pura-pura membaca buku. "Sudah lebih baik kau latihan sana, dummy. Aku mau jogging dulu." Maxime lekas memasang earphone di telinganya lalu dia menyetel musik sebagai penghantarnya melakukan jogging. Maxime sengaja berlari ke arah Eleanor terlebih dahulu karena dia ingin memastikan kalau Elea akan melihatnya. Benar saja, mata itu tidak bisa dibohongi. Eleanor memang sedang melihatnya dari atas tribun. Maxime kembali melanjutkan larinya seperti biasa karena dia tahu kalau Eleanor akan selalu berada di sana sambil menunggunya. Setelah selesai dengan latihannya, Maxime duduk di bangku panjang. Matanya melirik ke arah tribun dan Eleanor sudah tidak ada lagi. Gadis itu terkadang membuat dia gemas, tapi Maxime tidak mungkin mengatakannya. Dia menyudahi latihannya dan berpamitan dengan semua teman-temannya. Lelaki itu menyambangi perpustakaan karena dia tahu kalau Eleanor pasti berada di sana setelah puas melihatnya latihan di lapangan. Bukan bermaksud percaya diri, tapi memang itulah kebiasaan Eleanor. Benar saja, Maxime melihat Elea di perpustakaan. Gadis itu tampak sedang memilih buku. Sedari tadi bibirnya gatal untuk menjahili Elea, tapi dia selalu teringat kejadian tiga hari lalu, di mana Elea lebih memilih untuk memeluk Ethan daripada dirinya. "Kak Maxie?" Suara cempreng Queenie membuat dia kaget. Adiknya itu tiba-tiba saja berada di sini. "Kenapa kau di sini?" Tanya Maxime. "Memangnya kenapa? Aku sudah pulang dan Eleanor bilang kalau aku harus menunggu di sini," Jawabnya kesal. Maxime tidak lagi membalas, dia berbalik pergi meninggalkan adiknya, tapi tak lupa mengatakan kalau dia menunggu Queenie dan Eleanor di parkiran. Beberapa saat setelah dia menunggu di parkiran, Stacy datang. Perempuan gatal itu langsung bergelayut di lengannya dan mengeluarkan ekspresi manja yang menyebalkan. "Stacy, jangan seperti ini..." "Kenapa sih, Maxie sayang? Malam ini kita jadi kencan, kan?" Bertepatan dengan pertanyaan itu, Queenie dan Eleanor muncul. Elea menundukkan wajahnya saat mendengar kalau malam ini Maxime hendak mengajak Stacy kencan. Maxime melihat wajah Elea yang tertunduk, tapi entah kenapa dia merasa sedikit terganggu dengan itu. "Hmm, nanti aku pikirkan." "Ihh! Kau siapa, sih?! Aku adukan Mamaku nanti!" Queenie mendorong Stacy dari Kakaknya karena merasa jijik melihat perempuan gatal itu. Wajah Stacy tampak tidak setuju lalu dia hendak berpaling sebelum wajahnya tak sengaja berpapasan dengan Eleanor. "Maxie, besok pagi jemput aku ya? Aku mau pergi ke sekolah denganmu," Ucapnya manja. Maxime tidak mengatakan apapun, dia langsung masuk ke dalam mobil tanpa memedulikan Stacy. Queenie pun ikut masuk ke dalam mobil setelah memberikan tatapan tajam kepada Stacy. Ketika Elea hendak membuka pintu mobil, suara Stacy menahan pergerakannya. "Jangan merasa bangga karena bisa terus berdekatan dengan kekasih ku, pecundang. Aku pastikan mulai besok hidupmu tidak akan pernah tenang lagi." Eleanor menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, tapi dia tak mengatakan apapun. Gadis itu lekas masuk ke dalam mobil agar terhindar dari ancaman Stacy yang mengerikan. Memang, dia sering menerima cacian dari teman-teman di sekolahnya. Namun, ketika Stacy yang mengatakan itu, entah kenapa Elea merasa sangat tidak tenang. Dia takut kalau Stacy serius dengan perkataannya karena setahunya, Stacy adalah gadis yang sangat pemberani di sekolah. Sesampainya di rumah, Eleanor langsung keluar mobil. Dia berlari kecil ke dalam kamarnya karena kepalanya sudah begitu pusing. Besok Maxime akan pergi dengan Stacy, itu artinya dia tidak punya kesempatan lagi. Eleanor menjatuhkan dirinya di atas ranjang, wajahnya terbenam di atas bantal dan ia mulai menangis. Eleanor merindukan ibunya, dia ingin ibunya yang memeluknya ketika sedang bersedih seperti ini. "Ibu, aku rindu padamu... Aku mau ikut denganmu saja," Bisiknya sambil menangis. Elea tidak mengunci pintu kamarnya, dia tidak mendengar kalau Maxime membuka pintu itu dan mengintip ke dalam. Jika ia bukan pengecut, mungkin saat ini dia sudah masuk ke dalam dan memeluk Eleanor untuk memberinya ketenangan. Namun, Maxime terlihat gengsi melakukan itu. Dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Maxime memilih untuk masuk ke dalam kamar Eleanor. Mata coklatnya tidak sengaja melirik ke arah paha putih gadis itu yang terlihat karena roknya sedikit tersingkap. Sungguh, dia bukannya sengaja. "Elea." Eleanor terkesiap begitu mendengar suara Maxime. Dia dengan segera membenarkan posisinya dan menghapus air mata yang berada di pelupuk matanya. "I-Iya, Kak Maxie?" Jika sudah di rumah, Eleanor akan memanggil Maxime dengan sebutan Kakak karena dari dulu dia memang terbiasa memanggil Maxime begitu. "Kau menangis?" "Aku... Aku hanya rindu ibuku." Maxime menatapnya iba. Walaupun Maxime masih kesal karena Eleanor memeluk Ethan beberapa hari yang lalu, tapi tidak bisa dipungkiri kalau dia juga tidak tahan melihat gadis itu menangis. "Malam ini aku mau pergi kencan bersama Stacy. Kau bisa bantu aku?" "Uhm... Bantu apa?" Maxime berjalan mendekat. Dia duduk di samping Elea dan menatap ke dalam bola mata sewarna madu itu dengan sedikit terpesona,"Menurut mu pakaian apa yang harus aku kenakan?" Eleanor menggaruk lehernya, dia tidak tahu kenapa tiba-tiba Maxime bertanya seperti itu. Sangat konyol dan tidak masuk akal baginya. "A-Aku tidak tahu, Kak." "Kau harus tahu. Kau harus pilihkan baju yang tepat untukku." "Ta-Tapi-" "Elea, kau sahabatku kan?" Eleanor mengangguk kaku. Dia memaksakan sebuah senyuman untuk menguatkan hatinya sendiri. Maxime mungkin akan selalu menganggap dia sebagai seorang sahabat, tidak pernah lebih. Eleanor harus tahu diri akan posisinya. "Jangan menangis. Kau membuatku khawatir." Maxime mengusap pipi Eleanor untuk menghilangkan sisa air mata yang masih menempel di pipinya. Elea terpaku dengan sentuhan tangan itu bahkan dia tidak bisa menghentikan detak jantungnya yang berdetak kuat. Cup! Maxime mengecup pipi kiri Eleanor lembut. Tradisi lama yang selalu terjadi sejak mereka masih kecil. Maxime akan mencium pipinya apabila Eleanor menangis. Mengingat itu saja membuat Elea sangat sedih. Dia mencintai lelaki ini, tapi Maxime tidak mencintainya. "Bo-Bolehkah aku memelukmu?" Tanya Eleanor. Maxime awalnya tak mengatakan apapun, tapi setelah itu dia langsung menarik bahu Eleanor ke dalam pelukannya. "Kau boleh memelukku, Elea. Maaf aku bersikap dingin kepadamu. Aku hanya tidak ingin orang-orang mengira kita pacaran." Bohong. Maxime sama sekali tidak ingin mengatakan itu. Yang sebenarnya terjadi adalah dia marah. Dia tidak suka ketika Eleanor memeluk Ethan dan menumpahkan kesedihannya kepada Ethan. Maxime membenci sikap Eleanor yang tidak menganggapnya ada. Hanya itu, bukan yang lain. Sedangkan Elea, dia tertawa sedih. Hatinya seakan remuk begitu mengetahui kalau lelaki yang ia cintai, tidak pernah mencintainya. Dia hanya seorang sahabat, tidak akan pernah menjadi lebih dari itu. Tanpa mereka berdua sadari, semua perkataan itu menyakiti hati mereka berdua. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD