Selamat Datang Kembali

2106 Words
Gania belum pernah merasa sebimbang ini saat ia memutuskan mengikuti keinginan kedua orang tuanya untuk tinggal di Desa Wania. Entah itu pilihan yang baik atau tidak, pastinya akan berbahaya jika mobil yang kini ditumpanginya melewati area perbatasan dan memasuki Desa Wania secara sembunyi-sembunyi. Apalagi malam ini terasa begitu mencekam karena hembusan angin yang sedikit kencang dengan kabut yang tebal ditambah rintikan air hujan membasahi dan menutupi kaca mobil membuat perjalanan terasa begitu lambat. Berkali kali Nyonya Amara, Ibu Gania bergantian dengan Ayah Gania, Tuan Randu yang mengemudi mobil untuk mengelap kaca depan mobil guna menghalau kabut dan uap air di kaca yang menghalangi pandangannya ke jalanan. Hanya cahaya dari mobil-lah yang menerangi perjalanan malam itu. Nyonya Amara memandang ke belakang tepat dimana Gania duduk sendirian dan memberikan tatapan menenangkan bahwa perjalanan mereka akan lancar dan selamat sampai di tujuan. Gania memilih menyenderkan kepalanya di jok belakang dan mengambil snack keripik kentang dari dalam tasnya untuk dimakan sembari mendengarkan alunan lagu dari ponsel pintar yang tersambung dengan earphone-nya. Pandangannya sekali kali melirik ke kanan kiri yang terlihat begitu gelap yang hanya terdiri dari hutan pepohonan tinggi nan rimbun yang bergoyang goyang karena tersapu oleh angin dan air hujan. Perjalanan kali ini terasa begitu membosankan dan menakutkan, pikir Gania, dan semoga saja sesampainya disana ia akan tenang dan merasa aman di rumah kayu berlantai dua milik kakek neneknya yang seingatnya sangat asri dan nyaman untuk ditinggali. Jika diingat-ingat, Gania hanya pernah sekali mengunjungi rumah kakek neneknya itu, dan waktu itu ia masih kecil, kira kira berumur 3 tahun. Dan setelahnya, ia tidak pernah mengunjungi dan menemui kakek dan nenek dari ibunya itu, bahkan sekedar berkomunikasi melalui telepon saja tidak diperkenankan oleh kedua orang tuanya, hal itu dikarenakan peraturan dari pemerintah Eriduan yang menutup segala hubungan komunikasi apapun dengan Desa Wania yang juga telah disepakati oleh negara musuhnya, Negara Porini. Entah sampai kapan kesepakatan itu akan berlangsung, namun nyatanya Gania sudah terlalu lelah berharap dan ketakutan disetiap waktunya. Hanya karena keegoisan dua penguasa, mereka rela membiarkan rakyatnya menderita, karena semua kehidupannya yang terlalu dibatasi dan kebebasan yang seolah olah mati. Tuan Randu memelankan laju mobilnya dan berhenti saat di depannya ada sebuah portal yang membentang menghalangi jalanan dengan dua bangunan pos kecil yang hanya memiliki satu lampu penerangan di bagian depan masing masing pos penjagaan. Satu dari penjaga di bagian pos kanan itu mendekat ke arah mobil dan Tuan Randu dengan segera menurunkan kaca pintu mobilnya membuat rintikan air hujan sedikit masuk ke dalam mobil. Pria jangkung itu sedikit membungkukkan badannya saat ia hendak berbicara kepada Tuan Randu. "Apa anda memiliki jaminan untuk memasuki desa Wania?" tanya penjaga dengan bekas codetan di pipi kanannya begitu Tuan Randu menyapa. Penjaga itu ternyata sudah mengetahui maksud dari perjalanan Tuan Randu karena memang jalanan di hutan ini hanyalah satu satunya akses dari negara Eriduan menuju Desa Wania. Saat itu Gania yang sedang tidur ayam membuat ia tak terlalu mendengarkan apa yang sedang ayahnya bicarakan selanjutnya bersama penjaga yang memakai atribut serba gelap itu. Namun yang pasti, setelah Tuan Randu menyerahkan sebuah amplop yang berisi surat keterangan izin, lembaran uang dan tembakau kepada pria itu, lantas saja ia memerintahkan kepada rekannya agar membukakan gerbang portal besi itu dan mempersilahkan Tuan Randu agar melanjutkan perjalanannya. Bukan perkara mudah bisa memasuki wilayah perbatasan Desa Wania, Tuan Randu sudah mempersiapkannya berbulan bulan lalu dengan meminta persetujuan dari atasannya yang merupakan ketua keamanan wilayah Kota Andora yang cukup tersohor di Negara Eriduan. Ini merupakan kesempatan bagus untuk memasuki Desa Wania karena kedua negara yang sedang berkonflik itu tengah melakukan genjatan s*****a selama 3 bulan, yang membuat keamanan sedikit melonggar. Tuan Randu melanjutkan perjalanannya setelah memberi salam hormat kepada para penjaga itu. Ia sesekali berbincang dengan Nyonya Amara, istrinya guna memecah keheningan selama perjalanan yang tersisa 5 km lagi. Gania membuka matanya setelah merasakan guncangan di bahunya yang berasal dari sang ibu dan memberitahu bahwa mereka telah memasuki Desa Wania dan sebentar lagi akan sampai di rumah kakek beserta neneknya. "Bangun sayang, sebentar lagi kita sampai di rumah kakek." Gania mengerjapkan kedua matanya, kini tidak ada hujan, kabut, ataupun angin besar yang menerpa selama perjalanan. Semua tampak senyap dan tenang dengan cahaya bulan yang kini nampak setengah melengkung, meskipun suara serangga ataupun suara hewan lainnya kadang bersautan saat mobil mereka melewati jalan aspal yang sudah tidak rapi lagi dan banyak berlubang. Kemudian Gania melihat sekeliling, dimana terdapat beberapa rumah sederhana bergaya kuno dan ber-cat gelap dengan lampu pijar di setiap rumah, dan beberapa titik lampu di sisi jalan dengan jarak rumah yang cukup lengang karena sedikitnya penduduk Desa Wania yang berbanding terbalik dengan wilayah tanahnya yang luas. Ada kesan misterius saat melihat rumah-rumah itu, pikir Gania. Namun kenyataannya, kehidupan damai dan makmur terjadi di Desa Wania di tengah tengah dua negara yang saling melempar s*****a dan korban jiwa. Gania menyadari kini lampu penerangan mobilnya dimatikan dan hanya mengandalkan lampu pijar dari sisi jalan dan rumah rumah penduduk. "Kenapa lampunya dimatikan yah?" Gania mencondongkan tubuhnya mendekati sang ayah dan bertanya dengan sangat penasaran karena itu sungguh jelas jelas berbahaya karena tidak terlihatnya jalanan di depan sana. Apalagi jalanan yang kini dilaluinya sangat bergelombang dan terdapat lubang lubang besar yang tentu sangat membahayakan keselamatan. "Ayah tidak mau membuat keributan dan membuat orang orang merasa was was dengan kedatangan kita." Jelas para warga akan sangat khawatir dan merasa asing saat melihat sebuah mobil melintas di jalanan Desa Wania, karena sudah bertahun tahun lamanya mereka tidak kedatangan orang asing dan juga kendaraan modern tersebut. Gania berpikir sesaat, ia juga menyadari bahwa ayahnya melajukan mobilnya pelan sekali, dan tidak menimbulkan suara yang begitu nyaring, deru khas mobil. "Nanti kalau besok mereka tahu kita datang dan ada di rumah kakek bagaimana?" bisik Gania yang takut jika perkataannya dapat terdengar dan mengganggu para warga yang sedang tidur lelap di masing-masing rumahnya. Meskipun jarak dari jalanan ke serial rumah sedikit jauh. "Jika besok, ayah bisa menjelaskan perihal kedatangan kita kepada orang orang disini." Gania mengangguk dan kembali meyandarkan punggungnya ke kursi mobil, memilih untuk tidak melanjutkan perkatannya dengan sang ayah. Hingga kemudian Tuan Randu menghentikan mobilnya di pekarangan yang lumayan luas tanpa pagar di sebuah rumah dua tingkat yang semua materialnya berbahan dasar kayu. Meskipun rumah itu lumayan besar dan luas, namun penerangan rumah itu sama dengan perumahan lainnya yang masih menggunakan lampu pijar. Sepertinya Desa Wania menolak subsidi listrik yang diberikan oleh kedua negara yang berlomba lomba merebut simpatik masyarakan Desa Wania itu. Gania segera melepas sabuk pengaman yang sedari perjalanan menuju kesini terus melilit tubuhnya. Ia akhirnya telah sampai di rumah milik kakek neneknya dan bisa kembali melihat rumah kuno namun asri yang ternyata tidak berubah sama sekali arsitektur bangunannya. Pintu depan rumah terbuka, seorang pria bertubuh jangkung dan renta milik kakeknya segera berjalan menghampiri anak-anak dan juga cucunya yang lama tak dijumpa. Nyonya Amara segera menghampiri Tuan Danu yang merentangkan tangan keriputnya dan segera direngkuhnya Nyonya Amara dengan erat. "Ayah rindu sekali, lama kita tidak bertemu. Apa kamu lupa dengan ayah dan ibu disini?" Nyonya Amara segera menggeleng dan memandang ayahnya dengan mata berkaca kaca. Mulutnya terbuka hendak mengelak perkataan ayahnya. Namun suaranya hilang begitu saja dan mulutnya tak bisa digerakkan. Alhasil, Nyonya Amara kembali memeluk ayahnya dan mulai menangis tersedu-sedu. Gania beserta Tuan Randu, ayahnya menghampiri Tuan Danu dan Nyonya Amara yang masih berpelukan. Hingga kemudian Tuan Danu memperhatikan Gania yang tengah menggendong tas kecil berwarna merah marun di punggungnya, membuat rambut panjangnya yang terurai sedikit terhalangi oleh tas tersebut. Gania menepikan rambutnya ke belakang telinga yang terasa mengganggu dan tersenyum samar saat kakeknya itu melepas pelukan Nyonya Amara dan berjalan menghampirinya. Tanpa sungkan, Gania pun memeluk kakeknya yang hanya pernah sekali ditemuinya saat berumur 3 tahun. Dan kini ia bisa kembali menemuinya setelah beberapa belas tahun kemudian. Gania masih bisa merasakan pelukan hangat dari tubuh yang masih tegap meskipun sudah menunjukkan tanda tanda penuaan dari kakeknya. Mata Gania terasa panas saat mengingat sedikit kenangan-kenangan masa kecilnya di rumah kakeknya ini, dimana ia selalu di pangku dan dimanjakan oleh kakek dan neneknya yang selalu rebutan untuk menunjukkan kasih sayangnya itu. "Gania rindu kakek." Tangis Gania tak bisa dibendung lagi, ia pun mengeratkan kedua tangannya di punggung sang kakek yang ikut terisak karena tak bisa lagi membendung kerinduan yang akhirnya tersampaikan. "Kakek juga rindu cucu kakek, kakek sama nenek kesepian, kakek mengira kalian akan datang dan berkunjung kembali. Namun dunia berkehendak lain, mereka sengaja menahan kalian untuk tidak bertemu dengan kakek dan nenek." ucap Kakek Danu yang terdengar menyalahkan kedua penguasa yang saling bermusuhan itu. "Cucu kakek sekarang sudah besar. Tambah ayu saja, pasti banyak laki laki yang menyukai cucu kakek ini." Gania tergelak dan menggelengkan kepala seraya mengurai rengkuhan dari kakeknya yang terlihat merengut tak suka. "Kenapa kakek hanya bicara mengenai percintaan saja, Gania masih kecil dan ingin merasakan cinta dari kakek dan nenek disini." Kini Gania yang pura pura merengut tak suka. "Baiklah, cucu kakek yang cantik ini akan mendapatkan apa yang diinginkan." ujar Tuan Danu dengan nada jenakanya yang kemudian menghampiri Ayah Gania dan merangkulnya sejenak dengan gaya khas lelaki. "Kamu itu, kenapa gak bisa bawa mereka ke sini sesering mungkin. Ayah pecat kamu kalau ayah yang jadi atasan kamu. Sesekali jangan terlalu patuh sama pemerintah, kadang pemerintah juga suka membangkan sendiri." Tuan Randu hanya tersenyum simpul dan menganggukkan kepala samar setelah mendengarkan keluhan mertuanya dan menjawab dengan ucapan permintaan maaf dengan rasa penuh salahnya. "Sudah, sekarang kita masuk dan istirahat. Besok kita beri kejutan kepada nenek yang selalu merengek meminta bertemu dengan kalian." Tuan Danu menyuruh semuanya untuk masuk ke dalam rumah, menuju ke dalam kamar yang khusus ditempati jika mereka berkunjung. Tuan Danu merangkul bahu Gania dan membimbing cucunya itu untuk menaiki tangga yang mengarah ke satu kamar dimana semasa kecil saat menginap, disanalah ia tidur. Di kamar sederhana yang menghadap langsung ke arah bukit Abeba yang dipenuhi oleh bunga bunga Bluena saat musim semi tiba. Bukit yang selalu memancarkan cahaya biru di malam hari disaat bunga Bluena bermekaran. "Kenapa kakek bisa tahu Gania datang malam ini?" tanya Gania penasaran bagaimana kakeknya bisa tepat sekali membuka pintu sebelum mereka mengetuknya disaat dini hari ini. "Tidak tahu, tadi kakek tidak bisa tidur dan mendengar suara mobil di depan. Kakek pun ke depan untuk memastikan karena disini tidak ada yang mempunyai kendaraan mobil. Dan kakek sangat senang sekali saat melihat kalian yang keluar dari dalam mobil." jelas Tuan Danu dengan nada bahagia yang tak bisa disembunyikannya. Gania tersenyum lalu duduk di sisi ranjang dan memandang kakeknya yang hendak kembali ke kamarnya setelah mengecup keningnya lembut. "Sekarang kamu tidur. Besok kita beri kejutan untuk nenek." bisik kakek saat dirinya berada di ambang pintu dan berbalik menatap Gania dengan senyum hangatnya. Gania mengangguk sebelum kakeknya menutup pintu. Dan kini Gania tinggal sendiri di kamar dengan cahaya kecil yang berasal sebuah lampu pijar ditambah cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela dan pintu balkonnya. Gania memandang seisi kamarnya. Semua barang masih tertata rapi dan ditempatkan di tempat yang sama seperti saat dulu ia menempatinya. Dulu kata kakek, kamar ini dikhususkan untuk Gania jika ia menginap disana yang saat itu Gania sedang belajar tidur mandiri tanpa kedua orang tuanya. Dan sekian lama kamar itu menjadi kosong karena Gania sama sekali tidak lagi mengunjungi kakek beserta neneknya. Namun mulai saat ini, Gania akan menempatinya lagi selama ia tinggal di rumah kakeknya. Dan Gania merasa sangat senang dan betah untuk menempatinya. Gania berjalan menuju pintu balkon yang mengarah ke luar. Ia membuka gorden kelabu yang menutupinya kemudian membuka pintu kayu jati tersebut. Keningnya mengernyit ketika bukan bukit Abeba lah yang ia lihat di seberang sana, melainkan bangunan rumah yang lebih tinggi dan lebih luas dari rumah kakeknya sehingga sedikit menghalangi pandangannya terhadap bukit Abeba yang sedikit mengeluarkan cahaya biru. 'Sejak kapan ada rumah besar disana? Rumah milik siapa yang menghalangi bukit Abeba?' pikir Gania yang merasa kesal karena objek kesukaannya di Desa Wania terhalangi oleh rumah besar yang belum ia ketahui pemiliknya. Saat di depan tadi, memang Gania tidak terlalu memperhatikan karena jarak yang cukup jauh dari rumah kakeknya dan juga letak rumah besar itu sedikit ke dalam dari halaman depan yang berpagar tinggi. Dengan menghentak kaki, Gania berbalik badan dan menutup pintu beserta gordennya dengan kasar saat ia menyadari bahwa ia tidak bisa berpuas diri lagi memandangi bukit Abeba yang indah itu. Kekesalan itu membuat Gania tak menyadari bahwa di seberang sana ada sosok bayangan gelap yang berasal dari bias cahaya lampu pijar di salah satu sudut kamar yang tepat berhadapan dengan kamar Gania, tampak bayangan itu seperti sedang memperhatikan gerak gerik tubuh Gania yang mulai menghilang di balik pintu. Namun setelah itu, bayangan tersebut ikut menghilang, disertai padamnya lampu pijar yang menerangi bayangan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD