Chapter 5. Abymanyu

968 Words
Hari berganti pagi. Sinar matahari mulai memasuki kamar yang kutempati, tapi aku masih bergelung dibalik selimut. Ah rasanya malas sekali melakukan aktivitas apapun. Aku telah kehilangan segalanya. Tidak ada lagi yang bisa membuatku untuk bersemangat dalam memulai hari. Semua terasa kosong. Tok... Tok... Tok... Bunyi ketukan pintu di kamar yang kutempati, menyadarkanku dari lamunan. Akupun menoleh kearah pintu. Disana sudah berdiri Angela. Kuangkat alisku seraya bertanya “apa ?” dan sepertinya dia mengerti. “Ada Aby di depan,” menjawab arti tatapanku... “Aby...? pagi sekali,” sahutku bingung. Kemarin orangtuanya yang datang, sekarang si b******k itu, apalagi maunya setelah semua yang dia lakukan... bathinku. Akupun bangkit menuju kamar mandi. Kusempatkan mandi dan mengosok gigi. Aku tidak perduli kalau dia menungguku atau tidak. Tapi ada sedikit rasa penasaran dalam hatiku, kira-kira apa yang dia inginkan sepagi ini..? Setelah mandi dan merapikan diri, bergegas aku keruang tamu. Bisa kulihat si b******k itu duduk di kursi dengan muka jengkelnya. Begitu melihatku datang, dia langsung berdiri dan mendekat ke arahku. Jarinya mengacung, menunjuk ke arahku. Apa-apaan dia... dasar tidak sopan... harusnya yang marah khan aku... dasar jerk... “Kamu, beraninya menghina orangtuaku. Kamu sudah menghinya khan ?” berondongnya tanpa memberiku kesempatan duduk... dasar f*****g i***t ini orang pikirku... Dia pikir dia siapa? Bertindak sesuka hati disini? “Ya tuhan, jadi pagi-pagi begini kamu datang dan mengganggu tidurku, hanya ingin marah karena orangtuamu memohon maaf padaku. Jangan salahin aku dong. Aku juga nggak minta mereka kesini. Emang salahku apa kalau aku gak mau memaafkan mereka ? itu hakku untuk benci sama orang yang memfitnahku di pengadilan kemarin. Biar mereka semua mampus bawa dosa mereka, karena sampai kapanpun aku nggak bakal maafin pembohong dan tukang selingkuh seperti mereka dan juga kamu. Jadi tolong stop, jangan lagi ganggu aku...!!” makiku lagi. Aby sampai melongo melihat aku yang seperti kesetanan, karena selama ini aku tidak pernah marah pada orang disekitarku. Aku juga bukan pendendam, tapi kesalahan mereka kali ini tidak bisa lagi kutolerir. Aku juga bukan pencemburu tapi aku tidak bisa mentorelir perselingkuhan. “Sekarang lebih baik kamu pergi dari sini, dan jangan pernah berani-berani perlihatkan wajah busukmu itu,” cecarku masih dengan emosi. Dadaku naik turun. Nafasku terengah-engah. Ini yang tidak kusuka jika sedang marah. Sangat menguras tenaga. Aku sampai ngos-ngosan kayak habis lari marathon. “Dan perlu kamu tahu, aku tidak pernah sedikitpun menghina orangtuamu ya, aku hanya tidak mau dan tidak akan memaafkan kalian semua. Semoga Tuhan membalas kesakitan yang kurasakan ini dengan yang lebih pedih berlipat-lupat. Ingat satu hal ya by, karena Tuhan tidak tidur. Apa yang sudah kamu tabur, itu juga yang bakal kamu tuai Aby... jadi selamat menunggu hasil dari perbuatan kalian. Tuhan akan membayar tunai pakai bonus,” tanpa menunggu jawabannya dan tanpa perlu melihat ekspresinya karena bagiku dia bukan orang yang penting lagi, aku membalikkan badan dan langsung berjalan masuk ke kamar lagi... Tidak lama pun Angela ikut masuk... “Njel, aku kayaknya balik aja ke New York ya... disana ada rumah peninggalan orangtuaku. Aku bisa coba ngelamar kerja jadi apa saja. Yang penting pergi dari sini. Rasanya sesak jika masih ada di negara yang sama dengan mereka. Bukannya pingin lari, tapi aku ingin memulai lembaran baru njel... menurut kamu gimana ?” tanyaku padanya. Angela lantas duduk disebelahku. Tangannya menyentuh lenganku, sambil tersenyum dia mengangguk. “Buatku yang penting kamu bahagia Nay, doaku selalu buat kamu,” katanya tulus. Dia memang sahabat terbaikku. “Aku punya teman di New York, jadi manajer Pemasaran. Coba nanti aku tanyakan ya... mungkin saja ada lowongan buat kamu,” ujar Angela dengan senyuman. “Makasih ya njel, kamu emang the best,” sahutku terharu. “Hei... jangan sungkan, kamu juga sering bantuin aku, jadi ijinkan aku membalas semua kebaikanmu padaku ya Nay,” sahutnya sambil menepuk lenganku pelan. Kami akhirnya tertawa bersama. Ya, setelah hujan ada pelangi kan?   Hari baru buatku sudah ada di depan mata. Saat ini aku sudah berada di Bandara Soekarno-Hata untuk memulai perjalanan memulai hidup baru. Aku pergi hanya dengan membawa sedikit barang bawaan, karena setelah bercerai aku hanya membawa beberapa surat penting dan beberapa barang pribadiku saja, juga baju lamaku. Aku tidak membawa barang yang kubeli dari uang si b******k itu.    Najisss Tralala pikirku. Untung uang tabunganku masih ada, walau tidak banyak. Biasanya si b******k itu memberiku kartu kredit yang bisa kupergunakan buat keperluan keluarga, dan sejak perceraian kami kartu itu kuletakkan di brankas kamar kami dulu. Angela masih setia menemaniku. Sebenarnya masih ada yang mengganjal bagiku. Ingin sekali sebelum meninggalkan negeri ini aku bertemu kedua buah hatiku. Rasa rinduku pada mereka sangat menyakitkan. Bagaimana bisa keluarga itu merenggut anak-anakku dari dekapanku. Angela menyenggolku, membangunkanku dari lamunan. Ternyata waktuku untuk pergi sudah tiba. Pesawat menuju New York sudah siap. “Njel, aku tidak tau harus berkata apa. Aku hanya ingin mengucapkan banyak terima kasih karena kamu sudah menemaniku disaat-saat aku terpuruk. Disaat-saat dimana semua orang memojokkanku. Tapi kamu masih perduli kepadaku dan bahkan bersedia menampungku di rumahmu. Dan bahkan kamu juga mau membantuku mencarikan pekerjaan di New york sana. Kamu memang sahabat sejatiku njel. Sekali lagi terima kasih banyak ya. Aku tidak bisa membalas kebaikan budimu,” ujarku sambil memeluk Angela. Tak terasa airmataku pun menetes. “Sama-sama Nay. Apa yang aku lakukan bukanlah hal yang luar biasa. Aku hanya melakukan yang harus aku lakukan. Kamu sahabatku Njel. Kamu pun sering membantuku. Mudah-mudahan disana kamu akan bisa lebih baik ya. Dan jangan lupakan persahabatan kita sampai kapanpun Nay,” balas Angela. “Pasti Njel, aku tidak akan pernah melupakanmu sahabat. Selamat tinggal Njel. Mudah-mudahan suatu saat kita bisa bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik ya.” “Selamat jalan Nay... jaga dirimu baik-baik ya...” ujarnya sambil melambaikan tangannya Kami pun akhirnya berpisah. Entah kapan aku akan bisa melihat lagi sahabat baikku ini. Kulambaikan tanganku padanya. Selamat tinggal sahabat.   Di tempat yang sama seorang lelaki tampan dengan setelan mahal juga menuju New York, dengan menaiki pesawat pribadinya. Mereka berdua memiliki tujuan yang sama, akankah takdir mempertemukan atau bahkan menyatukan mereka ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD