[12] 001100: Benang Merah

2008 Words
“Kenapa aku langsung setuju begitu saja?” rutuk kesal keluar dari lidahku kala telah sedikit jauh dari mereka. Seharusnya, aku mempertimbangkan lebih jauh tentang semuanya, namun seakan semua pertahanan yang aku susun retak dengan bukti yang dibawakan Zahra. Kenapa aku retak begitu saja? “Apakah Latifah dan Zahra tidak pernah tulus?” gumamku kala kembali melihat lembaran kertas dengan huruf A itu. Aku hanya takut saja, peristiwa SMA kembali terulang. Peristiwa kala aku juara paralel dan banyak yang ingin menjadi teman, dan nyatanya hanya tiga yang benar-benar ada kala aku terpuruk di kelas 11, kala aku retak dalam masalah romansa picisan di masa lampau, dan kala aku cekcok dengan kakakku sendiri dulu. Aku menggelengkan kepala, berharap itu hanyalah perasaanku saja. Aku ingin sekali berharap, setidaknya memang ada ketulusan dan kepercayaan, tapi aku sepertinya terlalu naif jika berharap demikian. “Mungkin ada enaknya kalau jadi orang bodoh ya?” gumamku sedikit keras. Aku melihat ke atas langit, seakan berharap ada jawaban. Hanya saja, aku tahu, tidak pernah kasusnya begitu. Aku hanya memberikan ilusi pada otakku, seakan melihat langit membawakanku ketenangan. “Aku tidak bisa mundur setelah ini. Lagipula, ini hanyalah selama dia masih memerlukanku. Pada akhirnya, apakah aku juga akan ditinggalkan, setelah tidak berguna?” gumamku pelan. Entah kenapa, ada sepercik dalam benakku berharap- Lupakan. Aku melakukan ini demi kebaikan dia, sudah. Peranku sebagai mentor, sebagai seorang guru. Aku menyimpan kertas kuis itu. Tidak perlu aku melihatnya kembali dan membuat pikiran berharap yang tidak pada tempatnya. Ini perkuliahan, bukan tempat bersantai. Ini zona perang, bukan tempat tidur nyaman. Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Aku mendengar deringan itu dan melihat pesan dari Ismail. [Ismail]: Bro, seriusan ini kamu sama Latifah sama Zahra? Apakah itu hal yang mengejutkan? [Assar]: Kenapa bro? [Ismail]: Gak aja, serius lu sampai bikin Latifah nangis? Ini aku liat langsung di tempat. Gila lu dingin banget. [Assar]: Aku tidak pernah peduli. Tugasku hanya membantu. [Ismail]: Membantu? Membantu apa? Ah, aku keceplosan. Lupakan saja. [Assar]: Lupakan. [Ismail]: Woy! [Ismail]: Seenaknya! Aku menutup ponselku sementara deringan terus berlanjut. Aku tidak peduli. Terserah mereka menilaiku jahat atau apa. Apa sebentar lagi aku akan masuk rumor kampus? Aku tidak peduli. “Aku tidak pernah peduli,” gumamku seraya menaiki motorku di parkiran kampus. [OA Rumpi Kampus] [Post #180: Kisah Terbaru MANTOEL] [???]: Seriusan itu? [???]: Wadaw, masuk OA Rumpi Kampus. [???]: Boleh tampol cowoknya gak? [???]: Jahat amat sih cowoknya! Tuh si cewek nangis malah teman ceweknya yang peduli! [???]: Gila gila! Ini maba? [???]: Waduh, pengen bantu cewekny ih. [???]: Eh, ini mabanya aku kenal keknya. Dan rentetan komentar berikutnya. Aku menghembuskan napas tidak peduli. Menyebalkan, semua itu menyebalkan. Mereka langsung ramai dengan hal-hal kecil, sebelum teralihkan hal-hal kecil yang lain. Sebuah pesan pribadi masuk. [Kak Rahman]: Waduh. Baru pekan satu sudah masuk OA. Greget memang adikku ini. [Assar]: Bukan keinginanku. Itu orang yang minta carikan mentor. [Kak Rahman]: Oh? Itu toh. Gimana hasilnya? Aku gak peduli soal dramanya. Bohong. Kakakku itu suka keributan. [Assar]: Bohong. [Kak Rahman]: Bohong apanya? [Assar]: Lupakan. [Assar]: Sudah beres. [Kak Rahman]: Serius dia terima tawaran? Mati itu anak! [Assar]: Nggak kak. Dia nolak. Sudah beres. Aku tidak ingin menjelaskan kalau aku yang menjadi korban pada akhirnya. [Kak Rahman]: Oalah. Sip sip. [Assar]: Bagaimana bisnis? [Kak Rahman]: Lancar. Semoga besok semua juga. [Assar]: Aamiin. Wajar jika aku mendoakan karena aku jelas bisa diuntungkan, bukan? [Kak Rahman]: Makasih Assar~ Aku menutup ponselku. Setidaknya aku tidak berurusan dengan orang tuaku, sampai saat ini. Aku berdoa tidak terlalu viral saja. Jam menunjukkan angka 10 malam, dan aku memutuskan itu waktu yang tepat untuk tidur. [???]: b******k emang itu cowok. [???]: Siapa sih ceweknya? Kasian banget. [???]: Banyak buaya ini gengs, waspadalah, waspadalah. [???]: Pengen peluk dia, kasian. Aku menghembuskan napas membaca akhir daripada kolom komentar panjang post itu. Bukan aku peduli, tapi lebih tepatnya aku ingin memastikan bagaimana ini akan berpengaruh terhadap kehidupanku di perkuliahan. “Sepertinya ini masih masuk dalam topik perkuliahan miniatur kehidupan,” komentarku seraya melihat jam yang menunjukkan angka 7 dan memutuskan memasukkan ini ke dalam tugas miniatur kehidupan. Aku pun mempersiapkan diri untuk kuliah. “Assalamu’alaikum,” ucapku dengan malas seraya memasuki ruangan. Suaraku pelan, bahkan aku ragu ada orang yang mendengarnya. Lagipula, yang ada di ruangan ini sudah sibuk dengan pekerjaan dan diskusi mereka. “Sudah nonton belum yang video viral itu? Keknya itu Latifah gengs!” salah satu mahasiswi berceloteh. Ah, menyebalkan. “Iya! Siapa di antara kalian yang jahat ke ketua kelas baru kita!?” tanya salah satu mahasiswa menyambung. Tangannya langsung bergaya seakan ingin berkelahi. “Sini kelahi sekarang!” tantangnya tak jelas. Teman-temannya yang lain hanya melihat dia seakan melihat badut berjalan. “Mungkin bukan kelas kita,” komentar mahasiswa yang lain. Mahasiswa yang pertama tampak kecewa mendengarnya. “Yaaaaah~” keluh kecewa keluar dari lidahnya. Sepertinya ini satu keunggulan diriku, tersembunyi di depan mata. Setidaknya, aku aman untuk sementara waktu. Kampus ini seharusnya berisi mahasiswa dan mahasiswi yang otaknya lebih penting daripada ototnya ‘kan? Apa tetap sama saja perundungan? Keributan terus berlanjut, sementara aku kembali mengambil novel untuk melanjutkan bacaanku yang tertunda selama akhir pekan ini. Sudah aku bilang, lebih baik aku mengurus perkara pribadiku daripada urusan tidak jelas itu. “Assalamu’alaikum.” Aku menurunkan sekilas novel milikku, sedikit, untuk melihat mereka. Suara yang memberikan salam tidak lain adalah Latifah. Zahra datang bersamanya. “Wa’alaikumussalam,” sapa teman-temanku. Aku hanya menjawab pelan, bahkan aku yakin hanya Allah dan angin yang mendengarnya. “Latifah! Siapa yang membuat kamu menangis sih!?” tanya pria yang tadi tampaknya ingin sekali menghajar pelaku itu. “Bukan siapa-siapa kok, Pahlevi,” ucap Latifah mencoba meyakinkan. Kata kuncinya mencoba, karena jelas dia jelek dalam hal itu. Zahra diam, namun aku tahu matanya menyorot ke arahku. Aku lanjut membaca novelku. “Eh, jangan gitu dong Bu Komting. Masa kami diam aja liat teman angkatan sampai nangis begitu?” tanya pria itu lagi. Kalau aku bukan tipe pendiam, mungkin aku bisa coba lemparkan spidol itu ke wajahnya. Dia mengganggu aku membaca novelku. Jangan menjadi pahlawan kesiangan. Kalau kamu paham Latifah, itu juga bukan yang dia inginkan. “Tidak apa-apa kok, Pahlevi,” ucap Latifah lagi. Aku tersenyum sinis di balik membaca novel. Tentu saja, setidaknya aku tahu tipe Latifah: menghindari konflik. Mereka tampak mengobrol sejenak, dan Latifah mencoba meyakinkan mereka bahwa dia tidak apa-apa. Yang terakhir aku lihat sebelum Pak Bayu masuk yang membubarkan warung gosip adalah betapa pria itu, yang disapa Latifah dengan nama Pahlevi, masih tidak puas. Begitu pula para penghuni warung gosip lainnya. “Selamat pagi!” teriak dosen itu dengan semangat antusiasme yang tinggi. Aku dengan malas membalas. “Baiklah. Kita mulai kelas hari ini! Kali ini, kita akan membahas tentang tugas pekan lalu. Ya, siapkan kertas kalian dan kita kuis hari ini! Pertanyaannya adalah tuliskan resep telur dadar!” “Kalau soalnya tuliskan ...” Aku tersenyum mendengarnya. Begitu ternyata permainan beliau. “Waktunya 10 menit, buka semuanya boleh! Saya dosen yang transparan, tidak ada kalian tutup buku!” ucap Pak Bayu dengan suara berapi-apinya itu. Aku hanya menahan kekeh yang ingin keluar. Sepuluh menit pun berlalu, dan beliau menyaring resep-resep itu. Tentunya, jebakan sebenarnya dimulai. “Buat yang bilang seandainya, kalau tidak ada dengan semua bahan, bagaimana kalian membuat telur dadar? 7 menit lah cukup,” tanya Pak Bayu lagi seraya membawa santai suasana. Oh tarik itu, membuat tegang dengan batas waktunya. Di sini aku benar-benar berpikir. Jawaban sederhananya adalah “buat seadanya”, namun, ini berkaitan dengan konsep program. Program bisa dibuat meskipun tidak semua yang diperlukan ada, namun program tentunya berfungsi paling baik dengan semua dibuat sebagaimana mestinya. “Menyesuaikan dengan apa yang ada, selama bahan fundamen- ah sial, aku tidak menyebut bahan fundamental,” keluhku menyadari keteledoranku. Pintar juga dosen ini, atau Kak Rahman sengaja tidak memberitahu. Aku membayangkan pria itu sedang terkekeh puas mengerjaiku. “Ah sudahlah!” gumamku. Aku menjawab sebisaku, mencoba menghindari perkara bahan fundamental. Langsung sebut spesifiknya saja. Kunci membuat telur dadar adalah ada telur, ada tempat memasak, dan ada sumber api. Lebih tepatnya, telur, wajan, dan kompor. Entahlah apakah aku bisa mendapatkan persis, tapi aku yakin aku meleset. “Kumpulkan!” Aku hanya bisa menyimpan kekesalanku karena terkena perangkap Pak Bayu. Beliau melihat dan menilai setiap jawaban, sebelum beliau melontarkan pertanyaan kepada kami. “Saya hanya beri kesempatan buat yang mengerjakan soal kedua, karena saya curiga ini pasti ada bocoran dari senior-senior seperti biasa. Saya ingin tahu, ada tidak yang paham konsep dari dua pertanyaan tadi?” tanya Pak Bayu lagi kepada kami. Hening, tidak ada yang menjawab untuk beberapa lama. Entah kenapa, firasatku tidak enak. Aku merasa aku perlu menjawab. “Jika tidak-” “Saya bisa menjawab, Pak.” Suaraku seakan menggema memenuhi ruangan. Aku menyadari perangkap itu kala soal itu dilontarkan, seharusnya tujuannya jelas. “Dari perspektif saya, ini berkaitan dengan bagaimana dunia pemrograman sebenarnya. Ada banyak bahasa pemrograman yang tentunya membuat seseorang yang baru masuk ke dunia ini kebingungan. Namun, jika mereka menguasai konsep mendasar daripada pemrograman, tidak masalah apa yang mereka pakai, selama mereka bisa menciptakan program yang perlu atau ingin mereka ciptakan dengan bahasa pemrograman tersebut.” Hening. Aku seakan merasa aku telah menjawab dengan salah. Oh sudahlah. A pekan lalu hanyalah sebuah keberuntungan. “Bahasamu lumayan rumit menurut saya, tapi kamu dapat intinya. Saya rasa itu bagus, Mas Assar,” komentar Pak Bayu santai. Namun kalimat terakhir membuatku mengedipkan mata, seakan memastikan telingaku tidak salah dengar. “Ya, seperti yang Assar katakan, pertanyaan saya memang konyol, tapi kontekstual yang saya tuju adalah itu. Bahasa pemrograman ada banyak, dan sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah bahasa apa yang kalian pakai. Saya sendiri harus mengajarkan, berdasarkan kurikulum, dengan C atau Java, tapi saya ingin poin ini kalian benar-benar pahami terlebih dahulu di awal. Bapak tidak ingin nanti kalian lupa poin sederhana ini kala kalian sudah semester tua. Jangan terpaku pada satu solusi.” “Ada lagi sebenarnya soal versi lain. Soal itu adalah ‘apakah bisa membuat telur dadar dengan resep yang berbeda’?” tanya Pak Bayu, “ada yang bisa menjawab? Assar, kamu diam dulu kalau tahu, biar teman-temanmu ada kesempatan.” Pak Bayu memang atipikal. Memang jenis beliau untuk tidak dapat diprediksi oleh mahasiswanya. Beliau selalu mencoba membuat hubungan antara hal yang baru, dengan hal umum dalam kehidupan. Beliau ingin menjembatani mahasiswa yang baru dengan keilmuan ini dengan analogi yang umum dalam kehidupan sehari-hari. “Mas Assar, ada jawaban?” tanya beliau memecah keheningan. Aku menghembuskan napas berat. Hanya teori-teori, tapi semoga tidak meleset. “Dalam dunia pemrograman, ada lebih dari satu cara untuk menyelesaikan suatu perkara. Hanya saja, tidak semua cara itu memerlukan usaha dan memberikan hasil yang sama persis.” Pak Bayu tampak cukup puas, meski sepertinya beliau masih ada ekspektasi lain. Aku hanya bisa menghela napas berat. “Oke, saya rasa sudah cukup menjawab. Pada dasarnya, memang dunia pemrograman terlihat sangat luas. Namun, jika dikembalikan pada konsep dasar pemrograman, dasarnya selalu bertemu kembali di semua yang ada di mata kuliah ini. Maka dari itu, saya berharap kalian bersungguh-sungguh,” ucap Pak Bayu lagi. “Saya di sini adalah guru. Kewajiban saya mengajar. Bonusnya nilai,” komentar beliau lagi. Aku mencoba meresap kalimat itu, menyadari sebuah implikasi. “Jadi gini deh, sebelum bahas kontrak mengontrak. Kalian harus tahu satu hal kalau di kelas saya. Saya itu keras. Kalian gak bakal ketemu seperti saya di kelas lain. Kalau mau bertahan di kelas saya, kalian harus berjuang. Saya gak segan-segan buat kasih nilai D dan E kalau kalian gak mampu!” tegas Pak Bayu. “Ah, itu maksud beliau waktu itu,” gumamku pelan. Hal yang sama, namun ini lebih halus dan menunjukkan tujuan baik Pak Bayu. “Baiklah. Sekarang kita mulai lagi kelas hari ini. Pelajaran kemarin semuanya sudah mengerti ‘kan?” tanya Pak Bayu lagi. Salah satu mahasiswa mengangkat tangannya. “Tanyakan saja! Jangan takut untuk bertanya. Saya tidak kasih poin tapi saya suka kalian bertanya. Itu menunjukkan kalian sungguh-sungguh mencari ilmu pengetahuan,” komentar Pak Bayu seraya memerintahkan mahasiswa itu membuka pertanyaannya. Perhatian kelas pun sepenuhnya terfokus pada dosen tersebut, atau setidaknya terlihat demikian. Kelas pun dilanjutkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD