Semunya Bahagia

1385 Words
“Mas, sebenarnya ini apaan sih? Kenapa harus pakai tutup mata segala?” Tanya Vania resah, tak nyaman harus berjalan masuk ke dalam rumahnya dalam keadaan mata tertutup kain dan dituntun oleh Daniel. Bukan karena ia tidak percaya sepenuhnya pada pria yang sedang menggandeng tangannya, namun Vania lebih mencemaskan bayinya yang diambil alih oleh Daniel untuk digendong. “Sudah tenang saja Va, sebentar lagi kamu pasti tahu.” Bisik Daniel mesra ke dekat gendang telinga Vania. Tak hanya itu saja, tangan kekar pria itu pun merangkul pada pinggul Vania yang masih belum kembali pada kerampingan semula pasca melahirkan. Vania tersenyum tipis, kendati berusaha menutupi kegundahan hatinya dengan senyuman, tetap saja ia kesulitan untuk rileks. “Hmm... Berapa lama lagi nih mas?” Daniel menatap lekat pada Vania yang tak bisa menatap balik padanya. Ia mengalihkan pandangan ke sekeliling kemudian mengedipkan mata sebagai aba-aba. “Hitung sampai tiga ya Va. Satu... Dua....” “Tiga....” Seru Vania menimpali hitungan Daniel. Ia pun langsung menyibak kain penutup matanya dan membebaskan pandangannya dari gelap. Suara confetti yang pecah mengejutkan Vania, belum sepenuhnya siap menerima kejutan tak terduga itu. Kini suara riuh dari letupan potongan kertas kecil itu berganti dengan suara tepuk tangan orang-orang di sekelilingnya. Vania terkesima, tak menyangka akan mendapatkan perlakuan semanis ini dari suaminya. Sepasang matanya melirik pada Daniel yang berdiri di sampingnya, pria itu tersenyum lebar, begitu melelehkan hati. Daniel cukup peka menebak isi hati Vania, bukan hanya terima kasih yang ingin wanita itu ungkapkan, tetapi juga tanda tanya besar mengapa Daniel mempersiapkan kejutan itu. “Selamat kembali ke rumah lagi, istriku.” Ucap Daniel, ia mencondongkan badannya mendekat pada Vania lalu mengecup keningnya mesra. Vania reflek memejamkan mata saat menerima kecupan kasih sayang itu. “Yee.... Selamat kembali lagi nyonya.” Seru Ima, satu-satunya asisten rumah tangga mereka yang masih bertahan ikut dengan Daniel saat ini. Suara tepuk tangannya lah yang paling nyaring saking antusiasnya. Laurent yang berdiri di sebelahnya pun ikut melakukan hal yang sama meskipun tidak begitu mengerti apa-apa. Vania mengambil alih bayinya yang ada dalam gendongan Daniel. Begitu bayi laki-laki yang diberi nama Jordan itu ada dalam dekapannya, barulah fokus Vania bisa sepenuhnya pada orang-orang di sekitarnya. “Ima, kita ketemu lagi ya. Ah, terima kasih kamu masih setia bersama kami.” Ucap Vania sembari berjalan mendekat pada asisten mudanya itu. Ima yang mudah terharu pun tak kuasa membendung perasaannya, ia menitikkan air mata kemudian segera menyekanya agar tidak merusak suasana bahagia dengan tangisnya. “Nyonya, Ima bahagia bisa bersama nyonya lagi. Ima tidak ke mana-mana, tetap ikut tuan sama nyonya. Semoga kali ini semuanya berjalan lancar, usaha tuan juga semoga semakin membaik.” Lirih Ima di sela isaknya. Vania terbawa suasana, setelah apa yang telah keluarganya lalui hingga bisa berkumpul lagi dalam rumah mewah yang tampak kosong ini, pantas rasanya Vania merasa bersyukur dan ikut menitikkan air mata haru. “Makasih ya Ima, aku tidak tahu harus bilang apa lagi selain itu.” Daniel menggandeng tangan putrinya yang tampak bingungs sendirian. “Kenapa mama sama mbak Ima menangis pa?” Tanya Laurent polos. “Oh itu... Mereka sedang kangen-kangenan.” Jawab Daniel sekenanya, karena hanya jawaban itu yang rasanya pas mengena pada situasi saat ini. Laurent hanya ber‘oh’ ria hingga membuat bibir kecilnya terlihat bulat dan menggemaskan. “Ayo semuanya, kita beralih ke ruang makan. Sayang, kamu pasti sudah lapar kan?” Tanya Daniel penuh perhatian. Ia sengaja harus membubarkan adegan haru antara istri dan pembantunya. Vania mengangguk pelan seraya tersenyum, “Iya lumayan lapar. Ayo Ima, ikut makan bersama saja.” Ima menggeleng cepat, tak enak hati diajak makan di meja yang sama dengan majikannya. “Tidak perlu nyonya, saya sudah makan tadi. Tuan, nyonya dan nona kecil saja yang makan, saya sudah siapkan.” Tolak Ima halus lantaran segan. Vania justru menurunkan satu tangannya dari depakan si bayi yang tertidur pulas demi meraih tangan Ima. “Khusus untuk kali ini saja, kita makan bersama sebagai syukuran karena sudah ketambahan anggota baru di rumah ini. Jangan ada penolakan, ini jamuan makan sederhana dariku.” Pinta Vania. Ima tak kuasa lagi menolak kesempatan langka itu, bukan karena ia ingin diperlakukan istimewa namun demi menghormati tuan dan nyonyanya. “Terima kasih nyonya.” *** Kebersamaan di ruang makan cukup menghabiskan waktu dengan senda gurau bersama. Dan rupanya dua buah hati Vania pun tidur siang dengan nyenyak, terutama Laurent yang memang sudah mengantuk sejak di ruang makan. Vania memandangi wajah polos bayinya, tak menyangka ia telah melahirkan seorang bayi laki-laki dengan penuh perjuangan sewaktu masa kehamilan. Saking asyiknya mengamati wajah polos buah hatinya itu, Vania tak menyadari bahwa sepasang tangan Daniel bersiap melingkari pinggulnya dari belakang. Vania terkesiap begitu merasakan sentuhan itu, ia menoleh ke belakang, mendapati senyuman Daniel yang akhirnya mendaratkan dagu ke pundaknya. “Maaf ya Va, pesta kejutan untukmu hanya bisa aku lakukan sesederhana ini. Aku janji setelah keuanganku membaik, aku akan merayakan yang lebih meriah untuk kamu dan anak-anak.” Ucap Daniel bersungguh-sungguh. Desahan nafasnya menandakan ia begitu terbebani rasa sesal terhadap istrinya. Dosa masa lalu yang tak terlupakan, ia begitu beruntung karena Vania mau mengampuni dan memberinya kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya. Vania membalikkan badan, kedua tangannya menangkup wajah pria yang teramat ia cintai itu. Mereka bersitatap, hening, menelusuri kesungguhan masing-masing lewat pancaran manik mata, hingga Vania yang lebih dulu berkedip dan tersenyum lembut. “Mas, harta duniawi bisa dicari, tapi harta terindah bagiku adalah keluarga kecil kita ini. Yang penting keluarga kita kembali utuh, aku nggak masalah harus memulai dari nol lagi sama kamu.” Ungkap Vania, terdengar begitu bijak karena memang itulah yang ia rasakan. Setelah perjalanan panjang rumah tangga mereka yang berliku, Vania pun jauh lebih dewasa berpikir sekarang. Daniel terharu, sepasang netranya mulai berkaca-kaca saat mendengar buah pikiran istrinya yang begitu menyejukkan hati. Vania mengusap tetes bening yang luruh dari ujung kelopak mata suaminya. “Va, aku nggak tahu bagaimana hidupku tanpa kamu. Aku orang terbodoh dan yang paling beruntung bisa memilikimu sebagai pendamping hidupku. Bodohnya aku yang dulu sempat menyia-nyiakan kamu.” Lirih Daniel bersungguh-sungguh. “Sudahlah mas, kita tutup buku untuk masa lalu. Kehidupan kita sekarang jauh lebih penting, ada dua anak yang bergantung harapan dan kebahagiaan kepada kita. Jadikan itu sebagai motivasimu, kamu harus bangkit, ada aku yang mendampingi kamu memulai dari awal. Semangat ya mas.” Seru Vania yang begitu didukung dengan mimik wajahnya yang menggemaskan. Tanpa ia sadari raut wajah imutnya justru menggugah gejolak naluri kelaki-lakian Daniel untuk merengkuh lebih dekat. Tak ada kata lagi yang terucap, Daniel langsung menyosorkan bibirnya dan mengecap bibir ranum Vania. Keduanya menikmati peraduan basah itu, meluapkan segala rasa rindu yang tertahan sekian lama. Belum ada kesempatan untuk menunjukkan kedekatan fisik selama Vania berada di rumah sakit. Luapan rasa rindu itu makin membuncah, menjalar liar hingga menggerakkan naluri Daniel untuk merengkuh lebih dari bagian yang dijamahnya sekarang. Vania membuka mata begitu merasakan sentuhan liar itu begitu genit mempermaikan tubuhnya. “Mas, aku belum boleh. Kan belum tiga puluh hari habis lahiran. Tahan ya... Sabar....” Desis Vania dengan suara centilnya. Ia meminta suaminya untuk sabar namun justru mengeluarkan suara yang membuat Daniel kesulitan mengontrol diri. Daniel mengendus kesal, agak kecewa karena kehendaknya harus terhalang lagi. Setelah puasa delapan bulan tidak menyentuh istrinya, kini waktu puasa harus diperpanjang kembali. “Hmm... Masih berapa lama lagi?” Tanya Daniel dengan suara ngambek kecil. Vania tampak berpikir, menghitung hari melahirkannya dalam hati. “Kira-kira dua puluh tiga hari lagi.” Raut wajah Daniel seketika masam, begitu menyedihkan harus menahan hasrat begitu lama. “Yaa... Garing dong.” Ujarnya lemah. Vania justru tertawa kecil, mimik wajah kecewa Daniel malah terlihat lucu baginya. “Mau gimana lagi, memang begitu aturan mainnya. Ha ha....” Daniel tak mengijinkan Vania menertawakan dahaga batinnya, ia kembali menerkam Vania dengan ganas, membuat sepasang mata indah Vania terbelalak. Ketika Vania nyaris terpekik, bibir Daniel lebih lincah membungkamnya hingga Vania pun mengikuti ritme permainan lidah suaminya. “Kalau begini nggak perlu ditunda sampai tiga puluh hari kan?” Goda Daniel dengan senyum nakalnya yang berhasil membuat Vania tersipu malu. “Mas ini... Ah....” Desah Vania, ia pun hanya pasrah membiarkan Daniel melampiaskan rasa rindu dengan caranya. Vania tak menampik bahwa ia pun begitu menikmatinya. Rasa rindu yang membakar hasrat pun kian membara, walau dalam keterbatasan fisik yang ada, sepasang suami istri itu memilih untuk menikmati dengan cara baru mereka. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD