Minggu yang menyenangkan untuk Bhanu ketika presentasinya sukses kemarin dan hari ini tepatnya hari kamis, dia mengikuti kegiatan pertamanya di ekskul Fotografi. Bersama kak Sanca sang ketua yang baru terpilih beberapa bulan sebelum kenaikan kelas, akhirnya Bhanu bisa mendapatkan lebih banyak teman setelah ini.
Apalagi, jadwal ekskulnya itu bersamaan dengan Cecil, tepat di hari kamis sedangkan Dharma itu bisa hampir setiap hari alias lepas saja pokoknya datang untuk latihan membuat script atau latihan mengudara sepulang sekolah memutar musik-musik atau membaca surat-surat yang dikirimkan siswa-siswi bahkan guru sekalipun.
Lucunya adalah ketika semua orang sedang sibuk melakukan kegiatan, anak-anak ekskul radio akan selalu datang membacakan cerita cinta sedih bahkan bahagia atau kelucuan tentang momen-momen si pengirim anonim itu.
Hampir semua orang tergelak tawanya ketika mendengar cerita mengenai seseorang gerombolan pelajar yang terlibat pertengkaran dengan preman kampung tetapi naas mereka malah kecemplung di empang dan seketika baju mereka bau amis, dan besoknya Bu Nadira, seorang guru Bahasa Inggris yang terkenal dengan penciuman tajamnya, tidak mau mengajar di kelas mereka karena bau baju mereka yang sangat menusuk sebab diberi pewangi 5 sachet supaya tidak bau amis lagi.
Bayangkan saja, sewangi apa baju mereka. Katanya, Bu Nadira sampai pusing karena baunya begitu menguar.
“Oke, teman-teman. Hari ini kita bakalan ambil foto di sekolah ya. Jadi, kalo di ekskul fotografi ini karena kita nggak ada mentor khusus dari guru kecuali guru kesenian kita yaitu pak Ben yang mana juga ngurusin ekskul Band, gue harap kalian nggak begitu kecil hati terlebih dulu. Karena kita kakak-kakak ini juga bakalan sharing pengalaman dan teknik-teknik yang kita pelajari bareng-bareng sebelumnya. Rutinitas ekskul ini tuh tiap ketemu pasti bikin challenge atau enggak ya bikin pameran fotografi kecil-kecilan lalu dimuat di mading sekolah atau sering juga kita kolaborasi sama guru-guru untuk mengisi konten galeri foto di web sekolah.” Jelas Kak Sanca panjang sekali. “Udah, biar nggak bosen dan langsung cepet aja, kita kasih kalian challenge ya. Tema foto kali ini adalah alam dan penghuninya. Terserah kalian mau memotret apa. Nanti, kakak-kakak ini bakalan keliling nyari foto juga sekalian bantu kalian untuk memotret dengan teknik yang benar. Teknik belajarnya langsung praktek, ada masalah?”
Semua orang menggeleng. Ah, Bhanu lebih suka yang begini malah.
“Oke, kalian bisa pergi sendirian atau berkelompok. Jangan jauh-jauh ya? Biar kakak-kakak ini bisa ngawasin dan ngajarin kalian nanti. Silahkan berpencar dan cari objek yang kalian mau potret.” Titah Kak Sanca panjang.
Sebelum pergi, Bhanu memotret Sanca yang berdiri dengan tangan di depan d**a dan tatapannya tegas meskipun ada senyum terulas tulus ketika melihat anggota baru berpaling darinya. “Lho, Nu?” Sanca kaget.
“Hehe, sorry, bang. Iseng.” Kemudian dia melipir pergi. Bhanu memotret Sanca karena sosok itu begitu lembut namun tegas. Belum-belum Bhanu merasa kagum denga karakter itu, karakter pemimpin. Lagi pula jepretannya bagus. Nanti mau dia tunjukkan ke Sanca.
Kemudian dia pergi ke pohon mangga itu. Pohon yang sering dia kunjungi sehabis menunaikan ibadah shalat dhuhur di sekolah. “Hai, pohon mangga. Apa ada hewan yang bagus untuk dipotret di sini?” Katanya sambil membidik kulit mangga yang bertekstur kasar itu. Fokus kameranya semakin menambah detail kulit itu.
Tak lama, berikutnya ada seekor ngengat hinggap di batang besar pohon itu. Hingga cukup lama dengan mengembang nguncupkan sayapnya dengan cantik, sehingga Bhanu bisa memotret modelnya yang bersayap putih keruh itu di berbagai sudut.
…
“Huaaaaaa pegel banget!” keluh Cecil melempar tasnya ketika Dharma dan Bhanu asik bermain SOS dari kertas di pagi hari.
“Ciya, stretching abis-abisnya ya lo kemarin?” celetuk Bhanu.
“Sumpah, sakit nih. Paha gue ketarik dipaksa split. Terus perut sama pinggang gue dipaksa kayang. Ancur badan gue mau remuk rasanya.”
“Hiya, sambat-sambat!” Dharma tanpa menoleh ke Cecil karena asyik mencoret-coret umpan SOS yang diberi Bhanu ketika cewek itu datang. “Haha, gue menang. Yok traktir es kopi di kantin kakak kelas nanti, ya?”
Bhanu yang kalah mendesah, “Iya iya, lo mau kopi juga nggak?”
“Koyo hangat, please.”
Bhanu memekik, “Ngaco lu, bangun woy. Itu kantin bukan apotek!”
“Nggak bohong, gue dateng sekolah aja males banget, mau pijet sama tidur aja.” Cecil senderan di punggung Dharma sambil mendusel-dusel mencari posisi enak.
“Sekolah, Cil. Sekolah. Difitnah pacaran lo nanti.” Peringat Bhanu. “Dih, pantes ya lo jomblo nggak ada pacar lagi.”
Cecil mendesis, “Aduh, selera gue belum muncul di depan gue sih. Yang ngedeketin modelan badboy sok kecapekan gitu dah. Masa kemarin ada kakak kelas minta nomer gue sehabis latihan tuh.”
“Terus? Kok nggak cerita?” seru Dharma lagi-lagi ditandai oleh Bhanu.
“Ya ini cerita,” jedanya. “Gue kasih tuh nomer gue, gue pikir kana da kepentingan nih ya? Karna gue orangnya kan positive thinking aja gitu sama orang yang minta nomer hp. No ganjen-ganjen nggak jelas.” Jelasnya, lalu menggebrak meja. “Terus, malemnya dia ngechat dan flirting gitu loh! Ewwww… so menjijikan.” Tangannya mengepak-ngepak dengan memasang wajah jijik. “Gue nggak suka cowok yang begitu. SKIP!”
Bhanu langsung melirik Dharma yang nampak mengangguk serius. Ia tertawa dalam hati, sepertinya memang di antara mereka ini ada perasaan hanya saja tidak berani mengungkapkan atau belum paham jelas perasaan masing-masing. Anehnya, Bhanu bisa melihat itu meskipun dia sendiri belum pernah jatuh cinta.
“Terus gimana? Hati-hati nanti disamperin lo ke sini.”
“Makanya, gue nempel lo pada aja deh. Mager banget kalo dideketin anak-anak pentolan tuh. Lo tau kan, semakin menonjol semakin punya banyak musuh yang gue juga nggak tahu alasan penyebabnya mereka bisa berantem sampai musuhan. Terlalu drama.”
“Yeuuu, kalo baik mah nggak bakalan dimusuhin kali!” timpal Bhanu.
“Tapi orang-orang yang selalu tersorot itu hidupnya memang drama banget. Nggak habis pikir kadang.” Kata Cecil.
“Hidup Bhanu drama tapi nggak kelihatan tuh?” kata Dharma.
“Siapa bilang, gue dijauhi betewe gara-gara katanya saking pinternya tapi nggak bisa baca tulis.” Bhanu menekuk wajah pura-pura mengelap air mata yang tak muncul dari ujung matanya itu. “I’m weirdo.”
“Weirdo makes friend with another weirdo.” Bhanu melakukan tos dengan Cecil karena Cecil itu benar. Orang aneh berteman dengan orang aneh, orang baik berteman dengan orang baik, orang jahat berteman dengan orang jahat, sebab manusia itu memang suka hidup bersama orang-orang yang memiliki kesamaan sifat dengannya. Lebih nyaman. Namun, berlawanan itu ada bagus karena bisa membuat seseorang belajar hal baru dan itu menariknya, tergantung bagaimana menyikapi perbedaan itu. Seperti pertemanan Dharma, Cecil, dan Bhanu.
…
Beberapa bulan telah berlalu dan keseruan Bhanu semakin bertambah. Dia bisa belajar dengan seru bersama Dharma dan Cecil di rumahnya, di sekolah hingga senja menjemput mereka, di taman, bahkan ke Glodok, Kota Tua, atau sekedar keliling naik KRL main ke Universitas Indonesia, menyamar jadi mahasiswa di akhir pekan sambil membawa buku dan materi untuk dipelajari minggu depannya.
Kerja—jalan—bermain—kelompok begitulah mereka menyebutnya.
Saling bantu, ketika Cecil lebih suka membaca lantang supaya materi-materi itu bisa tertancap dalam di ingatannya sembari Bhanu merekam dan mendengarkan dongeng Cecil tentang bagaimana sebuah virus bisa masuk ke dalam tubuh manusia dan menginfeksinya, atau ketika Cecil bercerita bagaimana cerita penemu atom dan berteori tentang bentuk-bentu atom versi mereka. Atau ketika Cecil juga dengan lantang sembari menghapal nama-nama kerajaan dan sejarah di Indonesia.
Kalau Dharma, dia adalah simbol keseimbangan itu sendiri. Cowok itu pandai belajar sendiri, juga pandai belajar bersama. Cowok itu bisa belajar sambil mendengarkan, menulis dan membaca hal lain sambil mendengarkan. Semuanya diserap dan serba bisa. Sosok paling multitasking menjadi penengah Bhanu yang suka mendengar dan Cecil yang suka membaca.
Kadang-kadang juga, Bhanu melempar pertanyaan yang tidak ada jawabannya di buku, misalnya seperti bagaimana cara kerja vaksin? Dan ternyata, itu adalah materi yang tersambung dengan bagaimana imunitas manusia bekerja dan akan mereka pelajari nanti di kelas 12, bukan kelas 10. Tetapi, berkat itu akhirnya mereka bisa lebih banyak tahu. Berkat Bhanu yang sangat suka memenuhi hasrat keingintahuannya.
Karena menurut Bhanu, belajar tidak hanya soal batasan kompetensi di sekolah. Kalau mau tahu, ya langsung cari saja. Bersama Cecil dan Dharma, dia jadi lebih mudah mengetahui dan melegakan dahaganya soal pertanyaan-pertanyaan di kepalanya, tanpa membaca tetapi didongengkan.
Meskipun begitu, Dharma tetap mendorong Bhanu agar bisa mengolah kata-katanya dengan baik juga. Supaya tidak mendapat masalah ketika ujian tengah semester nanti.
“Aduh, UTS gue gimana ya?”
“Gimana apanya?” tanya Dharma.
“Nggak pede kalo harus ngerjain agama, biologi, dan bahasa nih.”
“Santai aja, kita bisa belajar bareng lebih sering nanti.” Kata Dharma duduk di pinggiran lapangan menunggu Cecil selesai latihan. Keduanya lalu sibuk sendiri, Bhanu dengan kamera sedangkan Dharma dengan kertas dan pulpennya. “Script gue kurang menarik apanya sih?”
“Waduh, jangan tanya gue ya, bos. Nggak paham juga.” Katanya, lalu melambaikan tangan saat anak Cheers selesai latihan. “Cil!!!” panggilnya, lalu cewek itu menoleh dan berjalan lemas.
“Gila, udah mau remuk badan gue! Latihan seminggu 3 kali bisa-bisa 3 porsi batagor di kantin tadi jadi otot nih.”
“Bagus dong!” celetuk Dharma. “Tandanya badan lo itu kurusnya kurus sehat, Cil. Bukan kurus lemes gitu, loh.”
“Nah, dengerin itu.”
Cecil mengeluh lagi, “Ah, bodo deh. Nanti malam gue mau makan 2 bungkus nasi padang.”
“Rakus amat ya jadi cewek!” celetuk Bhanu.
“Laper, Nu.” Rengeknya. “Lo pada ngapain nggak balik?”
“Balik bareng aja yuk, gue males di rumah.” Kata Dharma
“Gue kelar ekskul.” Bhanu.
“Ya udah ayok balik, bentar gue ambil tas gue.” Katanya lalu berdiri, “Lah, emang lo bawa kendaraan?” keduanya menggeleng. “Terus apa gunanya ngajak balik bareng?”
“Maksudnya, jalan ke gerbang bareng.” Bhanu jawab enteng.
“FIX ANEH!” seru Cecil.
…
Pekan minggu UTS itu adalah hal yang membuat Dharma dan Cecil harus mendapat pengalaman baru sebab Bhanu benar-benar menjadi sosok yang sangat jauh berbeda. Kenapa? Dia jadi lebih suka melamun. Bolak-balik keduanya menegur cowok itu supaya tidak melamun dan fokus pada materi.
Dia tampak murung dan terlihat tidak percaya diri, sampai suatu hari dia mendengar Cecil dan Dharma membicarakannya ketiak dia dibalik pintu.
“Dharma, lo mikir nggak sih kalo Bhanu tuh sebenernya pinter banget.”
“Nggak mikir lagi, tapi emang faktanya dia pinter, Cil.” Jawab Dharma, Bhanu mengerucutkan bibirnya.
“Dan, sampai Karina waktu itu nyindir Bhanu caper dong, gara-gara dia kan suka bikin tugas video meskipun nggak disuruh. Dan, tugas gambar dia juga rapi banget. Gue nggak paham sama Karina kalo sampai bilang Bhanu itu cari perhatian gara-gara dia bikin sesuatu di luar ekspektasi orang-orang.” Cecil kesal.
“Kayak lo nggak kenal Karina aja. Kata lo kan dia princess syndrome.”
“Makanya gue bete aja gitu kalo misalkan Kirana dan kawan-kawan suka ngesinisin Bhanu. Apaan sih, kalo mau saingan sehat ya jangan musuhin dan ngatain caper juga, loh. Nggak jelas.” Hati Bhanu menghangat mendengarnya, syukurlah kalau kenyataannya ada orang yang mendukung dan membelanya setulus Cecil dan Dharma.
“Garem-garem.” Kata Dharma. “Dia juga keliatan murung gitu akhir-akhir ini.”
“Gue contekin aja apa ya? Absen kita kan deketan, Ma.”
Bhanu menghela napas mendengarnya.
“Cil, dia itu bukannya nggak tahu jawaban, kadang dia menjawabnya dengan nggak tepat aja. Dia bukannya nggak paham, kalo gue liat begitu.”
“Gue jadi keinget saudara gue, gue nggak mau dia hilang percaya diri sampai insecure gitu, Ma. Gue mau kita seneng-seneng aja gitu kayak biasanya. Kalopun ada kesusahan pokok mau banget ngebantuin deh, nyontekin mah juga ayok dah.”
“Tapi anaknya nggak mau lo begitu, Cil.” Sahut Dharma. “Pokoknya kita tetep ada aja buat dia, jadi kalau dia minta tolong kita bakalan selalu ada gitu. Dan, gue ada ide, mungkin habis ujian ini kita ke Dufan aja apa? Biar dia seneng lagi?”
“Bener-bener, ajakin main yuk. Jangan-jangan dia stress lagi belajar mulu.”
Tahukah bagaimana perasaan Bhanu. Rasanya dia mau melompat ke dalam kolam ikan, berlarian di lapanga, bahkan gulung-gulung di rumput karena dia sangat bahagia bisa bertemu teman-teman yang sangat sayang dan perhatian dengannya. Dia memang belum pernah merasakan percintaan remaja, tetapi pertemanan ini sepertinya sangat berharga dan lebih dari apapun yang dia miliki selain cinta kasih keluarganya.
Oh, jadi begini ya rasanya punya teman, batin Bhanu.
Teman yang bukan hanya mengatakan hai dan sampai jumpa. Tetapi, teman yang akan mengulurkan tangan di kala sedih maupun susah.
Minggu UTS yang membuat Bhanu gila karena dia harus berjuang sendiri ketika menghadapi soal-soal di depannya. Berusaha menjawab dengan benar dan dengan teliti. Menulis kalimat dengan benar dan rapi, Membuat uraian singkat maupun panjang sesuai dengan yang Cecil pernah dikte padanya dan pernah Dharma bacakan juga materi itu di pagi sebelum ujian mulai. Sembari mereka mengingat kembali materinya. Sungguh menyenangkan jika ia bisa belajar bersama teman.
…
Apakah kegilaan sudah cukup sampai di situ?
Tentu tidak, banyak kegilaan lainnya seperti Bhanu yang akan mengeluh migraine setelah pelajaran Biologi dan Agama. Apalagi agama, Cecil dan Dharma harus keluar dari kelas dan Bhanu akan sendirian di situ. Membaca dan mendengarkan materi dari guru, belum lagi dia tidak bisa didongengkan oleh Cecil dan Dharma karena nanti mereka pasti akan bertanya-tanya dan tidak paham juga dengan topik bacaan itu.
Jadi setelah pelajaran itu, biasanya Cecil dan Dharma akan membawa Bhanu makan bakso kuah pedas agar kepalanya itu penyar.
Kegilaan lainnya itu akan terus terjadi sampai mereka melalui ujian Semester ganjil, UTS semester genap, dan Ujian semester genap.
Ah, gila. Seru Bhanu dalam hati.
Dia harus menelan banyak buku, terus menjalani latihan menulisnya. Sampai dia benar-benar bisa meminimalisir rasa pusing itu ketika menulis dan merasa biasa saja. Itu latihan yang memakan waktu cukup lama sekali. Hampir 1 tahun itu dia bersama teman-temannya terus melatih kemampuan belajar Bhanu.
Diselingi dengan ekskul fotografinya. Dia juga mengajarkan ilmu kepada teman-teman yang lain. Bersama-sama melatih skill edit foto maupun video. Sampai-sampai Sanca menggadang-gadang kalau Bhanu ini cocok jadi penerusnya. Bhanu bingung ketika di pertengahan akhir semester mendapat penunjukkan tak langsung dari Sanca.
Padahal dia hanya hobi dan belajar fotografi ala kadarnya, ilmunya masih sangat minim tetapi mau ditunjuk jadi ketua. Apalagi dia kan masih harus membenarkan kemampuan membaca dan menulisnya itu. Bisa makin stress kalau Bhanu mendapat tanggung jawab memimpin sebuah ekskul itu. Dan, dengan halus beserta alasan yang tepat Bhanu menolaknya. Banyak hal yang tak akan bisa dia pegang ketika terlalu banyak tanggung jawa seperti itu. Ia berkaca bahwa jika dia memimpin, mungkin tidak akan bisa sebaik dan sebagus Sanca.
Bisa saja dia akan menjadi pemimpin yang buruk karena punya banyak fokus sehingga banyak yang terbengkalai. Oh, itu mengerikan.
Lalu bagaimana dengan stressnya ketika Ujian? Bisa-bisa hancur lebur ekskul itu dipegang oleh Bhanu. Lebih baik tidak, dan akhirnya Sanca dengan sayangnya harus mencari orang lain yang bisa memenuhi tanggung jawab itu.
Hingga akhirnya, tibalah Ujian Semester Genap.
Cecil dan Dharma menyemangati Bhanu agar tidak terlalu gugup karena bisa hilang sudah materi yang dia ingat kemarin-kemarin. Ketegangan yang bertahan selama satu minggu penuh itu akhirnya mencair ketika hari terakhir ujian tiba.
Dia nampak sudah bisa tersenyum dengan lebar karena nanti malam dia tidak perlu belajar dan bisa menonton channel tv favoritnya, NatGeo. Meskipun dia tidak yakin akan mendapat nilai bagus, setidaknya dia harus naik kelas. Pokok naik kelas saja sudah sangat bersyukur.