Seorang gadis sedang memakai blouse berwarna biru dengan rok pensil berwarna hitam berdiam di depan lift, sambil menyesap es kopi yang dia beli di seberang kantor. Rambutnya yang bergelombang, kulitnya yang cerah dan badan yang tidak terlalu tinggi terlihat seperti anak umur belasan tahun yang sedang magang, tapi itu jelas bukan anak magang.
Tanda pengenal yang menggantung menjelaskan bahwa dia karyawan di Gedung itu. Embun Bening Zerlinda, nama yang tertulis jelas di bawah Foto yang memperlihatkan senyum manisnya dengan lesung pipit dan tahi lalat dibawah bibir sebelah kirinya.
“Hai, cantiiikk… habis istirahat ya? Kok sendirian?” tanya Darto dengan manis.
“Apa deh bang, kalo godain gue bakal gue aduin sama Mbak Dea!” ancam Embun.
“Tukang ngadu lo! Kok sendirian, sih? Temen lu pada kemana semua?” ujar Darto sambil mencebik.
“Temen gua apa mbak Dea doang?” goda Embun.
“Hmm..” Darto hanya mencibir kesal sambil kakinya menuju lift yang pintunya terbuka tepat saat godaan Embun terlontar.
“Mbak Dea lagi makan keluar sama Bu Vivi, ada interview prohire hari ini. Oh iya bang, gua lupa bilang. Rekomendasi bang Darto interview nanti sore sama bu Luisa.”
“Serius? Kok lo baru bilang sih Mbun? Katanya masih di Vivi?” ucap Darto dengan ekspresi terkejut.
“Gue juga bingung, Bang. Perasaan baru kemarin pagi gue kasih berkasnya setelah lo ke meja gue. Siangnya udah di suruh ngubungin buat interview. Sorry gak ngasih tau dulu, dadakan banget.”
Darto hanya manggut-manggut tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Kenapa bang?"
"Hem? Gak apa-apa kok. Thanks ya infonya Mbun," ucap Darto dengan senyuman mengembang.
"Yep, with pleasure. Gue jadi di traktir?"
"Harus keterima dulu, dong."
“Dih, dasar! Tukang umbar janji! Gua duluan deh bang Darto!” ucap Embun sambil keluar dari lift yang sudah terbuka persis di lantai ruangan kerjanya.
Darto hanya terkekeh saat melihat ekspresi Embun yang manyun saat keluar dari lift.
-***-
Embun sedang berkutat dengan beberapa berkas hasil psikotes yang berceceran di mejanya. Ia tidak sadar bahwa ada interview penting yang diminta Luisa untuk dilaksanakan di jam ini sampai panggilan telepon intercom menyadarkan dirinya.
“Halo, dengan Embun.”
“…”
“Oh iya, aduh, gue sibuk banget sampe gak sempet ngabari ke FO kalau ada wawancara sore ini. Maaf ya,” ucapnya sambil melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul empat sore.
“…”
“Iya, langsung naik keruangan gue aja ya, gue tunggu depan lift.”
“…”
“Oke, makasih ya.”
Embun bergegas berdiri dengan menyambar form interview dan profil pribadi kandidatnya itu. Gadis itu melangkahkan kakinya dengan tergesa menuju ke ruangan Luisa. Ia mengetuk ruangan Luisa dengan jantung berdebar, takut dengan amukan Luisa karena mengingatkan jadwal interview sore ini yang mepet dengan jadwal.
Setelah dipersilahkan masuk ia langsung memberikan formulir interview dan bergegas keluar ruangan. Beruntung hari itu Luisa sepertinya juga sedang sibuk sehingga dia juga tampak tidak berminat untuk membentak atau sekedar menegurnya.
Sesampainya di depan pintu lift, Embun tertegun melihat seorang laki-laki dengan wajah ala timur tengah dengan kulit bersih dan badan atletis. Ia berpikir pasti itu tamu karena penampilannya yang mewah. Beberapa kali ia mencoba menetralkan detak jantungnya yang bergemuruh karena tatapan mereka tiba-tiba bertemu. Tidak lama laki-laki berjalan kearahnya. Embun mencoba tenang dengan menarik dan menghembuskan nafas dengan pelan.
“Bu Embun?” tanyanya, dengan suara lembut yang menyentuh telinganya.
“Iya saya, ada yang bisa saya bantu?” Loh, Kok kenal gue? Dia bukan...Embun mengerutkan dahinya mencoba mencari tahu siapa laki-laki didepannya.
“Saya Sachdev Gavin yang akan interview hari ini,” ucapnya dengan senyum yang menawan.
Shit, kok beda.. kok lebih ganteng?! Umpatnya dalam hati.
Embun mati-matian menormalkan kembali debaran jantungnya. Raut mukanya dibuat senormal mungkin ketika menerima kandidat interview. Ada ketegasan dan keramahan yang terpancar disana.
Yaelah bisanya gue tiba-tiba gak professional. Yok bisa Embun! Ungkapnya dalam hati.
“Mari ikut saya.” ujar Embun singkat.
Embun bukannya tidak terpesona dengan Gavin, tapi pantang baginya untuk menunjukkan ketidakprofesionalan ketika sedang berurusan dengan pekerjaan.
Kesibukan membuat karyawan lain tidak memperhatikan Embun yang membawa kandidat layaknya artis papan atas. Setidaknya itu menguntungkan Embun karena ia tidak harus menjadi target para karyawan HRD lain untuk ditanya data pribadi kandidat itu. Setelah mengetuk, Embun masuk diikuti dengan Gavin dibelakangnya.
“Embun, saya akan interview pak Gavin sendiri, kamu bisa kembali ke meja kamu,” ucap Luisa dengan nada tegas tapi tidak kasar.
“Baik bu, kalau begitu saya permisi dulu.”
Luisa hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyuman tipis.
Embun melangkahkan kakinya keluar ruangan dan kembali ke kubikelnya. Gadis itu terus memandangi pintu ruangan Luisa setelah duduk dikursi kubikelnya. Ia tidak sadar sudah diperhatikan Dea sejak tadi. Dea jadi ikut memperhatikan pandangan Embun.
“Kenapa sih Mbun? Ngeliatin apa?” ujar Dea.
“Kandidat buat Manajer keuangan.. Ya ampun, Mbak! Seandainya lo liat mukanya, lo bakalan setuju sama gue kalo dia gak cocok kalo jadi Manajer,” ujar Embun sambil menatap Dea lekat.
Dea mencebik untuk menggoda rekan kerjanya itu.
“Rekomendasian si Darto kemarin ya?” ucapnya dengan tawa renyah.
Embun hanya mengangguk, sebenarnya bukan karena wajahnya yang membuat Embun ragu, tapi pembawaannya yang tenang juga membuat Embun yakin bahwa dia bukan dari kalangan biasa.
“Dari sekian banyak, akhirnya ada juga yang menarik hati ya Mbun. Ciee.. gak mau lo prospek?” goda Dea.
“Ih mbak Dea! Mana boleh kayak gitu?! Kode etik perekrutan.”
“Acara lo sendiri itu sih, mana ada kayak begitu!”
Entah kenapa baru kali ini dia merasakan perasaan aneh dengan candaan Dea. Padahal biasanya dia tidak akan pernah menggubris apapun yang dilontarkan oleh rekannya jika menyangkut tentang calon karyawan. Pipinya yang cerah sudah bersemu merah seperti tomat mengingat tatapan Gavin tadi.
-***-
Setelah kejadian beberapa hari lalu, Embun sudah benar-benar lupa betapa terpesonanya dia dengan kandidat yang satu itu. Ia terlalu diburu waktu untuk menyelesaikan seluruh hutangnya mengisi kekosongan karyawan di beberapa lini departemen. Embun Banyak mengirimkan email dan pemberitahuan untuk datang interview dan banyak kandidat yang menyanggupi undangan tersebut, tetapi pada hari yang ditentukan, mereka malah tanpa pemberitahuan menghilang tanpa jejak.
Memang perusahaannya baru berkembang dibidang manufaktur fiber. Selain konsumsinya yang tidak digunakan luas, karena masih awam dengan nama perusahaan tersebut maka banyak juga kandidat yang mempertanyakan kredibilitas dalam menangani kesejahteraan karyawan. Karyawan HRD perusahaan itu maklum dengan adanya stigma tersebut dikalangan pelamar apalagi pada mahasiswa dengan IPK cumlaude yang malah berebut ke perusahaan-perusahaan besar lainnya.
Setelah berkutat dengan pencocokan data, Embun segera melangkahkan kakinya menuju kubikel Manajernya, Vivi. Terlihat Vivi sedan mencebik dengan membolak-balikkan halaman yang sudah dijilid rapi tersebut. Embun yang ingin bertanya mengenai penjadwalan interview selanjutnya dibuat berpikir, haruskah dia mengganggu Vivi saat ini?
“Bu Vivi, ganggu gak ya. Saya mau konsultasi untuk hasil interview,” ucap Embun dibuat setenang mungkin.
Vivi menoleh ke arah Embun dengan ekspresi datar. Ia tidak menjawab tapi menatap Embun dengan lekat.
“Emm.. ini Bu, hasil Manajer keuangan dan pelaporan anggaran. Jadinya ini siapa ya yang bakal naik ke tahap selanjutnya? soalnya waktu itu Bu Luisa bilang bakal follow upnya ke Bu vivi,” Embun mengatakan hal tersebut sambil nyengir.
“Oh, Dia gak ada bilang apa-apa sama saya, nanti coba saya follow up ke dia,” ucapnya sambil masil menampilkan dahi yang berkerut.
Embun tidak pernah heran kenapa Vivi tidak pernah memanggil Luisa dengan sebutan Ibu Luisa. Para Karyawan bahkan lebih sering melihat Luisa dan Vivi berdebat kusir atau Vivi yang kadang berani menyuarakan ketidaksetujuannya walaupun berujung tetap harus menurut, karena memang mereka bersahabat sejak dulu kuliah bersama di salah satu Universitas swasta bergengsi di Jakarta.
Tetapi jangan salah, Luisa sangat disegani dan lumayan di takuti oleh para Karyawan HRD walaupun wanita itu menjadi General Manager HRD di usianya yang masih terbilang muda, yaitu 32 tahun. Tentunya posisi saat ini karena ada campur tangan keluarga, ia masih bersaudara dengan pemilik perusahaan tempatnya saat ini bekerja.
Selesai dari kubikel Vivi, Embun kembali ke kubikelnya dan berdiam sejenak. Tiba-tiba ia memandangi CV Gavin. Ada foto di halaman CV Gavin yang membuat Embun tertarik memandanginya.
“Eehmm!” Dea sengaja berdehem keras karena melihat Embun yang tengah tenang memandangi foto yang ada dalam CV.
“Ada apa mbak Deaa.. kangen Bang Darto ya?” ucap Embun yang tak kalah usil.
“Gak usah ngalihin topik ya, Mbun. Jelas-jelas lo tuh yang lagi merhatiin foto. Mau lo jampi-jampi ya? btw ganteng mbun, siapa tuh?!” Dea langsung merebut CV yang ada di meja Embun.
“Ih apa sih Mbak Dea!” Embun mencoba merebut cv tersebut.
“Whooaaa.. ini yang namanya Sachdev Gavin Adnan. Ganteng ya.. Pantesss..” goda Dea.
“Pantes apa?”
“Belum menikah nih, Mbun. cocok buat gue!”
“Gue aduin lo sama bang Darto!”
“Huh! Dasar tukang ngadu.”
Embun terkekeh menanggapi cebikan Dea dan kembali fokus pada pekerjaannya. Entah mengapa dalam hatinya ada harapan untuk bertemu kembali dengan kandidat Manajer keuanagan ini. Sebenarnya hatinya juga bertanya-tanya. Boleh tidak sih dia ada di posisi ini. Mengincar pelamar?
-***-