**
Seminggu berlalu. Bukan hal yang mudah untuk Dion dan sang kakak untuk menerima semua kenyataan pahit ini. Orang yang tadinya hidup berkecukupan dan apapun tinggal minta, kini lelaki itu harus ikut memikirkan biaya hidup mereka sepanjang harinya. Bapak Dion sekarang hanya petani kecil, itu pun sawah satu-satunya yang masih tersisa dan bisa digarap. Mana Emak sekarang juga mendadak jadi suka kena serangan asma. Bikin panik aja tiap malam. Padahal dulu sehat-sehat saja, memang faktor ekonomi itu juga bikin penyakit pada datang, ya.
"Gimana, Yon? Emak lu sehat kan?" tanya Ernest. Mereka kini sedang berkumpul di kantin kampus sambil menikmati bakso langganan mereka.
"Ya gitu dah jadi kena asma. Mana rumah gue sama kampus sekarang jauh banget," keluh Dion lalu menyeruput es capucino pesanannya.
"Gimana kalau lu ngekost aja?" tanya Udin memberi penawaran.
"Biaya hidup gue nambah lagi, dong," desah Dion.
"Ini aja gue nyambi ngojek online buat beli bensin sama jajan," imbuhnya.
"Tenang aja nanti kita semua yang bahu membahu buat biayain kostan elu, Yon," sambut Gilbert memberikan jalan keluar atas permasalahan sahabatnya. Slogan hidup Genk Rewo-Rewo adalah, saling membantu di kala teman ada yang susah, saling membully ketika ada yang sepantasnya dibully ... udah cukup begitu aja slogan yang nggak mutu sekali. Eh, bermutu dong kan loyalitas dijunjung tinggi.
"Yach ... gue jadi ngrepotin elu dong," ujar Dion menjadi sungkan.
"Nggak usah lu pikirn itu, Sob! Sekarang yang mesti kita pikirin gimana caranya nanti malam tahun baru kita jadi ke Bali!" sambung Ernest mengingatkan kembali pada rencana awal genk rewo-rewo yang pingin banget menghabiskan malam tahun baru di Pulau Dewata.
"Nah, iya! Gue lagi tongpes begini," decak Dion lesu.
"Sama aja gue juga keuangan menipis begini, mana tiga bulan lagi udah Desember," gersah Jovian.
"Gue punya ide, gimana kalau ... sini gue bisikin!" Ernest menggerakan ujung jarinya, meminta pada anak buahnya tersebut untuk mendekat kepadanya. Setelah ke empat temannya bergerombol lelaki si ketua genk itu pun mengutarakan idenya.
"Gila!"
"Geblek!"
"Ogah ah! Ngeri!"
"Ampun gue gak ikutan!"
Berbagai makian dan ekspresi tergambar dari mulut dan wajah Dion, Jovian, Udin dan juga Gilbert.
"Ya ampun cemen banget kalian ini! Ini udah biasa buat lelaki kota meteropolitan macam kita, ayolah salah satu aja diantara kita, setelah kita dapat uangnya kita hempas dech," rayu Ernest. Sudah sejak semalam dia mikirin ide gila ini. Ide yang bisa mempertaruhkan nama baik mereka kalau sampai ketahuan sama orang-orang yang mereka kenal.
"Gila! Gue kagak berani ah," tolak Dion tegas sambil bergidik ngeri. Membayangkan saja sudah menakutkan apalagi ngejalaninya.
"Rebutan pacar sama Farish aja udah serem ditambah ini .... " lanjut Dion membayangkan kisah masa lalunya dengan teman sekampus yang berujung pertengkaran hebat karena rebutan cewek beda jurusan.
"Ah nyalinya pada menciut semua! Ayolah! Just have fun!" Ernest mengompor-ngompori temannya.
"Gini aja dech kita main arisan, siapa yang namanya keluar itu yang akan bergerak. Gimana?" usul Gilbert seraya mengedarkan pandangan matanya menatap ke arah teman-temannya satu per satu.
Ke lima pemuda berumur dua puluh satu tahun tersebut kompak saling pandang. Mulut mereka terkunci sejenak, kening mereka terlihat berkerut-kerut tanda bahwa mereka sekarang sedang berpikir keras.
"Gue setuju!" Ernest menjawab terlebih dulu dari pada teman-teman yang lainnya. Iyalah, dia yang punya ide.
"Oke dech siapa takut. Mumpung masih muda kudu punya pengalaman yang agak nakal dikit," sambung Udin sambil manggut-manggut.
"Gue juga oke, dech," timpal Jovian.
"Kalo semua pada setuju gue juga. Sekarang saatnya gue berdoa yang kenceng biar nama gue nggak keluar," kata Gilbert yang notabene anak paling penakut di antara yang lainnya.
"Tinggal lu doang nich, Yon. Ayo gimana? Masa lu cemen banget sie?" ledek Ernest.
Dion menatap langit-langit kantin kampus, sok serius seperti mikirin masalah negara yang berat banget. Berpikir beberapa detik sebelum akhirnya dia memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Toh belum tentu juga nama gue yang keluar. Pikirnya saat ini.
"Oke, siapa takut!" jawab Dion dengan tegas sembari mengibaskan ujung kaosnya bagian atas. Wajah si playboy ini mulai kelihatan tengil. Masalah ekonomi yang baru dihadapinya dia hempas dulu untuk sementara waktu.
"Nah gitu dong!" seru teman-teman yang lainnya dengan kompak.
Ernest membuka tas ransel yang dibawanya untuk mengambil kertas dan juga bolpen. Dia sobek kertas itu menjadi lima serpihan kecil yang ukurannya sama. Setelah itu ia buka penutup pulpen miliknya untuk ia gunakan menulis nama-nama temannya termasuk namanya sendiri.
Deg-degan dong ya masa enggak? Karena siapa pun nama yang akan keluar dari dalam botol air mineral bekas minuman orang yang Ernest pungut di lantai kantin tersebut, itulah yang masa depannya akan dipertaruhkan.
"Oke kita kocok, ya! Siapa ni yang mau ngocok?" tanya Ernest yang terlihat paling bersemangat, kayak yang yakin banget kalau bukan namanya yang bakal keluar.
"Udin aja, nich. Kayaknya dia yang keseringan ngocok," ledek Gilbert.
"Njiir ... kita kan ngocok bersama di kostan gue," ledek balik Udin.
"Ya udah kocok bareng gih. Wkwkwkwk," seru Ernest. Saking nggak tahu malunya, mereka malah memperpanjang masalah perngocokan sampai didengerin sama mahasiswa dan mahasiswi yang lain. Sudah biasa juga sie buat mereka ngeliat tingkah genk rewo-rewo yang memang nggak pernah ada malunya. Perkumpulan para lelaki jomblo yang gemar berghibah. Cuma Dion doang yang hobi gonta-ganti pacar, itu dulu sebelum dia babak belur dihajar sama Si Farish. Dan lagian mana ada cewek yang mau sama dia kalau mobil dia udah nggak punya dan harta pun pas-pasan? Dion mah paham, bukan cuma kegantengannya doang yang jadi daya tarik, tapi juga hartanya yang (dulu) melimpah.
"Siti, lihatin Mas Udin mau ngocok!" seru Gilbert usil memanggil adik kelas cewek yang kebetulan memang lagi ditaksir sama Si Udin. Si Siti lagi pesen minuman dan berdiri di seberang Si Udin duduk.
Satu pukulan mendarat di kepala berambut lima centi meter milik Gilbert. "Bangcad lu, ya! Bikin Siti illfeel sama gue lu!" omel Udin. Meski begitu tangannya masih terus bergerak mengocok botol air mineral itu kuat-kuat, kayak yang bakalan keluar jin aja. Aku beri kamu tiga permintaan. Wkwkwkwk ....
Suasana kantin mulai rame, yang berlalu lalang pun tak lepas memerhatikan tingkah Dion dan keempat kawannya, apalagi ketika satu buah lintingan kertas keluar dari dalam botol yang sejak tadi dikocok bergantian oleh Udin dan Jovian.
"Bikin ulah apa lagi mereka ini?" gerutu salah satu mahasiswa yang kebetulan satu mata kuliah dengan kelima pemuda gila tersebut ketika melintas di meja yang digunakan Dion and the genk untuk kongkow.
"Moga-moga bukan nama gue yang keluar," doa Ernest, si pembuat ide malah dia yang nggak mau kena idenya. Itu egois coey namanya!
"Bukan gue juga pasti," sambung Jovian sok memantabkan hatinya padahal aslinya takut banget kalau begitu dibuka ada namanya di sana.
"Mampus! Kenapa jadi gue yang gemeteran," celetuk Dion yang tangannya udah dingin banget.
"Gue buka ni, ya." Gilbert mulai melepas gulungan kertas itu untuk melihat nama siapa yang sial sekali sudah tertulis di sana.
Dag-dig-dug! Mereka pun tak henti berdoa dengan cara mereka masing-masing. Ada Udin yang sampai merem-merem saking khusyuknya dia berdoa, ada Jovian yang beberapa kali mengelus dadanya dan menghela napas kasar, ada juga Si Gilbert yang meniup-niup kertas yang ada di tangannya, berharap begitu namanya yang dia baca, lalu ketika terkena hembusan jigongnya, nama itu berubah jadi nama temannya. Oh mau main sulap ceritanya. Ernest dan Dion no react. Mereka sibuk mengamati gulungan kertas yang sudah mulai terbuka sempurna dan ....
"Yes!" Gilbert bersorak-sorai sambil memukul-mukul meja kantin begitu tahu kalau bukan namanya yang ada di situ. Ini celebration yang keterlaluan, meja kantin bisa rusak woey! Bikin kegaduhan aja sukanya.