BAB 2 - Pertemuan

1088 Words
Mas Daffa mengamatiku sebentar. Aku mulai berpikir kalau dirinya sedang memikirkan sesuatu. Dia seperti tengah menimang apakah dirinya harus menemaniku atau pergi. Aku bisa melihatnya dari raut wajahnya yang tenang. Dia benar-benar pria dewasa yang menyenangkan.   “Ya?” kataku dengan tampang memelas.   Dia menatap mataku lalu seketika dia pun menganggukkan kepalanya dan langsung menyetujui apa yang aku inginkan. “Baiklah. Aku akan menemanimu untuk sementara.” katanya.   Aku mulai memanfaatkan situasi, aku tidak mengenalnya begitu juga dengan dirinya, jadi akupun dengan wajah tanpa tahu malu langsung memeluk dirinya dari samping, hal ini sontak membuat tubuhnya terasa menegang. Ah, aku sering mendengar celotehan teman laki-lakiku kalau semua tubuh laki-laki dewasa sangatlah mudah terangsang walaupun hanya sebatas sentuhan biasa. Dan lihatlah aku memeluk laki-laki dewasa.   Ah, namun, masa bodoh. Aku tidak peduli. Lagi pula kini aku berada di tepi jalan dan banyak orang yang berlalu lalang, sudah jelas bahwa Mas Daffa tidak akan pernah malakukan hal-hal di luar batas seperti yang dikatakan teman-temanku tersebut.   “Jangan begini, tidak enak dilihat sama orang.” kata Mas Daffa sambil mencoba melepaskan tanganku yang kini memeluk lengannya.   Aku pun seketika menangis begitu saja karena mengalami penolakan. Dalam hidup, penolakan memanglah selalu menjadi hal terburuk diantara yang terburuk.   “Mengapa kamu menangis? Apa saya menyakiti tanganmu?” tanya Mas Daffa. Dia terlihat tidak enak hati dan langsung mengecek kondisi tanganku yang sebenarnya baik-baik saja karena memang tidak terjadi apa-apa.   Melihat bagaimana cara Mas Daffa memperlakukanku dengan lembut membuatku merasa begitu terharu. Aku mulai membandingkan perlakukan Mas Daffa dengan Azriel. Mantan b******k yang baru saja aku putuskan karena menikahi wanita lain, benar-benar memuakkan.   Aku menggeleng.   “Lalu? Kenapa kamu menangis?” tanya Mas Daffa. Dia melepaskan tanganku namun aku buru-buru memeluk lengannya lagi.   Aku tidak punya laki-laki cadangan, sehingga aku merasa kalau aku perlu seorang laki-laki yang bisa membuatku sadar kalau laki-laki bukan hanya Azriel saja. Aku tidak menjawab pertanyaannya, aku mulai menikmati tangisanku.   “Jadi, Azriel itu pacarmu?” tanya Mas Daffa.   Aku menatapnya aku mulai mencari tahu dari mana Mas Daffa mengetahui hal tersebut. Namun, setelah aku mengingat-ingat aku pun tahu kalau dia tentu telah memperhatikan aku saat aku masih marah-marah sendiri di pesta pernikahan Azriel.   Akupun menangis dan memeluk lengannya lagi, “Iya, Mas. Dia adalah pacarku. Dia jahat sekali. Dia tidak memutuskanku namun dia langsung menikah dengan wanita bunting tadi. Aku benar-benar merasa kesal kepadanya. Kenapa Mas? Kenapa ada orang sejahat itu dalam hidupku?” kataku.   Aku mulai menangis tersedu-sedu. Namun, detik selanjutnya ntah siapa yang memulainya, aku sudah ada di dalam pelukannya.   Aku pun kembali menangis, melupakan semua masalahku dan terus meluapkan emosiku kepada dirinya. Dia adalah orang asing, jadi aku tidak perlu takut menangung malu jika bertemu dengannya lagi. Sebab, aku akan berpura-pura tidak mengenalnya bila hal tersebut sampai kita bertemu lagi. Mas Daffa mendengarkan aku dengan sabar.   “Aku benar-benar menyesal, Mas. Aku menyesal berpacaran dengannya selama tiga tahun. Tiga tahun, Mas. Tiga tahun kami menjalin hubungan, tiga tahun aku dibodohi, tiga tahun juga aku dikhianatinya. Andai waktu bisa diulang, aku ingin sekali menendang dia dari ingatanku juga menendang dia dalam hidupku. Andaikan pintu ke mana saja milik doraemon benar-benar ada, tentu aku akan membawa Azriel ke Antartika dan menenggelamkan tubuhnya agar di makan oleh ikan piranha.” Aku pun menangis lagi.   Aku jadi merasa bodoh. Aku tidak pintar, aku juga tidak tahu di mana antartika, dan aku tidak tahu apakah di antartika ada ikan piranha atau tidak yang jelas aku hanya ingin mengatakannya begitu saja.   Mas Daffa terlihat sedikit berpikir. Lalu aku melepaskan pelukan kami dan menangis di tempatku dengan tersedu-sedu. Dia sudah merasa lega karena sudah mengatakan semuanya.   “Tunggu sebentar!” katanya.   Mas Daffa pun terlihat pergi meninggalkan aku. Aku yang melihat kepergiannya tidak bisa berbuat apa-apa. Aku jadi berpikir kalau Mas Daffa hendak meninggalkan aku. Namun, aku tidak mau pergi dari tempatku saat ini, aku belum puas menangis. Jadi, aku memutuskan untuk menunggu Mas Daffa meski tidak tahu apakah dia akan kembali ke tempat aku berada saat ini atau tidak.   “Sedang patah hati malah ditinggal pergi. Begini sekali nasibku.” kataku sambil mengusap air mataku sendiri.   Tak lama kemudian, di luar dugaanku yang mengira kalau Mas Daffa pergi, dia pun muncul kembali. Aku melihat dia berjalan ke arahku dengan sebuah plastik warna putih yang aku tidak bisa menebak isi di dalamnya, namun yang jelas isinya terlihat sangat banyak.   “Maaf ya lama.” katanya yang langsung duduk di sampingku.   Alih-alih memperhatikan apa yang dia bawa, mataku kini justru memandang wajah Mas Daffa yang kini dipenuhi peluh. Namun, anehnya hal tersebut tidak menjadikanku jijik kepadanya. Bahkan aroma harum dan maskulinnya seakan menghinoptisku.   Keringatnya membuat dia menjadi tambah tampan. Tunggu! Apakah aku baru saja menyebutnya tampan? Ah, abaikan saja. Sepertinya aku mulai gila karena ditinggal menikah.   “Ini, untuk kamu.” kata Mas Daffa sambil menyodorkan plastik putih kepada kepadaku.   Akupun langsung mengambil plastik tersebut dan membuka isinya ternyata di dalamnya berisi banyak makanan, ada es krim dan biskuit coklat. Semuanya serba coklat, apa dia berusaha ingin membuat aku menjadi lebih lebar?   “Makan saja, sambil bercerita. Kata orang coklat itu membahagiakan, maka dari itu aku membelinya untuk dirimu.” kata Mas Daffa sambil tersenyum singkat.   Senyumannya benar-benar sangat manis untuk orang seusianya, bahkan bukan hanya manis, dia terlihat lebih macho. Ah, bagaimana harus menjelasannya.   “Makasih ya, Mas.” kataku.   Semua yang dikatakan olehnya memang benar, coklat memang mengasyikkan bisa meningkatkan mood seseorang yang sedang hancur sepertiku. Lalu, akupun mengambil es krim tersebut dan memakannya. Aku tidak mau menawarinya karena aku takut kalau dia mau. Aku tentu tidak mau berbagi bibir dengan dirinya.   “Kamu kelas berapa?” tanya Mas Daffa.   Aku menyesalkan pertanyaan ini, pertanyaan ini tentu membuatku sadar kalau aku masih menggunakan pakai serangam putih abu-abu. Padahal tadinya aku akan mengaku sebagai anak kuliahan namun mengingat pakaian ini aku pun tidak bisa berbohong.   “Aku udah lulus, Mas.” Kataku.   “Lho, tapi seragam kami ini?” tanya Mas Daffa sambil menunjuk rok yang aku kenakan.   “Aku itu baru lulus. Tadi adalah hari terakhir UN.” Aku mulai menjelaskan.   “Bukankah itu artinya belum lulus? Belum ada pengumumannya bukan?” tanya Mas Daffa.   “Aku pasti lulus, Mas. Percaya padaku. Kata teman-temanku, kalau ada siswa di antara kami yang tidak lulus maka citra sekolah akan menjadi buruk. Sekolah akan dianggap tidak becus mendidik murid. Semua sekolah tentu menggilai citra bukan? Maka dari itu mereka sudah pasti akan meluluskanku. Sebab, ujian kami hanya formalitas.” Kataku mencoba menjelaskan. Aku tidak tahu apakah aku benar atau salah yang jelas aku ingin mengatakannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD