2. Belum Move On

1402 Words
7 tahun berselang, "Serius lo mau pindah ke Jakarta, Mel?" itu respon dari Kak Elvin saat pertama kali mendengar kabar tentang kepindahanku ke ibu kota. Aku sih hanya mengangguk sekilas tanpa menatap sepasang manik matanya yang mengerjap penasaran. "Woo … ya jelas dong," jawabku sambil mengerling pada akhirnya. "Alasannya?" Ternyata perempuan cantik yang baru tiga minggu melahirkan ini tetap saja mengejarku dengan pertanyaan senada. Elvin Eleanor, atau yang biasa aku panggil Kak Vin, adalah salah satu penulis novel ternama yang beberapa bukunya meledak di pasaran. Enam dari delapan novel cetak karyanya aku yang menjadi editornya saat itu. Lambat laun kami jadi sangat dekat, apalagi setelah tahu kalau Kak Vin ini seniorku di kampus yang sama. "Nggak usah pura-pura nggak tau alasannya deh, Kak," gurauku meninju pelan lengan atasnya. "Bayu?" Aku menaikkan kedua alisku bersamaan. Nama itu memang menjadi salah satu alasan kepindahanku ke Jakarta. Pria yang sempat aku sayangi sepenuh hati namun ternyata sangat tega membohongi dengan begitu keji. Makhluk b*****t memang!! "Ada alasan lain sih sebenernya," seruku lagi lantas duduk di sebelah Kak Vin. "Alasan apa?" "Gue dapet promosi dong, jadi managing editor di kantor pusat Gayatri," sambungku sambil menaikturunkan alis bersamaan. "Whooaah ngeri, ngeri, ngeri," respon Kak Vin berlebihan. "Tapi itu artinya elo bakalan pindah permanen dong di sana, jarang ketemuan lagi dong kita." Ibu dua anak itu langsung memeluk erat tubuhku dan manyun berlagak sedih. "Diih, lebay. Ini cuma ke Jakarta kali, bukan ke Zimbabwe yang jauhnya nggak ngotak." "Ya tetep aja, nggak bisa ketemu sering-sering kayak gini lagi," keluh Kak Vin lagi. Berlebihan sih, tapi ya memang seperti itu perangainya. Aku sudah hapal luar dalam sejak menjadi sahabatnya bertahun-tahun lalu. "Kalau lagi liburan kan tetep bisa ketemu, Kak," sanggahku menepis kekhawatiran sahabat terbaikku ini. “Terus nyokap lo?" "Nyokap ya nggak gimana-gimana, tetap di sini sama Mbak Merry." Mbak Merry itu kakakku satu-satunya. Sudah berumah tangga dan sekarang sedang sibuk mengajar di salah satu perguruan tinggi ternama di Surabaya. "Maksud gue, emang sekarang elo nggak dikekepin lagi sama Tante Nisa? dari dulu kan tante selalu berat ngelepas elo jauh-jauh setelah hampir jadi korban gempa yang dulu itu." Mendengar kalimat panjang Kak Vin, sontak membuatku tergelak. Apalagi karena ia masih mengingat tentang kejadian dimana aku hampir menjadi korban bencana alam saat awal-awal menjadi jurnalis tujuh tahun silam. Masa-masa gemilang yang mengawali karirku saat ini di Gayatri Publishing, sekaligus masa yang ingin aku kubur dalam-dalam jika mengingat sekelumit romansa yang sempat membuat hatiku patah berkali-kali. "Nggak lah, nyokap oke-oke aja kok. Gue udah bukan ABG labil lagi Kak, nggak akan bolak balik ke perantauan demi cowok lagi kayak jaman firaun dulu," sahutku masih tergelak. Sepertinya menertawakan diri sendiri memang bisa jadi obat mujarab untuk mengurangi patah hati. "Nasib percintaan kita kayaknya nggak jauh-jauh amat ya ngenesnya, Mel." Kali ini Kak Vin terkekeh. Ibu mudah itu sampai meletakkan bayi kecilnya di kasur sebelahnya agar tak ikut terguncang setiap kali sang ibu tertawa. "Dulu gue terjebak lama sama Ervan sebelum Mas Rega datang berkali-kali dan bikin gue melek mata dan hati. Sedangkan elo ... susah banget move on dari Bang Fino, eh begitu ketemu sama Bayu ternyata lebih b*****t lagi perangainya." Eehh... Bang Fino? Kenapa nama itu kembali membuat dadaku berdesir? Ckk, Kak Vin nggak lihat sikon banget deh, kembali nyebut tuh nama sakral. "Sssttt ... mulut lo Kak, ada di dekat bayi malah ngomong b*****t-b*****t," decihku mengalihkan perhatian. Kak Vin buru-buru menepuk bibir beberapa kali seolah baru tersadar dengan kalimat kasarnya. "Laah, mulut lo juga, asem lo emang!" "Eh, tapi emang bener sih ya? nasib percintaan kita gak ada yang beres. Elo mah enak, sekarang udah ajeg, tenang, tentram, damai, harmonis plus romantis abis sama Mas Rega. Lah gue? punya mantan suami b*****t kuadrat amat cuma jadiin gue tambang emas!" "Ya udah kalau mantan suami bangciat, balik aja ke si Abang cinta pertama lo itu?" "Cinta pertama gue udah jadi suami orang kali." Bibirku mencebik masam. Tapi dalam hati aku sempat mempertanyakan bagaimana kabar pria si cinta pertamaku itu? "Eh iya ya? jangan deh, jangan sampe tragedi kebegoan gue dulu terulang di elo, Mel." raut wajah Kak Vin berubah sedikit lebih serius. Aku yang sudah mengenal Kak Vin luar dalam, paham betul apa maksud kalimatnya. Beberapa tahun silam drama rumah tangganya memang mencengangkan dan membuatku ikut pusing karena menjadi saksinya. Beruntung, drama pilu itu sudah berakhir manis. Sebaliknya, sekarang aku yang baru saja memulai drama lainnya. "Sayang, Barra udah tidur kan? Bagas haus nih?" suara familiar Mas Rega-- suami Kak Vin, membuat kami kompak menoleh ke arah pintu. "Sudah Mas, sini gantian Bagas yang aku susuin." Kak Vin mengulurkan tangannya hendak menggendong bayi mungil dari tangan sang suami. Informasi saja, Kak Vin ini baru saja melahirkan bayi kembar laki-laki. Bayi mungil yang tengah tertidur di sebelahnya bernama Barra. Sedangkan bayi mungil yang baru saja dibawa masuk Mas Rega bernama Bagas, kembarannya. Bukan itu saja, keluarga mereka juga lengkap dengan adanya putri sulung mereka yang bernama Malika. Melihat bagaimana bahagianya Kak Vin saat ini membuatku ikut merasa lega. Namun juga ada sejumput rasa iri menyayat hati karena kisahku berkebalikan dengan kebahagiaan keluarga Kak Vin. "Meli senyam senyum terus dari tadi, pengen gendong juga ya?" pertanyaan Mas Rega memecah gelembung lamunku. Pria itu duduk di sebelah Kak Vin di sisi yang lain karena akan menggendong bayinya yang satu lagi. "Pengen sih, tapi masih takut, Mas. Kecil banget itu bayinya." Bayi kembar Kak Vin memang begitu tampan menggemaskan, namun jujur, aku masih takut jika harus menggendong salah satu di antara mereka. Tubuhnya sangat kecil, aku yang tak ada pengalaman dengan bayi baru lahir tentu saja khawatir jika nanti salah posisi dan mengakibatkan tulang mereka patah. Berlebihan mungkin, tapi memang itu yang aku takutkan. "Ajaib kalau baru lahir langsung gede, Mel." Tiba-tiba jemari usil Kak Vin mencubit lenganku. "Ya makanya, aku baru berani gendong mereka nanti aja kalau udah gedean dikit," kilahku sambil mencebik kesal padanya. "Belajar, Mel. Nanti kalau udah punya bayi sendiri biar semakin luwes," ujar Kak Vin memasang senyum lebar. "Hadeeeh, calon bapaknya aja belum ada hilal, Kak. Gimana bisa bikin bayi? ngadi-ngadi lo ya!" "Ya ... kali aja nanti di Jakarta dapet cowok oke yang nggak bangciat lagi, Mel." "Loh, Meli mau pindah ke Jakarta?" Mas Rega menoleh cepat ke arahku. Alis tebalnya terangkat satu, membuat wajah tampannya terlihat lucu saat penasaran seperti ini. "Yoi, Mas. Makanya aku ke sini nengokin baby sekalian mau pamitan sama kalian berdua." "Pindah kerja?" imbuh suami Kak Vin itu lagi. "Masih di Gayatri, cuma dipindah ke kantor pusatnya aja," jelasku membuatnya manggut-manggut. "Naik jabatan dia, Mas. Makanya langsung sikat aja pas diminta pindah ke ibu kota. Eeh... sekalian ngelupain Bayu sih katanya," sambung Kak Vin memperjelas. "Eeh, sorry ya, gue udah lupain si Bayu kok. Laki modelan berang-berang gitu mah gampang lupainnya," selaku cepat-cepat. Seperti aku yang mengikuti perjalanan cinta Kak Vin dan Mas Rega, seperti itu pula mereka berdua paham dengan kisahku dan Bayu di masa lalu. Jadi tanpa sungkan aku bebas mencemooh mantan tak tahu aturan itu di depan mereka. "Halah... sok ngatain berang-berang, tapi pernah cinta juga," goda Kak Vin sambil terkikik. Ternyata meskipun sudah menjadi ibu tak menyurutkan sifatnya yang suka mencibirku. "Sekarang udah nggak bersisa, Kak. Gue mah gampang move on kalau berhadapan sama cowok karbitan kayak dia. Sial aja dulu cepat percaya sama tuh mulut comberan." Bayu memang baik saat kami pertama kali kenal dan menjalin kedekatan. Kenapa aku bilang sial? karena aku terlalu percaya di awal, tapi kebusukannya baru terbongkar setelah kami menikah beberapa bulan. Sial kuadrat kan? "Berarti kalau sama si abang yang satunya gak gampang move on ya?" "Abang siapa? yang di Medan itu bukan?" Mas Rega ikut menimpali. Bapak-bapak masa kini ternyata kepo juga ya? "Sstt ... nggak usah bahas dia lagi deh, kalau jantung gue kembali bergetar kalian mau tanggung jawab?" protesku membuat sepasang suami istri itu tergelak bersamaan. Dasar kampretlah mereka ini, kompak banget kalau soal merundung sahabatnya sendiri. "Kalau elo masih jengkel dan ketar-ketir sama dia, berarti elo belum move on dari tuh cinta pertama lo, Meli!!" Aku melengos enggan menjawab. Karena kalau boleh jujur, seorang Arfino Hesta memang tak pernah pergi dari sudut hatiku. Pria jangkung itu seolah punya tempat tersendiri yang tak akan terganti oleh pria manapun. Sekarang hingga selamanya. "Iya kan?" lanjut Kak Vin lantas menaikturunkan kedua alisnya usil. Aakhhh ... Kak Vin asemm!! Jengkelin banget hari ini malah bahas si Bang Pinpin. Kan sama saja seperti mengorek cinta lama yang terpaksa berpisah karena tak mendapat restu semesta! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD