2. You Kill My Baby?

1875 Words
Sore itu Madilyn meminta Saveri mendatangi unit apartemennya karena ada hal penting yang harus gadis itu sampaikan pada kekasihnya. Saking pentingnya hal yang ingin dibicarakan oleh Madilyn, ketika Saveri meminta untuk menceritakan sedikit klu hal yang akan menjadi topik pembicaraan mereka, Madilyn menolak mentah-mentah. Ketika Madilyn membuka pintu unit apartemen, Saveri menemukan kekasihnya itu seperti baru saja telah menghabiskan waktu untuk mengeluarkan air mata selama berjam-jam lamanya. Membuat Saveri merasa bersalah karena sejauh yang dia ingat, kekasihnya itu tergolong gadis tangguh yang pantang menangis di hadapan siapapun, termasuk dirinya. Madilyn selalu terlihat cantik, menarik dan ceria dengan senyum manis yang selalu terulas di wajahnya. Tidak mungkin hanya karena masalah sepele lantas membuatnya sampai menangis seperti itu. Perasaan Saveri mendadak tidak enak. “Katanya ada hal penting yang mau kamu omongin? Ada apa, Honey?” tanya Saveri sambil menyentuh pundak Madilyn yang sedang menghadap ke arah kitchen cabinet. Tak menjawab pertanyaan Saveri, ketika berbalik badan Madilyn menyerahkan dua buah alat tes kehamilan di atas meja pantry. Tatapan Saveri yang tadinya menatap lurus ke arah bola mata hazel milik Madilyn, kini telah beralih sepenuhnya ke arah dua buah benda menyerupai termometer yang baru saja diletakkan oleh Madilyn. Saveri tidaklah kurang pergaulan yang membuatnya tidak tahu alat apa yang kini sedang menjadi fokus tatapannya. Dan dia juga bisa tahu maksud dari alat tersebut apa. Oleh karena itulah sebuah pertanyaan meluncur dari mulutnya, untuk memastikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang kini hilir mudik di pikirannya. “Itu punya kamu, Honey?” tanya Saveri hati-hati. “Iya,” jawab Madilyn nyaris kehilangan suaranya. Jawaban singkat itu membuat suasana hati Saveri berubah buruk. Bukannya merangkul Madilyn dengan penuh suka cita mengetahui kekasihnya hamil, yang dilakukan Saveri justru muring-muring karena terlalu shock dan panik mendengar informasi yang baru saja disampaikan oleh Madilyn. Lalu sebuah pertanyaan dari Saveri terlontar yang menjadi awal mula kekacauan di antara mereka berdua. “No! You can't be pregnant!” ucap Saveri tidak percaya. “Selama ini kita selalu pakai pengaman.” “Ya, tapi buktinya masih bisa jadi juga,” jawab Madilyn sini. Ia tidak terima dengan pertanyaan bernada menyalahkan yang dilontarkan oleh Saveri. “Tapi kok, bisa?” “Maksud kamu apa dengan nanya seperti itu?! Kamu mau bilang kalau aku mengada-ada soal testpack itu?” “Nggak gitu maksud aku, Lona. Aku cuma masih nggak percaya aja kalau kamu membiarkan hal seperti itu sampai terjadi pada diri kamu.” “What the hell?! Maksud lo gue hamil karena kesalahan gue sendiri gitu? Lo pikir gue bisa hamil tanpa sperm dari lo?” Saveri yang tantrum karena membayangkan skenario buruk terjadi dalam hidupnya kalau sampai dirinya harus memiliki anak di usianya yang baru saja memasuki 22 tahun, lalu mulai menyalahkan Madilyn karena menganggap kekasihnya itu tidak teliti saat menghitung masa suburnya dan bahkan terus-terusan menyalahkan Madilyn yang telah membiarkan kejadian dirinya sampai hamil. Dia mulai membayangkan masyarakat mulai memandang buruk padanya. Seorang anak pewaris bisnis keluarga sudah punya anak pada usia muda, padahal dia baru berumur 22 tahun. Masih seorang mahasiswa di universitas terkemuka yang ada di Amerika. Masih banyak hal yang ingin dia lakukan di usia muda. Dia ingin bersenang-senang seperti pemuda lainnya sebelum akhirnya memutuskan dirinya untuk terikat dalam sebuah pernikahan. Yang terburuk dari itu semua adalah dia tidak berani membayangkan reaksi marah dan kecewa kedua orang tuanya begitu mereka tahu bahwa anak laki-laki mereka satu-satunya, pewaris tunggal gurita bisnis milik ayahnya, seorang anak konglomerat berpengaruh di Indonesia yang sudah dikirim jauh-jauh ke Amerika untuk mendapatkan pendidikan terbaik bukannya pulang dengan gelar sarjana bisnis internasional, justru dengan seorang pacar yang tengah mengandung. Dan kini dia mulai membayangkan masa depannya satu persatu akan hancur dan tentu saja hal itu membuatnya panik bukan main. Rencana terbaik versi Saveri untuk membuat agar skenario buruk itu tidak sampai terjadi di kehidupannya adalah tidak ada bayi dan pernikahan di usianya sekarang. Saveri bukan tidak mau menikah dan membina rumah tangga yang bahagia dengan anak-anak lucu yang akan menjadi penerus keturunannya. Namun dia membayangkan hal seperti itu akan terjadi dalam hidupnya masih sekitar lima bahkan mungkin sepuluh tahun lagi. Untuk bisa mewujudkan rencana itu maka dia harus bisa meyakinkan Madilyn agar menyetujui rencananya. Saveri berusaha membuat pembicaraan ini agar bisa berjalan setenang mungkin. Ia lalu mengajak Madilyn duduk di sebuah sofa yang mengarah ke televisi. Setelah duduk berhadapan ia menyentuh salah satu pundak kekasihnya itu sambil memandang dengan tatapan memohon. “Kira-kira berapa usianya sekarang?” tanya Saveri kemudian tatapannya turun ke perut Madilyn. Nada bicaranya kali ini terdengar lebih lembut dari sebelumnya. “I think, sekitar empat minggu. Aku juga nggak tahu karena belum memastikan ke dokter kandungan.” “Masih muda banget, ya. Kalau digugurkan aku rasa nggak terlalu berisiko buat kamu. Nanti aku bantu cari solusi menggugurkan bayi tanpa resiko dan juga tanpa rasa sakit,” ujar Saveri sembari mengelus rambut Madilyn. Madilyn tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Saveri tak percaya kekasihnya itu melontarkan gagasan sedangkal itu. Bukan jawaban seperti ini yang dia harapkan dari seorang Saveri yang selalu bilang sangat mencintainya dengan sepenuh hati. Karena tak ada reaksi berarti dari Madilyn, Saveri melepas tangannya dari pundak Madilyn. Dia sudah beralih menggenggam tangan kekasihnya itu. “Anggap saja itu cuma sebuah kecelakaan dan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan kekacauan itu adalah dengan jalan menggugurkannya.” Madilyn menatap tak percaya pada apa yang baru saja diutarakan oleh Saveri. "Are you telling me to kill my baby?!” pekik Madilyn setelah sadar ke mana arah pembicaraan Saveri. “Ini bukan membunuh, Lona. Usia empat minggu pasti masih berbentuk gumpalan darah. Aku rasa belum berupa janin,” balas Saveri masih berusaha tetap tenang untuk menanggapi emosi Madilyn yang mulai tidak stabil. “Membunuh terlalu kasar menurut aku.” “Menurut kamu gitu? Tapi aku nggak mau merasa telah menjadi pembunuh seumur hidupku kalau aku sampai nekat menggugurkan bayi ini.” Suasana kembali mencekam. Saveri yang tadinya sudah mulai tenang kini terpancing lagi emosinya. Membuat kesabaran Saveri yang memang tidak terlalu tebal menjadi terkikis oleh sikap keras kepala Madilyn yang berusaha menentang pendapatnya. “Aku masih harus menyelesaikan kuliahku. Sementara kuliah kamu juga masih panjang jangka waktunya. Kita nggak mungkin menjalankan kuliah sekaligus merawat anak dalam waktu yang bersamaan. Harus ada yang dikorbankan salah satunya. Dan aku nggak mungkin mengorbankan kuliahku. Orang tuaku juga nggak akan setuju kalau sampai aku melakukan hal itu. Mereka pasti akan mencabut semua fasilitas yang diberikan padaku kalau sampai aku berhenti kuliah karena persoalan ini. Please! Kamu ngerti maksud aku, kan?” “Semua bisa kita lakukan bersama-sama asal kamu mau tanggung jawab. Kita nikah dan besarin bayi ini sama-sama. Kita bisa saling menguatkan dan memberi dukungan satu sama lain. Aku juga bisa kerja part time untuk membantu kamu membiayai keluarga kecil kita nanti. Aku juga akan tetap dukung kamu menyelesaikan kuliahmu. Aku akan selalu ada di sisi kamu dalam keadaan suka maupun duka.” “Pakai logika kamu. Sekarang aja kita kuliah dan hidup di Amerika karena biaya orang tua masing-masing. Baik aku maupun kamu nggak ada yang pernah merasa kesulitan soal biaya kuliah dan hidup selama di Amerika. Lalu sekarang tiba-tiba kamu bilang mau kerja part time dan secara nggak langsung kamu nyuruh aku kerja juga, kan? Aku nggak pernah bisa membagi waktuku untuk melakukan banyak hal sekaligus dalam satu waktu. Aku dituntut untuk fokus kuliah, lulus dengan nilai c*m laude dan menjadi pewaris bisnis keluargaku. Setelah aku mendapatkan itu semua baru aku mulai memikirkan pernikahan! Aku bahkan nggak pernah cerita ke orang tuaku kalau aku punya pacar di sini.” Saveri kembali memegang pundak Madilyn. Gadis itu sudah siap menangis lagi. Sementara Saveri yang seumur hidupnya tidak pernah menyakiti perempuan seketika merasa bersalah yang teramat dalam. Dia tahu kata-kata yang diucapkannya tadi terlalu menyakiti Madilyn. Namun dia tidak punya cara lain agar membuat Madilyn sadar dan berpikir menggunakan logika ketimbang menggunakan perasaan yang tidak akan menemukan jalan keluarnya. “We are too young to be parents. Demi Tuhan, aku belum siap jadi Bapak. Dan aku juga yakin kamu belum siap 100 persen jadi Ibu. Kalau kita sama-sama belum siap, trus nanti gimana anak itu?” “See! Kamu yang sebenarnya belum siap, kan?” “Please, pikirkan masa depan kamu juga. Cita-cita kamu nggak akan mungkin tercapai sepenuhnya kalau bayi itu benar-benar hadir di antara kita. Kehadiran bayi itu akan menghancurkan kehidupan kamu. Percaya sama aku.” “Tapi aku udah sayang sama calon bayi dalam kandungan aku. Satu-satunya sumber kekuatan yang membuat aku yakin bahwa aku bisa menjadi seorang ibu yang baik buat dia,” ujar Madilyn sambil menangis terisak. "Aku udah menyayangi dia sebagaimana aku menyayangi kamu, Xylon. Dia bagian dari kamu, makanya aku akan berusaha untuk mempertahankannya sekuat aku mempertahankan cintaku padamu selama ini." Kesabaran Saveri sudah terkikis habis. Dia mengguncang bahu Madilyn beberapa kali agar gadis itu sadar dan berhenti menangis. “C’mon, Lona! Bagaimana mungkin kamu mencintai sesuatu yang bahkan kamu nggak tahu bentuknya seperti apa.” “Aku nggak nyangka kamu menyebut bayi kita dengan sebutan seperti itu. Ini bukan benda. Di dalam perut aku sekarang ada makhluk hidup yang bernyawa, dia darah daging kamu dan kamu mau nyuruh aku buat bunuh dia?” teriak Madilyn dengan emosi yang semakin tak terkendali. “Tapi kalau bayi itu sampai benar-benar ada, kita semua akan hancur! Apa kamu sengaja mau menghancurkan hidup aku?!” balas Saveri berteriak dengan nada bicara tak kalah tinggi dari nada bicara Madilyn. “Aku kecewa banget sama kamu! Bukan bayi ini yang akan menghancurkan hidup kamu, tapi justru kamulah yang sudah menghancurkan masa depanku. Ingat itu, Saveri Xylon Dhananjaya!" Madilyn menyumpah dengan keadaan emosi buruk. "Demi Tuhan, kamu tidak akan pernah mendapatkan ketenangan dalam hidupmu. Seumur hidupmu selamanya akan dihantui oleh bayang-bayang janin yang ingin kamu singkirkan dari dunia ini!” Dunia Madilyn terasa hancur dan dia tidak ingin seumur hidup berada di bawah bayang-bayang penyesalan kalau sampai nekat menyingkirkan kehidupan baru dalam dirinya. Madilyn bertekad akan tetap mempertahankan kandungannya dan merawat bayinya hingga tumbuh dewasa meski tanpa sosok ayah maupun harus melewati waktu dengan penilaian buruk masyarakat tentang dirinya yang hamil dan melahirkan tanpa sosok suami. Dan sampai matipun Madilyn tidak akan merelakan Saveri melihat anaknya apalagi mendekatinya. Saveri sangat sadar kalau kata-katanya pada Madilyn sudah keterlaluan ketika melihat Madilyn bangkit dari sofa dan dengan langkah cepat dia menuju gantungan dan meraih mantel coklat milik Saveri kemudian melemparnya keluar apartemen. “Go to hell, Saveri!” pekik Madilyn. “Kita belum selesai bicara, Lona!” “Jangan pernah memanggilku dengan nama itu karena kamu bukan siapa-siapaku lagi mulai detik ini! Kita selesai sampai di sini, Saveri!” Saveri bangkit dari sofa dan berjalan ke arah Madilyn yang kini berada di pintu apartemen. “Honey, I am sorry. Saran aku tadi bukan berarti kita harus mengakhiri hubungan ini. Aku nggak mau putus dari kamu.” “Tapi kamu sudah melakukannya,” ujar Madilyn dengan wajah berlinang air mata, tetapi masih menunjukkan kalau dia kuat menghadapi kenyataan yang ada. “Honey, please… Kondisi kamu sekarang pasti sedang labil. Aku tahu kamu nggak terima dengan saranku tadi. Tapi coba kamu pikirkan sekali lagi. Itu demi kebaikan kita, Honey.” “Kebaikan lo doang. Bukan kebaikan gue. I hate you!” Madilyn mendorong tubuh Saveri sekuat mungkin hingga laki-laki itu keluar dari unit apartemennya. Setelah mengacungkan jari tengahnya Madilyn mengempaskan pintu dan menguncinya rapat-rapat. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD