Jihan?

1489 Words
Di Pagi hari, biasanya orang bersemangat untuk menjalani hari tapi itu tidak terjadi pada Lp. Entah kenapa pagi ini dia tidak semangat sama sekali. Bahkan saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat, ia masih berada di dalam rumah. Dimana Zero? Jelas saja dia sudah pergi bekerja bahkan satu jam yang lalu. Hanya Lp saja yang masih berada di meja makan sambil melihat satu piring lontong sayur yang dibelikan Zero untuk dirinya. Lp menghela nafas panjang. Sulit sekali melupakan masa lalu. Lp tidak bisa menyembunyikan hati yang masih terkunci di masa lalu. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Kenapa ia tidak bisa menyukai perempuan lain? Entahlah. Lp bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Kebingungan pada dirinya sendiri membuat Lp tidak menemukan jawaban yang memuaskan. "Astagfirullah," ucap Lp kaget. Ia sedang termenung dan dering ponselnya berbunyi. Lp langsung melihat siapa yang melakukan panggilan. Ada nama Hiro di layar ponselnya. Lp langsung mengangkat panggilan tersebut. Mungkin saja hal yang serius. Setelah menjawab salam, Lp langsung bertanya ada apa. "Lagi dimana?" tanya Hiro dari seberang sana. "Rumah. Kenapa, Bang?" "Tolong jaga Alan. Gue mau ke rumah sakit." Lp langsung khawatir. "Siapa yang sakit?" tanyanya. "Mama Alan muntah dari tadi malam, gue khawatir." Lp langsung menyetujui untuk menjaga Alan. Dia juga suka anak kecil dan Alan bukan anak orang lain. Jadi baginya, Alan sudah seperti anak sendiri. Lp tidak jadi menghabiskan lontong sayur yang masih tersisa banyak. Ia meletakkan di dalam lemari yang aman untuk tempat makanan. Setelah itu, Lp langsung menjemput Alan. Jarak rumah Lp dan Hiro tidak jauh. Berjalan kaki bisa, naik sepeda bisa karena jarak yang dekat. Rumah mereka berada di satu kompleks yang sama tapi beda blok saja. Lp keluar dari rumah menggunakan sepeda. Beberapa menit kemudian, ia sampai di depan rumah yang pagarnya sudah terbuka. Lp langsung masuk dan mengucap salam dengan suara yang cukup keras. "Om..." suara Alan langsung terdengar. Lp tersenyum. "Papa mau bawa Mama ke uma cakit," adunya dengan penuh semangat. "Mama Alan sakit?" "Iya." Alan langsung menirukan seseorang yang sedang muntah. Dia cepat sekali memahami kondisi yang terjadi. Tepat setelah itu, Hiro dan Hana keluar rumah. Lp dapat melihat wajah khawatir yang tercetak pada wajah Hiro. "Jagain dulu ya," pinta Hiro. "Iya. Langsung ke rumah sakit?" Hiro mengangguk. Istrinya memang sedang hamil. Biasanya hanya muntah-muntah kecil. Tapi dari semalam, Hana berkali-kali muntah sampai tubuhnya tidak berdaya lagi. "d**a, Papa..." Alan melambaikan tangan setelah Mama dan Papanya pergi ke rumah sakit. "Kita mau kemana?" tanya Lp. Beberapa anak-anak kompleks sudah berangkat sekolah. Baik paud, Tk maupun SD. Jadi di pagi hari memang terlihat sedikit sepi. "Beli jajan, Om." Alan menyengir. Lp hanya bisa tertawa kecil. Ia memang paling semangat membawa Alan ke mini market. Tapi siap-siap saja setelah itu Hiro menceramahi dirinya. Meskipun begitu, Hiro tidak pernah ragu menitipkan anaknya kepada sang teman. Ia bahkan lebih percaya kepada Lp dan yang lain dibanding harus mempekerjakan orang. Bukan Hiro pelit atau bagaimana, tapi ia takut sang anak mendapat perlakuan yang tidak baik. "Masih pagi," tolak Lp secara halus. "Matahali udah anas." Alan menunjuk matahari yang memang sudah bersinar terang benderang. Panasnya cukup terasa walaupun masih pukul sepuluh kurang. "Nanti Papa marah karena jajan terus." "Iam-iam, Om." Alan berkata dengan suara pelan seakan-akan ingin mengatakan sesuatu yang bersifat rahasia. Lp gemas sendiri. Ia mencium pucuk kepala Alan berkali-kali. "Kita ke rumah Om dulu," ajaknya. "Oke." Alan bersemangat. Lp langsung mengayuh sepeda menuju rumahnya. Alan berada di depan, Lp memegang tubuh Alan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya untuk memegang stang sepeda. Awalnya Alan masih asyik bermain dirumah Lp. Tapi lama kelamaan rasa bosan itu timbul. Alan terus-terusan meminta untuk diajak ke minimarket. Kalau begini, Lp tidak bisa menolak. "Mau beli apa emangnya?" tanya Lp sebelum benar-benar membawa Alan ke minimarket terdekat. "Es klim." Wah wah, ini tidak bisa diterima. "Nggak boleh," ucap Lp. "Catu aja, Om." Alan tengah memberi bujuk rayuan agar Lp setuju. Apalagi matanya dikedip-kedipkan segala. "Nanti Papa sama Mama Alan marah. Om takut." Lp berakting seakan-akan takut kepada kedua orang tua Alan. "Iam-iam, Om." "Nanti Alan jawab apa kalau ditanya sama Papa?" Alan terdiam sejenak. Kedua orang tuanya selalu mengingatkan dirinya untuk tidak berbohong. Pasti setelah dijaga oleh Lp atau yang lain, Hiro akan bertanya apa saja yang dilakukan oleh sang anak. Jawaban Alan selalu penuh dengan kejujuran. "Tapi Alan mau jajan, Om." Lihat lihat, Alan terlalu mudah untuk membujuk Lp. Wajah Alan tampak menggemaskan. Mana bisa Lp menolak permintaannya. "Jangan es krim." "Telus apa?" Lp terkekeh. Padahal banyak makanan di minimarket. Tapi karena dasarnya Lp menyukai sesuatu yang dingin, jadi yang menarik bagi dirinya adalah es krim dan minuman-minuman dingin. "Salad gimana?" Kebetulan di minimarket yang tidak jauh dari kompleks menjual salad segar. "No. Alan bocan." Semenjak sang Mama Hamil, dirumah mereka hanya ada buah-buahan. Alan yang baru berumur tiga tahun saja mengeluhkan hal tersebut. Tapi mau bagaimana lagi. Hiro mengutamakan kesehatan untuk keluarganya. "Terus apa?" Lp jadi bingung sendiri. "Es klim, Om." Alan masih menginginkan es krim. "Gimana ke toko Mama Alan aja?" tawar Lp. Di toko kue Hana banyak pilihan kue yang sangat enak-enak. Banyak anak kecil yang menyukainya. "No. Bocan." Alan kembali mengatakan bosan. Ya mau bagaimana lagi, Mamanya yang punya toko kue. Pasti tiap ke toko kue makan kue yang dijual disana. "Terus es krim nggak bosan?" Alan tersenyum lebar. Lalu ia menggeleng sebagai jawaban. Bisa-bisanya yang lain bosan, tetapi es krim tidak bosan. Lp bergumam kembali, "jangan es krim deh, yang lain." Alan tampak berpikir keras. Bahkan tangannya memegang dagu. Sudah seperti orang dewasa saja. "Yogul, Om." "Boleh. Pokoknya jangan es krim. Janji dulu." Lp harus mengingatkan diawal. Tidak lucu bukan saat sampai disana, Alan langsung membuka tempat penyimpanan es krim. "Janji, Om." Akhirnya Lp membawa Alan ke minimarket dengan sepeda motor. Butuh waktu sepuluh menit untuk sampai disana. Ada banyak cafe dan toko-toko yang berdampingan dengan minimarket. Lp bersemangat masuk ke dalamnya. Ia bahkan tidak menunggu Lp yang tengah meletakkan helm. "Tunggu dulu," ujar Lp. Bahaya jika tiba-tiba Lp hilang dari pandangannya. "Alan cini, Om." Alan sudah masuk ke dalam. Pintunya dibuka oleh orang yang juga masuk ke dalamnya. Alan seperti sudah hafal letak-letak jajanan favoritnya. Dia langsung berlari ke belakang menjadi rak yang menjadi tempat disusunnya berbagai macam yogurt. "Ini gimana?" "Boleh." Sedang melangkah mengejar Alan, Lp tidak sengaja mendengar suara yang tidak asing bagi telinganya. Lp berulang kali menyadarkan diri bahwa ia sedang berhalusinasi saja. Apalagi setelah mimpi yang cukup mengganggunya seharian ini. Tapi saking penasarannya. Lp malah berhenti melangkah dengan mendengarkan dengan seksama suara tersebut. "Jangan yang itu, nggak cocok." "Oh ya? Aku kira sama aja." Lp beristighfar berkali-kali. Dia tidak boleh berlarut-larut dengan masa lalu. Tapi rasa penasaran membuat Lp ingin melihat siapa pemilik suara tersebut. Apa dia orang yang sudah delapan tahun tidak dilihat oleh Lp? Saat ingin memastikan, suara Alan membuat fokusnya tiba-tiba kacau. Lp kaget melihat Alan yang terjatuh ke lantai. Tentu saja Lp langsung mengejar dan melihat. "Apa yang sakit?" tanyanya langsung. Alan tidak menangis. Ia bahkan langsung berdiri seakan-akan tidak merasakan apa-apa. "Bisa-bisa Om di gorok ntar," ucap Lp sambil mengecek tubuh Alan apa ada yang lecet atau tidak. "Nggak akit, Om." Alan meyakinkan Lp bahwa ia tidak merasakan apa-apa. "Yakin?" Alan mengangguk. "Ya udah, jangan lari lagi." Lp mengingatkan. Alan memegang tangan Lp untuk dibawa ke rak dimana yogurt tersusun rapi. Meskipun begitu, Lp masih penasaran dengan pemilik suara yang tidak asing bagi telinganya. Matanya melihat-lihat, kali saja suara itu memang miliki mantan istrinya. Walaupun itu terdengar sangat mustahil sekali. "Nggak mungkin," gumam Lp sendiri. Ia terlalu memikirkan sang mantan istri. Jadi suara orang lainpun seperti suara mantan istrinya. Pikiran Lp benar-benar kolot. Lp fokus menemani Alan untuk mengambil beberapa yogurt. "Kok bukan yang ini?" Lp menunjukkan satu yogurt yang biasa diambil oleh Alan. "Bocan, Om." Alan kembali menjawab dengan kata bosan. "Dua aja, jangan banyak-banyak." Lp melarang Alan mengambil yogurt terlalu banyak. Ingat ya, bukan berarti dia pelit atau gimana. "Tambah catu agi. Ya, Om?" Alan sedang tawar menawar. Lp geleng-geleng kepala. Pada akhirnya ia menyetujui keinginan Alan. " Ya udah, cukup tiga." Alan bersorak gembira. "Apa lagi?" tanya Lp setelah 3 yogurt sudah dipegang oleh Alan. "Ets... jangan ke sana." Lp mengingatkan Alan karena ia terlihat ingin melangkah ke tempat penyimpanan es krim. Alan tertawa karena tertangkap basah oleh Lp. "Ini aja, Om. Nanti Papa malah." Alan tidak menginginkan yang lain lagi. Tentu saja Lp senang. "Anak pintar, ayo kita bayar." Lp langsung menggendong Alan ke meja kasir. Sesekali ia melirik orang-orang di minimarket. Jujur saja Lp masih penasaran, siapa pemilik suara yang tidak asing bagi telinganya? Tapi Lp tidak melihat siapapun. Apa dia benar-benar merindukan sosok yang tidak halal bagi dirinya lagi? Lp hanya bisa beristighfar. Ia sudah tidak boleh memikirkan bahkan rindu dengan sosok yang sudah menjadi mantan istrinya itu. Sungguh berdosa dirinya memikirkan perempuan lain yang kemungkinan besar sudah menjadi istri orang lain. Lp hanya bisa mengharapkan pengampunan dari zat yang maha pengampun. Ia tidak ingin terjerat pada rasa yang tidak baik ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD