Bab 105

1144 Words
"Aira bisa sembuh, kita harus yakin, Al. Dia adalah anak yang kuat dan cerdas." "Aira sudah kuanggap sebagai adikku sendiri jadi, aku pun merasa sangat sedih melihat keadaannya seperti ini." "Kita sama-sama menyayanginya, Alpha. Kamu tidak sendirian, ada banyak orang yang mendukungmu termasuk aku. Aira adalah harga mati, iya kan?" Cih, lucu sekali. Masih dalam posisi berbaringnya di atas ranjang pasien, Aira mendengarkan dengan seksama pembicaraan kedua orang dewasa di depan sana. Dan kebanyakkan Kak Sheila yang bicara, sementara Kaka Alpha hanya diam. Dan kalimat-kalimat yang Aira dengarkan itu barusan terucap dari lisan Kak Sheila. Seriously, wanita itu benar-benar pelakon yang hebat. Kalimatnya, cara bicaranya, seolah Kak Sheila betulan menyayanginya. Seperti dirinya ini memang menjadi prioritas utamanya. Dan lagi, bola matanya yang menatap penuh pada lawan bicaranya, seolah menunjukkam betapa Kak Sheila bersungguh-sungguh pada ucapannya. Dam demi Tuhan, Aira tahu itu hanya gimik semata. Kak Sheila tidak bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. Itu hanyalah ajang untuk menarik perhatian Kak Alpha saja. Tidak lebih. Karena diam-diam, Aira bisa melihat gurat seringai setipis helaian kapas di salah satu sudut bibir wanita itu. Palsu, semua yang Kak Sheila ucapkan adalah kebohongan semata. Lantas, bagaimana dirinya bisa menyelamatkan diri sendiri kalau kakaknya saja malah akrab dengan seseorang yang ingin mencelakainya? "Kak Alpha ... dia bukan orang baik," gumam Aira sepelan mungkin. Nyaris seperti bisikkan. Terhitung sudah sepuluh menit keduanya saling berbicara dan pada menit ke sebelas, disaat Aira memalingkan wajahnya dari dua orang dewasa di sana, bersamaan dengan Alpha yang melihat ke arahnya. "Aira?" ucap Alpha. Melihat kepala sang adik yang bergerak, Alpha pun langsung menghampirinya. Langkah kakinya yang berbalut pantofel pun terdengar sangat tepat. Cepat dan tegas demi menuju posisi di dekat sang adik. Begitu raga Alpha sudah mendarat di sebelah Aira, dan kedua pasang lensa jernih mereka saling bersinggungan, pada saat itulah Alpha bisa melihat terdapat setitik air yang menggenang di pelupuk mata indah adiknya. "Aira, hei kamu kenapa?" Alpha bertanya khawatir. "Apa?" Namun Aira malah balik bertanya. "Kamu menangis? Mata kamu basah, Ra." Dengan tergesa, Alpha pun menyeka perlahan air yang menggenangi area sekitar mata sang adik. Penuh kelembutan dan hati-hati. Aira diam, membiarkan sang kakak membantunya mengusap semua itu. Iya, dia menangis dalam diam. Dan Aira juga menahan sekuat-sekuatnya air mata berikutnya yang hendak jatuh dan mengalir deras sampai membuat pipinya banjir. Aira tidak mau memperlihatkan keadaan seperri itu kepada kakaknya. Apalagi di depan sana ada sosok lain yang sangat membencinya dan melihatnya dengan sorot penuh amarah. Benar, lihat sekarang? Tatapan yang Kak Sheila hunuskan padanya saat ini berbading 180 derajat dari tatapan Kak Sheila yang tadi saat menyanjung-nyanjungku dii hadapan Kak Alpha. "Nggak Kak, Aira gak nangis kok." "Lalu kenapa mata basah seperti ini. Apa kamu merasakan sakit lagi pada anggota tubuhmu?" Alpha bertanya cepat. "Ingat, Ra. Jangan lakukan kebohongan yang sama lagi. Kamu sudah berjanji akan mengatakan semua yang kamu rasakan jika rasa sakit itu datang," sambung Alpha. Ya, ketika Alpha membongkar semua kebohongan Aira selama ini. Tentunya tidak begitu saja, Alpha membuat perjanjian agar Aira langsung mengatakan kepadanya jika merasa kesakitan lagi. Atau apa pun yang terjadi padanya, Aira harus mengatakan semua itu pada dirinya. Termasuk perasaan yang sedang ia rasakan. Tapi, untuk saat ini Aira tidak bisa mengatakannya. Atau mungkin belum bisa mengatakan yang sejujurnya mengenai perasaan yang membuatnya merasa sangat terpukul. Belum saatnya. Maka, Aira pun menggelengkan kepalanya. "Iya Kak Alpha, Aira ingat betul kok perjanjian itu. Dan Aira tidak akan berbohong lagi mulai sekarang. Serius, Aira tidak merasa sakit apa pun lagi kok, Kak. Tubuh Aira sudah merasa jauh lebib baikkan dari kemarin." Aira berkata dengan suara lirihnya. Kedua tangan Alpha yang besar pun menggenggam penuh telapak tangan milik adiknya yang kecil. Ia bawa dalam kungkungannya secara penuh dan menguasainya. Usapan kecil pun Alpha lakukan dengan perlahan dan penuh kehati-hatian di sana. Sembari mendengarkan kalimat yang Aira katakan. Dan matanya tidak berpalinh sedetik pun pada objek pandang yang lain. Hanya melihat penuh pada sepasang obsidian jernih dan indah Aira. "Terus kenapa mata kamu bisa merah dna berair seperti ini hum?" Kembali, Alpha tanyakan hal yang sama. Namun kali ini nadanya lebih lembut dari yang awal. "Aira baru bangun dan menguap, tentu saja mereka akan memerah dan berair, Kak. Tidak terjadi sesuatu hal lain yang mengkhawatirkan kok," jawab Aira dengan senyum tipisnya. "Betul? Kamu sedang tidak berbohong lagi kan?" selidik Alpha. Aira mengangguk kembali. "Uhum, untuk apa Aira membuat janji kalau mengingkarinya, Kak," jawabnya. "Maaf Kak Alpha tapi, ini semua demi kita. Aku tidak mau mengatakan semuanya di hadapan Kak Sheila. Orang itu, pasti tidak akan tinggal diam." Suara batin Aira dalam hati. "Oke, Kakak percaya sama kamu," sahut Alpha. Senyumnya pun ikut berkembang bersamaan dengan pergerakkan kecilnya yang mengusap dahi putih pucat milik sang adik. Lantas menyematkan satu kecupan sayang di sana. Keduanya pun saling tersenyum. Alpha dengan perasaan salah yang disadarinya namun, enggan berpaling. Dan Aira yang masih tidak tahu apa-ala mengenai perasaan sang kakak. Lalu, Sheila? Jangan lupakan sosok itu yang masih berada di sana. Berdiri di sebelah posisi duduk Alpha dan menatap dirinya penuh kebencian. Sebenarnya, Aira sendiri juga tidak tahu asal muasal Kak sheila begitu membencinya. Kenapa bisa sampai sebesar itu rasa tidak suka Kak Sheila terhadap dirinya. Karena demi Tuhan, Aira merasa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun sampai membuat wanita itu tersakiti. Apakah hanya karena kecemburuan semata? Kak Sheila cemburu padanya karena kasih sayang yang Kak Alpha berikan padanya? Tapi, kenapa? Bukankah hal itu wajar? Kak Alpha adalah kakaknya, kakak kandungnya. Dan sebagai saudara sedarah, sudah seharusnya saling menjaga dan menyayangi. Lantas, kenapa Kak Sheila tidak suka melihat interaksi mereka? "Ekhem!" Deheman itu berasal dari Sheila. Wanita dewasa itu terlihat sedang berdiri dengan canggung atau mungkin kesal? Ya, tentu saja kesal. Melihat interaksi sepasang kakak beradik itu membuatnya marah. Bukan canggung tapi marah. Mereka adalah sebuah kata dengan makna yang berbeda. Sheila sedang marah. "Aira syukurlah kamu baik-baik saja. Kakak senang sekali melihat kamu sudah siuman dan biaa diajak ngobrol kembali," ucap Sheila penuh kepura-puraan. Aira diam. Tidak menggubris sama sekali perkataan Sheila dan hanya memilih bungkam. Lirikan matanya pun terasa sangat dingin. Dan Aira berharap semoga saja kakaknya bisa memahami arti dari tatapannya itu. "Kakak sudah memaafkan kamu atas perlakuan kamu yang terakhir kali dengan Kakak kok. Tapi, malah kamu yang terluka. Aira, jangan seperti itu lagi ya. Kakak sama sayangnya dengan kamu. Kita sayang kamu Aira." Maaf? Memaafkan? Memangnya apa yang sudah ia lakukan pada Kak Sheila? Bukannya Kak Sheila yang sudah melakukan sesuatu kepadanya. Apa ini? Benak Aira dipenuhi oleh tanda tanya. "Kak-" "Iya, tidak apa-apa. Jangan mengatakan apa pun lagi. Kakak ikhlas dan sudah memaafkan semuanya. Kamu hanya perlu fokus pada kesembuhan kamu, Ra," potong Sheila cepat. Tapi apa yang sudah dia lakukan? Aira semakin bingung. Melihat reaksi Kak Alpha yang biasa saja bahkan nyaris tersenyum simpul, Aira merasa telah terjadi sandiwara lain di sini selama dia tidak sadarkan diri. Tapi, apa? Kenapa malah dirinya yang terkesan melakukan kesalahan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD