Bab 69

1047 Words
“Ada apa dengan Sheila, Aira?” Alpha jadi ikut panik melihat adiknya yang tiba-tiba menjadi seperti ini. Pelukkan yang Aira buat pun terasa sangat erat mengungkung pinggang Alpha. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Aira jadi seperti ini? Alpha kebingungan sendiri. “Aira tidak mau bertemu Kak Sheila, jangan Kak Sheila yang ke sini menemani Aira,” ucap gadis itu terbata-bata. “Hei-hei, jangan seperti ini Aira. Kakak mohon tenang dulu kamu tenang dulu ya?” Namun, Aira menggelengkan kepalanya. “Nggak, Aira gak mau bertemu dengan Kak Sheila, tidak mau Kak.” Dan Aira masih bersikeras dengan perkataannya. Alpha menyerah, ia mengambil ponselnya kembali dan segera mendial up nomor Sheila. “Oke-oke, Kakak akan bata;kan permintaan Kakak untuk menyuruh Sheila kemari. Kmau tenang dulu ya? Tenang Sayang.” Alpha usap dengan lembut punggung sang adik dengan sayang menggunakan sebelah tanganya. Dan tangannya yang lain sedang memainkan ponselnya, menghubungi Sheila. Begitu panggilannya terhubung, Alpha langsung berkata tanpa basa-basi lagi. “Halo Sheila.” Lingkaran lengan Aira di tubuh Alpha semakin erat saat Alpha menyebutkan nama Sheila dari mulutnya. Dan Alpha menyadari hal tersebut, ia sempatkan mengecup puncak kepala Aira agar adiknya lebih tenang sedikit. “Sheil, sepertinya perkataanmu waktu itu benar. Kamu tidak usah datang ke sini dulu untuk beberapa waktu ya. Aira sedang tidak bisa bertemu siapa pun dulu,” kata Alpha dengan Sheila di seberang sana. “...” “Iya, terima kasih atas pengertianmu ya, Sheil. Kalau begitu panggilannya kututup dulu.” Klik! Panggilan berakhir dan Alpha meletakkan ponselnya asal di atas nakas. Aira masih bergetar di atas tempat tidurnya sembari enggan melepaskan dekapannya pada tubuh sang kakak. “Sudah Aira, tenang Sayang. Kak Sheila tidak jadi kesini. Kamu hanya akan bersama dengan Kakak saja, tidak dengan yang lain.” Ucapan-ucapan penghantar ketenangan pun terus menerus Alpha keluarkan dari lisannya agar Aira kembali tenang. Siapa pun tolong, Alpha merasa dihantam oleh sesuatu yang tak kasat mata ketika melihat Aira seperti itu tadi. Mana mungkin dia bisa tenang saja disaat gadis yang paling ia cintai di muka bumi ini seperti itu. Kecupan-kecupan sayang terus Alpha sematkan pada dahi dan puncak kepala Aira secara bergantian. Serta tangannya yang tak berhenti mengelus lembut punggung kecil itu di belakang sana. “Aku sudah membuat Aira seperti ini.” Dan Alpha masih berpikir bahwasannya apa yang terjadi dengan Aira sekarang adalah akibat perbuatannya di masa lalu, yang selalu mengucilkan Aira, membenci Aira, dan menyatakan rasa ketidaksukaannya kepada Aira kecil secara terang-terangan. Bodoh! Pemikiran yang masih terjebak di masa lalu membuat seseorang tidak bisa melihat masa depan dengan sudut pandang lain yang lebih baik. Dan itu yang terjadi dengan Alpha saat ini. Menyayangi boleh, atau mungkin harus jika konteksnya seperti Alpha dan Aira saat ini. Memberikan perhatian yang lebih, mengumandangkan bahwa aku cinta kamu sebanyak hamparan buih di pantai. Tidak masalah. Namun, jangan sampai logika yang memainkan kendali dalam perasaan kita. Sebaliknya, hati yang tenang dapat membuat logika kita berjalan sebagaimana mestinya. Jadi, seperti Alpha sekarang. Dia masih terus menganggap bahwa apa yang terjadi pada Aira sekarang mengenai trauma-trauma yang adiknya itu miliki adalah akibat luka masa lal yang pernah ia torehkan di masa lalu. Benar, tapi mungkin untuk sekarang Alpha harusnya bisa membedakan mana yang benar-benar trauma akibat kejadian masa lalu dengan ketautan yang datang di hari ini. Meski mirip dan tanda-tandanya hampir sama, tapi jelas yang ada dalam benak dan pikiran Aira berbeda. “Aira takut, Kak,” rengek Aira. Pelukkannya sudah tak sekuat yang awal. Wajahnya pun sudah ia beri spasi dari d**a bidang kakaknya. Hanya saja, kulitnya yang dasarnya kaukasoid terlihat jadi semakin pucat. Kedua mata yang bergerak gelisah dan sebagian jemari tangannya yang mulai melepaskan eratnya kungkungan di baju bagian belakang Alpha. “Ssttt, jangan takut kan ada Kakak yang selalu bersama denga kamu di sini.” Alpha menenangkan selembut mungkin. Perlahan, Aira memposisikan duduknya seperti semula. Bersandar di kepala ranjang tempat tidurnya yang sudah Alpha setel agak naik bagian atasnya. “Kamu minum dulu ya, setelah itu tidur oke?” Alpha angsurkan segelas air di atas nakas kepada Aira yang dibalas gelengan kepala dari gadis itu. “Aira mau air hangat, Kak,” katanya mencicit pelan. “Oh oke, sebentar ya.” Segera Alpha menuangkan air dari dalam termos bercampur ke air di gelas. Setelah memastikan suhunya tidak terlalu panas atau dingin, Alpha pun memberikannya pada sang adik. “Pelan-pelan,” ucapnya sembari memegangi sebagian sisi gelas yang Aira tenggaknya isinya. Usai mimun, Aira kembali jatuhkan tatapannya kepada sang kakak yang juga tengah menatapnya sama lembut. Bedanya, Aira menatap dengan ekpresi yang sulit dijelaskan. Walau kelembutan itu masih tercetak jelas di obsidiannya yang jernih. “Ada apa, hmm?” tanya Alpha lembut. Selembut mungkin ia kerahkan tutur katanya beserta intonasi yang sama. “Tapi Kakak ...” Menjeda, pandangan mata Aira kembali gelisah. “Kenapa dengan Kakak?” “Kakak harus segera melaksanakan jaga malam itu kan, Kak. Tapi Aira ... aku membuat Kakak tidak bisa kemana-mana.” Alpha menggeleng dengan cepat. “Jangan berkata begitu, Aira. Kamu sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana mungkin Kakak bisa mengurus orang sakit yang lain sementara adik Kakak sendiri juga sedang sakit. Kamu lebih membutuhkan Kakak,” jawab Alpha tegas. Sengaja, agar Aira tidak merasa kalau dirinyalah yang membuat Alpha tidak bisa kemana-mana dalam artian terkekang karena dirinya. Pemikiran Aira itu sangat sulit ditebak dan akan semakin jadi saat tidak coba dimengerti jadi, Alpha mencoba menetralkannya agar tidak terjadi hal yang tidak dia inginkan. “Mana bisa seperti itu, Kakak ini seorang dokter. Pasien lain juga membutuhkan Kakak.” “Tapi pasien yang sekarang berada di sisi Kakak ini juga sangat membutuhkan Kakaknya untuk merasa baik-baik saja,” sahut Alpha tak mau kalah. “Kak, Aira minta maaf ya.” “Tidak, kamu tidak boleh minta maaf. Bukan salah kamu!” Vokal Alpha naik beberapa oktaf. “Bbukan salah kamu, bukan karena kamu Kakak tidak bisa bekerja, dan kamu tidak ada hubungannya sama sekali dengan ini semua. Kamu juga sedang sakit dan kamu lebih membutuhkan Kakak. Kamu sedang tidak baik-baik saja, Aira.” “Dan tolong mengertilah, mengerti dengan kekhawatiran yang sedang membuatku tidak bisa tenang seperti sekarang Aira.” “Sudah, kamu jangan berpikir yang tidak-tidak lagi hum?” “Iya Kak.” Dan satu kecupan lembut pun kembali Alpha tanamkan pada dahi putih pucat milik Aira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD