Bab 103

1266 Words
"Mess!" Sebuah pisau bedah steril yang digunakan untuk membedah atau menyayat organ tubuh manusia, yakni mess. Saat ini, pisau tersebut terlihat bergerak seirama dalam kendali seorang dokter bedah yang tengah melangsungkan operasinya. Ya, sedang berlangsung sebuah operasi besar dalam ruangan operasi saat ini. Terdiri dari satu dokter utama yang memimpin jalannya operasi, satu orang asisten dokter, dan petugas lainnya yang berjumlah total terdapat 4 orang dalam operasi tersebut. Operasi telah berlangsung selama kurang lebih 15 menit, masih baru dimulai titik pada menit-menit sebelumnya, sebelum operasi dilakukan beberapa alat dan proses yang lain harus dicek terlebih dahulu kesiapannya. Dan dalam waktu lima belas menit tersebut dokter utama sekaligus pemimpin jalannya operasi, sedikit cerewet kepada timnya untuk memberikan beberapa masukkan demi jalan yang operasi yang berhasil. Suasana tegang pun tidak dapat dihindari baik di dalam maupun di luar ruang operasi. Jika para dokter dan petugas medis yang lain tengah berjuang demi seorang gadis yang tengah mereka bedah, maka di luar ruangan pun ketegangan tersebut sama kentalnya. Lampu merah pada bagian depan pintu ruangan operasi tersebut menyala, menandakan bahwa operasi masih dan sedang berlangsung. Seorang pria terlihat duduk di depan ruangan tersebut. Satu-satunya ruang tunggu yang terdapat di sana. Pada barisan kursi-kursi yang terlihat kosong, sosoknya yang tinggi menjulang terlihat sangat kontras di sana. Posisi duduk yang tidak bisa tenang, tampak gelisah dengan kedua kaki jenjangnya yang ia buat bergerak tidak sama, sesekali cepat atau lambat, tidak teratur. Sementara Kedua telapak tangannya yang lebar saling bertautan, menggenggam dengan harap-harap cemas yang terlihat jelas sekali. Sama halnya dengan raut wajahnya yang tampak lelah dan kacau. Rambutnya yang biasa tersusun rapi kini terlihat mulai gondrong dan acak-acakan, tidak beraturan. Kedua kantung mata yang menghitam dan sorot mata yang sendu. Siapkan betapa lelahnya mata tersebut terbuka. Sosok pria tersebut diam dalam posisi duduknya, tak terucap sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Meski demikian, siapa pun yang melihatnya dapat mengetahui dengan jelas betapa berantakannya sosok jakung tersebut. Tidak ada yang tahu hati manusia dan tidak ada yang dapat pula menebaknya dengan jitu tepat sasaran seratus persen. Jika pun ada mungkin tidak sampai seratus. Pengecualian untuk pria di depan ruangn operasi ini. Takut, cemas, sedih, dan semua itu terlihat jelas di dirinya. Bahkan mungkin tertulis jelas di dahinya yang keren. Keringat-keringat kecil pada pelipisnya tidak bisa membohongi siapa pun yang melihatnya bahwa kekhawatiran itu terlihat jelas dari dirinya. Sama seperti para tim medis di dalam yang sedang berjuang menjalankan operasi, sosok pria jakung ini pun juga tengah berjuang dalam doanya yang tidak putus sejak awal. Dalam hati, beribu permohonan ia panjatkan dan pinta kepada Sang Pencipta atas keberhasilan operasi yang sangat ia harapkan. "Winny, bertahanlah. Aku mohon, aku tau kamu bisa, kamu kuat, kita sama-sama berjuang untuk satu sama lain ya?" "Chandra, jangan berharap terlalu banyak. Jika Tuhan memintaku saat operasi atau terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan saat atau setelah operasiku, kumohon jangan marah. Jangan menyesali apa pun dan siapa pun. Aku sudah ikhlas, Chand. Ini terlalu menyakitkan untukku." Sepenggal kalimat yang merupakan percakapan terakhir mereka sebelum Winny dibawa ke ruang operasi malam ini masih teringat jelas di benak Candra. Ya, mereka adalah Chandra dan winny. Sepasang kekasih yang sudah bertunangan dan sebentar lagi bermaksud untuk menggelar pesta pernikahan mereka. Setelah sebelumnya, Winny mengatakan keinginannya sebelum Chandra mengucapkan ijab kabul dan disaksikan oleh para saksi dan walinya, yaitu prosesi tersebut ingin dilakukan di sebuab masjid agar suasana khusuknya semakin tercipta. Dan Chandra tanpa basa-basi apa pun lagi tentu saja menyetujuinya. Tapi, sebuah kejadian tak terduga terjadi. Sehingga, belum sempat akad nikah mereka terlaksanakan, Winny telah lebih dulu berjuang di dalam ruang operasi sekarang. Tiada hal lain lahi yang bisa Chandra lakukan selain berdoa. Memohon pertolongan-Nya agar semua berjalan lancar dan sukses. Winny baik-baik saja dan operasi berjalan sukses. "Ya Tuhan, tolonglah," gumam Chandra lirih. Saking lirihnya, bahkan kedua telinganya saja pun belum tentu bisa menangkap suaranya barusan. Tak mengapa jika waktu tidurnya ia habiskan untuk berharap-harap cemas selama hampir 3 hari ini. Chandra rela, bahkan sudah dua kali 24 jam nonstop, lelaki jakung pemilik nama Chandra tersebut belum ada tidur sama sekali. Ketika hendak terlelap, matanya menolak. Mungkin kedua kelopaknya sudah menutup tapi, rasa kantuk itu tak kunjung tiba dan malah membuatnya semakin gelisah. Doa, doa, dan doa. Satu-satunya hal yang bisa Chandra lakukan. Baik kemarin, saat ini, maupun sampai besok-besoknya lagi. Segala usaha telah Chandra lakukan demi calon istrinya. Banyak hal yang telah ia korbankan secara personal. Maka dari itu, untuk balasan semuanya Chandra hanya meminta satu hal. Keberhasilan operasi Winny dan kesembuhan kekasih hatinya. Yang tentunya hanya bisa diwujudkan oleh para dokter yang menjalankan operasi dan atas kuasa Sang Pemilik kehidupan. Suara langkah kaki terdengar saling bersahut-sahutan di koridor lantai yang sama dengan ruang operasi Winny saat ini. Sepasang sepatu pantofel hitam pun terlihat mendekat bersamaan dengan suara derap langkah yang semakin jelas di telinga Chandra. Meski demikian, Chandra tak memedulikan suara tersebut dan hanya fokus pada Winny di dalam ruang operasi. Siapa gerangan yang datang dengan sepatu pantofel itu pun tidak dihiraukannya. Sampai kemudian pemilik sepatu pantofel lainnya itu berhenti tepat di samping Chandra yang tengah terduduk dengan gelisah. Saat itu pula sebuah tepukan pelan namun tegas bersarang di salah satu pundaknya. Membuat Candra seketika menoleh sesaat. "Chan, bagaimana? Operasinya masih berlangsung?" tanya suara tersebut. Dengan wajah lelah dan pancaran matanya yang redup, Chandra tampak kaget sesaat. Kemudian mengangguk kecil setelahnya. "Ayah, kenapa bisa sampai sini?" Giliran Chandra yang bertanya. Dengan vokal seraknya yang sendu. "Ayah ingin menjenguk Aira, dan Alpha bilang kamu juga ada di rumah sakit ini karena Winny sedang melangsungkan operasi," jawab Ayah cepat. Ya, sosok dari pemilik pantofel hitam itu tadi adalah Ayah Adnan. Dengan langkah lebar dan penuh kekhawatiran, Ayah segera menuju ruang operasi yang Alpha maksud begitu mendapat kabar mengenai Winny. "Chandra ... ingat, Allah akan selalu membantu hambanya yang membutuhkan pertolongannya. Jangan putus asa, Nak." Kalimat Ayah yang tulus membuat Chandra tenang. Sedikit demi sedikit rasa khawatir dan gundah gulana dalam dirinya pun mulai teratasi. Ketakutan itu jelas ada tapi, kalimat yang Ayah cetuskan dengan mengikutsertakan peran Tuhan, membuat Chandra bisa merasakan lagi keteduhan dalam sanubarinya. Dan dukungan Ayah juga membuatnya merasa tegar. "Percaya dengan Ayah, Nak. Operasi Winny insya Allah akan berjalan lancar," sambung Ayah lagi. "Aamiin ..." Chandra menoleh sejenak, menatap tepat pada kedua manik gelap Ayah Adnan, ayahnya Alpha dan Aira yang juga merupakan ayah angkatnya. Ya, Ayah Adnan telah mengakuinya sebagai putranya juga. Namun, perhatian dan kasih sayang yang Ayah berikan seolah dia adalah putra kandung Ayah. Dan hal tersebut membuat Chandra sangat mensyukuri atas segala yang telah Tuhan berikan padanya. "Ayah, terima kasih," ucap Chandra lirih beraamaan dengan jatuhnya kepala lelaki tersebut ke dalam pelukan seorang ayah. Pundaknya yang sejak kemarin-kemarin ia angkat tanpa boleh turun seketika merosot detik itu juga. Bukan hanya dirinya, tapi banyak yang mendukungnya. Dan salah satunya peran Ayah Adan. Chandra merasa kalau dirinya benar-benar disayangi oleh seorang Ayah. Ayah mengangguk kecil bersama dengan kedua tangannya yang menepuk-nepuk punggung kokoh Chandra. Terlihat kokoh namun nyatanya butuh penyokong. Bidang datar nan lebar itu untuk sekarang, tidak sekuat kelihatannya. Ekspetasi dan realita, semua memang suka berjalan tidak sebagaimana mestinya harapan manusia itu sendiri. Beberapa hal yang menjadi kepincangan atas ekspetasi itu sendiri pun tidak pernah terpecahkan. Kriet ... Pada saat itu pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter dengan jubah operasinya muncul dari balik daun pintu. Membuat Chandra yang melihat itu langsung beranjak dengan tergesa. Waktu berjalan sangat cepat, tidak terasa sudah hampir 4 jam operasi berlangsung. Satu pijakan Chandra buat untuk menghampiri dokter. "Keluarga pasien?" tanya dokter tersebut. "Saya, Dok. Bagaimana dengan Winny, Dok?" Chandra langsung bertanya terburu-buru. Rautnya pun terlihat cemas bukan main.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD