Bab 98

1131 Words
"Jadi, Al. Sebenarnya Aira itu ..." Suara ketukkan pintu di luar mendistraksi ucapan Kaindra yang belum sempat ia utarakan. Kedua lelaki bersnelli putih itu pun sontak mengalihkan perhatian mereka ke sana. Menatap pada daun pintu yang perlahan terbuka dan menampilkan seseorang di depannya. "Hai, Alpha," sapa seseorang tersebut. Seorang wanita dengan dress hitam selutut dan blazer kerjanya. Itu Sheila yang berkunjung sembari menenteng beberapa kantong paper bag di kedua tangannya. "Oh, ada dokter lain juga. Maaf, sepertinya kalian sedang mendiskusikan sesuatu yang penting ya? Kalau begitu aku tunggu di luar saja. Kalian silahkan lanjutkan pembicaraan kalian dulu," ucap Sheila. Tanpa menunggu jawaban dari kedua pria di sana, dia dengan cepat keluar kembali dan menutup daun pintu dengan pelan. Lihat? Sheila bahkan sopan dan santun. Kenapa Bintang selalu saja menilai gadis itu tidak baik? Terkadang, Alpha heran dengan jalan pikiran temannya yang satu itu. Tertutupnya kembali daun pintu dengan hilangnya Sheila dari jangkauan mata mereka, Kaindra berdeham sejenak. Ahli bedah torak kardiovaskular itu pun melirik singkat pada sosok Aira di depan sana kemudian kembali melirik daun pintu dan Alpha secara bergantian. Well, sepertinya sedang terjadi sesuatu antara kedua anak manusia ini? Begitu pikir Kaindra. "Al?" "Hum?" Alpha menggumam santai sebagai jawaban. "Kita sudah balik dari rumahmu dan sudah membawa beberapa pakaian untukmu dan Aira. Obatnya juga sudah ketemu tapi," Kaindra menjeda. Pikirannya langsung tertuju pada buku yang ia temukan di bawah bantal Aira kemarin. Sejujurnya Kaindra penasaran dengan isinya tapi dia juga tidak bisa membukanya begitu saja tanpa pengetahuan dari Alpha terlebih dahulu. Terlebih lagi yang membuatnya semakin gelisah adalah, kira-kira apakah Alpha sudah mengetahui mengenai buku ini atau tidak. Dan tidak apa kan kalau dia memberitahukan perihal buku ini kepada temannya itu? "Tapi apa, Kai?" tanya Alpha. Lelaki tampan dengan snelli putihnya itu pun menatap raut Kaindra dengan tenang namun, tersirat gurat tanya di dalamnya. Serius, tidak apa-apa kan ini kalau Kaindra memberitahukannya pada Alpha? Well, dia hanya tidak mau saja sahabatnya ini akan berpikirian yang aneh-aneh setelah melihat buku yang ditemukannya di dalam kamar Aira kemarin. Apalagi ini bersangkutan dengan Aira. Alpha kan sangat sensitif mendengar nama sang adik, Kaindra khawatir Alpha kembali bersedih. "Kai?" "Huh?!" Kaindra tersentak kaget. Oke sepertinya untuk kali ini, dia tidak bisa menutupi apa-apa. Alpha adalah wali Aira dan dan gadis itu juga tanggung jawab penuh Alpha jadi, sudah kewajiban Alpha untuk mengetahui hal ini bukan? Kaindra berdeham singkat sebelum kemudia ia mulai menjelaskan, "Saat mencari obat di kamar Aira kemarin, aku dan Bintang menemukan sebuah buku di bawah bantal Aira, Al." "Buku?" Kaindra menggangguk singkat. "Uhuh, sepertinya buku diary," jawab Kaindra. "Kamu tidak tahu, Al?" Kembali Kaindra bertanya. Alpha yang merasa agak bingung karena tidak mengetahui duduk permasalahannya pun merasa bahwa perkataan Kaindra barusan adalah sebuah fakta yang tidak ia diketahui. Tentunya dia juga merasa bingung karena beberapa hal. Tidak ingin ke Ka'bah dan cepat-cepat bertanya, ia lebih memilih diam dan menyimak dengan baik penjelasan Kaindra selanjutnya. Alpha pun menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu buku diary apa itu," katanya. Well, berarti Alpha benar-benar tidak tahu kan? Begitu pikir Kaindra. Oleh sebab itu, ia kembali berkata, "Bukunya ada di ruanganku, Al. Aku belum membacanya kau mungkin aku tidak berhak membacanya terlebih dahulu darimu. Sudah sepantasnya kamu yang mengetahui ini duluan kan? Jadi sebaiknya ku berikan saja buku itu kepadamu supaya kamu bisa membaca isi di dalamnya." "Oke," jawab Alpha. Keduanya kembali terdiam. Namun perhatian Kaindra langsung tertuju pada saku snellinya sendiri dan merogoh sesuatu di sana untuk ia ambil. Sementara Alpha, matanya tidak bisa lepas sejak tadi dari sosok adiknya yang terbaring di atas ranjang sana. Selembar kertas Kaindra keluarkan, dan membukanya perlahan lalu ia sodorkan ke arah Alpha yang lekas disambut oleh pemuda itu dengan sebelah alis yang terangkat. "Baca, Al. Ini surat rekomendasi dari Profesor Fany mengenai kondisi jantung dan ginjal Aira secara keseluruhan. Dan menurutku ini mungkin bisa menjadi alternatif lain untuk kita mempertimbangkan apakah harus mengangkat ginjalnya atau tidak." Penjelasan sederhana itu Kaindra utarakan. "Prof. Fany bahkan tidak bercerita apa pun padaku. Baru-baru ini kami juga sudah bertemu dan beliau tidak ada mengatakan apa pun mengenai ginjal Aira apalagi memberikan surat rekomendasi seperti ini?" Dari alis yang kedua-duanya berjungkit dengan tatapan mata memicing sedikit, bisa dipastikan kalau Alpha sebenarnya cukup bingung dan sedikit kecewa. Kenapa tidak Profesor Fanny saja yang langsung berkata kepadanya? Kenapa harus melalui Kaindra? Iya kan? Tapi, ya sudahlah. Mana tahu pada saat itu Profesor Fany tidak sempat dan saat bersama Kaindra barulah Profesor Fany memiliki waktu dan bisa mengatakannya atru mungkin saja berkasnya belum selesai. Lagi pula sekarang ini, toh dirinya juga sudah tahu kan? Alpha pikir seharusnya masalah kecil seperti itu tidak perlu dibesar-besarkan. "Ya ... pasti ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum Prof. Fany mengatakan ini kepadamu, Al. Lagi pula beliau bilang ini laporan terbaru yang mereka buat, jadi seharusnya ini benar-benar berkas yang fresh." Kaindra pun sempat mengendikkan kedua bahunya pelan. Alpha mengangguk kecil. Yeah, masuk akal juga. Dan sejauh ini juga Kaindra tidak pernah berbohong kepadanya kan? Jadi tidak sepantasnya rasa curiga itu muncul terhadap Kaindra yang sudah banyak membantunya selama ini. Well, bukan hanya pada Kaindra saja sih, tapi juga pada Bintang, Tae Young dan dokter-dokter lain yang terlibat dengan pengobatan adiknya saat ini. "Oke," respon Alpha pada pemikirannya sendiri. Selembar kertas yang Kaindra berikan kepadanya pun segera ia baca. Satu detik, Dua detik, Dua menit berikutnya, "Ini ..." Kedua netra Alpha langsung tertuju kepada sosok Kaindra di hadapannya. Ia menatap ahli bedah toraks tersebut seakan-akan kaindra adalah kejutan. Ya, Alpha lumayan terkejut melihatnya. "Ini ... riset langsung metode pengobatan dari Jerman, Kai. Dari mana kamu bisa-" "Bukan aku, Al. Kan sudah ku bilang surat ini dari Prof. Fany." Kaindra memangkas cepat perkataan Alpha yang belum selesai. Yeah, tertulis jelas di dalam selembar kertas tersebut bahwasannya isi dari deretan huruf-huruf tersebut menjelaskan mengenai metode terbaik bagi penderita kanker darah yang memiliki kelainan pada jantung. Juga terdapat opsi jelas dari kanker ginjal bagi mereka yang akan melakukan operasi transplantasi. Dan surat ini dikeluarkan langsung oleh pihak rumah sakit terkemuka di negara Fatherland tersebut. Juga sudah melewati berbagai macam riset yang pastinya terbukti hebat. Bukankah ini sangat mengangumkan? Alpha jadi merasa sangat berhutang budi kepada Prof. Fany. Setelah ini, dia akan mendatangi professornya itu dan berterima kasih yang banyak kepada sosoknya. Semburat senyum sederhana pun terpatri di kedua sudut bibirnya yang sejak kemarin bahkan tidak tertarik sedikit pun. "Kaindra, menurutmu pribadi bagaimana?" tanya Alpha. Lelaki yang memiliki postur tubuh sedikit lebih pendek dari Alpha itu pun mengangguk singkat. "Hmm ... jujur menurutku kita harus memikirkannya dua kali, Al. Ini kesempatan yang cukup bagus," jawabnya. Alpha kembali melebarkan senyumnya. Cukup bagus walaupun masih harus dipertimbangkan lagi dan lagi. Tapi, salah satu jalannya sudah ada di depan mata. Sekarang, dia hanya perlu memutuskan bukan? Oh bukan dia tapi mereka. Alpha dan timnya juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD