Bab 65

1001 Words
Seorang gadis di atas ranjang pasien membuka matanya perlahan, sinar mentari yang mengintip dari bilik jendela bertirai putih itu pun menyapa netranya lembut. Seberkas cahaya yang menghantarkan rasa hangat sampai pada tulangnya. Tempat yang nyaman, tenang. Tapi, ini masihlah bumi manusia. Dunia tempatnya hidup dan berkeliaran selama ini. Lantas mengapa ia merasa sudah terpejam sangat lama? Kenapa semua seolah terlihat sangat hening tanpa adanya kehidupan. Karena serius, hari ini sangat tenang dan diam. Bahkan suara lalu lalang kendaraan atau cakap-cakap orang pun tidak terdengar sedikit pun. Di manakah sebenarnya dia? Dia betulan masih di duniakah? “Aira!” Seruan merdu itu berasal dari seorang pria yang datang menghampirinya dengan terburu-buru. “Aira, ya Tuhan.” Grep! Lantas sebuah pelukan hangat ia terima dari sosok tinggi tegap berbalut snelli dokter tersebut. Dan Aira masih sangat mengenali siapa gerangan yang tergopoh menujunya. “Kak Bintang,” lirihnya. “Ya Tuhan, terima kasih Tuhan, terima kasih.” Ucapan syukur terus berkumandang dari mulut Bintang yang masih membiarkan Aira di dalam dekapannya. Tak berniat sedikit pun melepaskan dekapan yang dia beri. “Kakak khawatir sekali Aira, Kakak tajut terjadi sesuatu hal yang tidak-tidak denganmu, Ra. Kakak takut sekali.” Bintang sekuat mungkin mendekap gadis itu sampai tubuh kecil Aira tenggelam seluruhnya ke dalam kungkungannya. Air mata pun tak bisa berhenti mengalir dari kedua mata Bintang, tak memedulikan imagenya sebagai seorang lelaki Bintang masih terus menangis. Melihat keadaan Aira yang seperti ini membuatnya merasa runtuh. Aira baru saja menjalankan operasi mata, belum lama dia bisa kembali melihat indahnya dunia dan bukan lagi kegelapan yang ada dalam pandangannya. Aira, dia juga masih menjalani sesi terapi yang tak kujung temu titik terangnya kapan akan selesai. Aira masih baru merasakan bahagianya sekarang, sesaat. Lantas, mengapa seolah tak membiarkannya tersenyum lebih lama sedikit lagi. Permasalahan dan kejadian-kejadian yang berakhir melukai gadis itu selalu saja terjadi. Demi Tuhan, meski Aira bukan adik kandungnya tapi rasa sayang yang Bintang miliki pada gadis ini luar biasa besarnya. Bahkan ia rela jika harus mengorbankan nyawanya sediri demi gadis ini. Sama seperti Alpha yang selalu mengungkapkan betapa sayangnya dua pria itu pada sosok semurni Aira. Dan saat itu, masih dalam dekapan Bintang gadis itu tersedu bersama dengan senyum kecil yang terbirit di penghujung bibirnya. “Kak ... Aira pikir Aira tidak akan bisa melihat Kak Bintang dan Kak Alpha lagi,” lirihnya. Membuat ruangan dalam sudur hati Bintang sakit sekali. Menggeleng keras dengan dekapan yang semakin erat Bintang berujar, “Jangan berkata seperti itu, Aira. Kamu tidak akan ke mana-mana. Kamu tetap di sini bersama Kakak dan Kak Alpha. Harus!” Terselip nada takut dalam intonasi Bintang yang bergetar. Brak! “AIRA!” Pintu terbuka dengan suara yang sangat kuat. Itu dikarenakan bantingan yang hebat dari sosok yang mendorong pintu. Di depan sana, Alpha berlari terburu-buru sampai menabrak sisi tembok di dalam kamar rawat Aira seperti orang kesetanan. Membuat dekapan Bintang dan Aira pun terlepas segera. Mata sembab yang merah milik adiknya itu menyakiti hati Alpha. Grep! Ditariknya cepat tubuh ringkih sang adik ke dalam pelukkannya. Alpha menciumi pucuk kepala gerangan bertubi-tubi sembari menatap khawatir ke seluruh tubuh Aira yang berada di atas ranjang pasien. “Ada yang sakit, Sayang? Di mana? Kamu terluka di mana? Kamu kesakitan Aira?” sama seperti Bintang, Alpha tidak bisa berhenti mengoceh menanyakan perihal kondisi sang adik. “Kak Alpha ...” sendu Aira. Bersamaan air matanya yang turun kembali dan kali ini lebih deras dari sebelumnya. Kedua tangan kecilnya pun melingkari pinggang Alpha dan menyurukkan wajahnya ke d**a bidang sang kakak. Menangisi keadaannya sendiri, berduka karena dirinya sendiri. Dan Aira masih merasa berutung karena sampai detik ini masih bisa berada dalam dekapan kakaknya. Kak Alpha yang begitu ia sayangi. Tadinya, saat ... Isak tangis Aira semakin kuat. Ia tak sanggup rasanya jika harus mengingat kejadian itu lagi. Rasanya terlalu cepat. Bagaimana ia yang ditinggalkan sendirian di lorong rumah sakit dengan posisi yang sangat tidak baik. Bagaimana dia yang memanggil-manggil nama Kak Shela untuk meminta pertolongan. Sampai puncaknya bagaimana kurrsi roda yang ia duduki berjalan sendiri dan meluncur ke ujung anak tangga hingga membuatnya terjatuh. Dan, Aira tidak ingat lagi. Semua itu masih terekam apik di benaknya. Dan orang pertama yang ia ingat saat membuka mata tadi adalah Sheila. Tubuhnya sempat menggigil ketakutan namun, begitu mendapati Kak Bintang yang ada di sana ia merasa lega luar biasa. Benar-benar sangat lega karena Aira sangat ketakutan jika membuka mata hal pertama yang ia lihat adalah Sheila. “Aira ... kenapa bisa seperti ini? Kenapa kamu selalu berada dalam bahaya jika Kakak tinggal sebentar saja, Ra. Kenapa kamu selalu membuat Kakak khawatir,” ucap Alpha masih dengan menciumi rambut sang adik dengan berurai air mata. “Kak, Aira minta maaf.” Cepat-cepat Alpha menggeleng, “Nggak, jangan! Jangan meminta maaf atas perbuatan yang tidak kamu lakukan Aira, kamu tidak bersalah apa pun. Justru seharusnya Kakak yang meminta maaf sama kamu karena sudah lalai menjagamu, Ra.” Bukan, ini bukan kesalahan Kak Alpha atau dirinya. Aira merasa kalau ini adalah murni kesalahan Kak Sheila yang cemburu melihatnya sealu menjadi prioritas utama bagi kakaknya. Sheila sendiri juga sudah pernah mengakuinya. “Jangan bicara seperti itu, Kak Alpha. Bukan Kakak yang salah!” Alpha memberi spasi di antara mereka, mencoba meraih wajah mungil sang adik ke dalam telapak tangannya yang besar hingga mampu membungkus seluruhnya. Dalam jarak yang sedekat itu, Alpha bisa melihat ketakutan pada manik jernih Aira. Gerak bola mata yang ragu dan bimbang, juga jemari tangannya yang sejak tadi ia genggam bergetar. Adiknya setakut itu. Airanya yang begitu ia cintai. Alpha tatap sedalam mungkin mata Aira, membiarkan kedua pasang mata mereka menyelam ke pekatnya obsidian satu sama lain. Dan sebelah tangan Alpha bergerak ke atas menyeka air mata yang jatuh membasahi pipi pualam gadis kesayangannya. “Kakak minta maaf, Kakak yang salah di sini Aira. Kakak minta maaf.” Tiada bosannya kata-kata maaf itu terus berkumandang dari lisan Alpha dan menghadirkan pilu di antara mereka yang terus berpadu satu dengan emosi. Baik Alpha, Aira, maupun Bintang. Ketiganya menangis dengan perasaan yang sama-sama kacau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD