Bab 58

1089 Words
“Akkhhh!!!” Mari mengabsen benda-benda yang berserakkan di atas lantai. Vas bunga, ceklis. Gelas dan piring, ceklis. Tatanan meja kerja pribadi, ceklis. Alat make up, ceklis. Oh! Bahkan ini yang sangat disayangkan para kaum hawa. Yakin, para wanita-wanita di luaran sana pasti akan histeris setelah mengetahui brand apa saja yang sudah terpecah belah, hancur, remuk sampai menyisakan serpihan-serpihan kecil di sana. Dua buah rak yang berisi koleksi tas-tas mahal berikut dengan sepatu pun ikut berterbangan ke segala arah. Hal yang dilakukan Sheila tepat disaat kakinya berhasil masuk ke kamar tidurnya di rumah. Ruangan mewah yang terdapat kasur king size di sana pun layaknya tumpukkan sampah. Bad cover, guling, bantal, dan boneka letaknya tak lagi serapi sebelumnya. Sebagian jatuh ke lantai, dan beberapa sisanya teronggok di tempat tidur dalam keadaan kacau balau. Ini bahkan lebih parah kamar kosong yang tak berenghuni selama hampir sepuluh tahun. Mengingat banyaknya perabotan dan benda-benda yang tersimpan di sana roboh, tercecer dalam sekejap. Tentu akan membuat ruangan tersebut semakin memprihatinkan. Belum lagi semua benda-benda itu bernilai fantastis. “Aira! Awas aja lo ya cewek pesakitan gak guna!” geram Sheila. Kedua tangannya mengepal sempurna di kedua sisi tubuhnya masing-masing. “Gak! Gue gak bisa terima ini. Gak bisa!!!” Melihat adegan lovely Alpha dan Aira ketika hendak ke taman tadi, Sheila tidak terima dengan itu. “Dengan kurang ajarnya dia ngelakuin hal kayak gitu di depan gue? Ha?!” Tertawa, kemudian kembali mengubah raut wajahnya seangker mungkin. “Dia pasti sengaja kayak gitu tadi!” Lantas, kalau memang iya. Apa masalahnya dengan dirinya wahai Sheila. Bukankah bagi sepasang kakak beradik saling menyayangi satu sama lain dan melakukan kontak fisik biasa adalah hal yang wajar kan? Setidaknya begitu bagi pemikiran Sheila yang tak mengetahui apa-apa. Lagi pula Alpha hanya menggendong Aira. Adiknya yang sedang sakit dan menolak untuk naik kursi roda. Karena saat itu Aira berkata, “Aku terlihat sangat menyedihkan kemana-mana menggunakan kursi roda.” Tidak masalah dong seharusnya. Tapi, yang membuat Sheila bisa semurka ini adalah karena kata cemburu. Ketika perasaan cinta sudah sedalam dan sebesar itu, dan keinginan untuk memilik telah hadir kian menumpuk. Sementara, beberapa hal yang tak bisa dijelaskan harus menjadi jarak sehingga tak tercipta rekatan tersebut, tentu sedih akan berdatangan. Sakit karena tak bisa memiliki seutuhnya. Lalu, melihat orang yang kita suka melakukan hal-hal yang selama ini damba-dambakan pada orang lain, murka adalah satu-satunya emosi yang membumbung tinggi. Kalut, merasa kecil, merasa sangat tertinggal jauh. Dan hati berkata. “Seharusnya aku yang di sana.” Kenyataannya, itu bukan kita. Yakni orang lain yang telah mendapatkan ungkapan bernama I love you yang terucap dari bibir orang yang kita sukai itu sendiri. Bagaimana keadaan hati? Ginjal? Jantung? Dan paru-paru? Tidak baik! Nyesek bin sesak. “Gue juga tau kalo perbuatan bitchh kecil itu tadi mau buat gue iri.” Sheila teringat pada ekspresi dan gelagat yang Aira tampilkan tadi, juga menunjukkan bentuk merendahkan dirinya. Walau sebenarnya bukan seperti itu. Seseorang yang selalu memiliki prasangka tidak baik maka, tidak akan bisa menjernihkan pikirannya sejenak saja. Mencoba berpikiran positif saja sulit bagi mereka apalagi mengendalikan emosi yang jelas-jelas tingkat kesulitannya lebih tinggi. Maka, jalan terbaik adalah dengan melampiaskan kemarahan mereka. Seperti yang sedang Sheila lakukan saat ini. Merusak dan membanting semua yang ada di sekelilingnya. Tanpa pandang bulu apakah benda tersebut bernilai atau tidak. “Awas aja lo ya, AWAS!!!” *** “Kak Alpha ...” “Hum ... ada apa, Aira? Kamu agak rewel hari ini.” Begitu yang Alpha lihat, adiknya sedang dalam mode bayi ya? Menggemaskan sekali. Alpha kan jadi makin suka. “Hari ini tidak ada jadwal terapi kan?” Lelaki yang tampak sangat menawan dengan hair staylish yang memamerkan dahinya itu menggeleng. “Lusa, Sayang. Ada apa? Kamu menginginkan sesuatu?” Cepat-cepat Aira mengangguk. “Apa itu?” “Memangnya kalau Aira katakan apa Kakak akan mengizinkan?” Otomatis sebelah alis keren Alpha terangkat. “Tergantung. Jenis permohonan semacam apa dulu itu.” “Tapi jangan marah ya?” Memelas Aira mencicit. Pun raut polosnya yang beraura bersih semakin membuatnya seperti peri sungguhan. “Hmm ...” Biasanya kalau sudah diawali dengan gumaman seperti ini, jenis permohonan itu tidak terlalu macam-macam. Hanya satu macam namun, adiknya terlalu merumitkan pikirannya sendiri dengan dugaan-dugaan yang ia buat sendiri pula. Tuk! Alpha jawil pucuk hidung Aira yang memerah. Adiknya ini astaga. “Kamu imut sekali,” celetuk Alpha dengan sendirinya. Kemudian ia melepas sneli dokter yang membalut tubuh atletisnya. Lantas ia pasangkan pada sepasang bahu ringkih Aira yang masih lama berpikir. Duh ... gemas sekali Alpha melihat hal tersebut. Bisa tidak sih Airanya ia simpan dalam kantong agar bisa dibawa kemana-mana. Dan juga menyimpan Aira hanya untuk dirinya sendiri. Yang lain, NO! “Masih tidak ingin mengatakan permintaan kamu juga? Hum?” “Aira takut Kakak tidak akan memberi izin.” Kali ini adiknya yang cantik jelita itu merengek seperti balita minta es krim. Cup! Ya ampun super duper gemash, pakai H biar nampol. Maka tersematkanlah sebuah kecupan sayang di dahi putih gadis itu. Cup! Sekali lagi, pada pipi yang menghadirkan rona kemerahan samar di sana. Sampai empunya meringis dan terbit sebuah lesung pipi yang Alpha sukai. “Baiklah, kalau gitu Kakak berjanji akan memberikan izin.” Ucapan yang membuat hazel indah Aira seketika berbinar lagi. “Janji jangan marah juga ya?” “Janji! Tidak akan marah!” sahut Alpha cepat. “Apa pun?” “Uhum, apa pun. Asal, permintaan kamu masuk akal dan tidak membahayakan dirimu, sure Kakak akan memperbolehkan.” Dan muncul lah senyum manis menawan laksana bidadari khayangan di bibir penuh Aira. “Masuk akal kok, Kak. Aira cuma mau seharian ini bermain dengan Juno. Boleh kan?” “Juno?” “Iya, boleh kan? Kakak sudah janji loh, masa diingkari.” Benar-benar sangat Aira sekali. Permintaan yang mudah bahkan sangat amat muda. Apaih yang memusingkannya untuk mengatakan hal itu? Dengan mudah Alpha akan memberi izin. “Kenapa Kakak harus menolaknya, Ra? Kamu bisa bermain sepuasnya dengan Juno sampai kapan pun kamu mau. Kenapa berpikir sampai selama itu huh?” “Aira hanya takut, kalau Juno bisa kelelahan karena terlalu banyak bermain. Juno juga kan seorang pasien.” Jadi itu yang dia khawatirkan? Benar-benar berhati malaikat. Dia bahkan memikirkan keadaan orang lain terlebih dahulu dari pada dirinya. “It’s okay, selagi kalian tidak bermain lomba lari atau jenis permainan yang terlalu berat, semua akan baik-baik saja,” jawab Alpha pada akhirnya. “Jadi, boleh?” “Uhum.” “Yeay ...” Alpha yang sudah kepalang gemas sejak tadi pun mencubiti pelan pipi lembut adiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD