Bab 79

1031 Words
Suara mesin pendeteksi detak jantung terdengar teratur pada sebuah ruangan yang dilengkapi oleh berbagai macam kabel-kabel untuk membantu pernapasannya. Seorang gadis di atas ranjang pasien itu tengah tertidur pulas. Setelab beberapa waktu lalu semua makanan yang dikonsumsinya kembali ia muntahkan. Di pojok ruangan, ada Chandra yang tak bergeser sedikit pun dari sana. Mata lelahnya yang terlihat kehitaman pada bagian kantung mata, tak berniat beranjak barang sejenak. Setia memandangi sang pujaan hati yang terbaring tak berdaya di hadapannya. Selama satu jam lalu, rasanya begitu menyakitkan baginya. Di tiap sendok bubur serta buah yang Chandra suapkan ke mulut kekasihnya, ia sertai doa yang besar untuk kesembuhan gadis yang paling ia cintai ini. Namun, selama itu pula winny terus-terusan mengeluarkan semua makanan dari dalam perutnya. Selesai muntah dan sempat mimisan, Winny terlihat sangat pucat dan tak berdaya. Tubuh ringkihnya jatuh merosot ke lantai kamar mandi. Dan Chandra kalang kabut membawa Winny kembali ke atas tempat tidur. Setelahnya, ia berteriak-teriak memanggil dokter. Berakhir dengan Winny yang tertidur setelah diberi penanganan. Kini, tinggallah Chandra seorang diri di sana yang membuka matanya namun nyawanya seolah sedang menikmati indahnya tidur dalam keadaan demikian. Rasa kantuk yang datang begitu hebatnya, tak bisa membuat Chandra memejam atau sekedar istirahat sejenak. Benaknya tidak bisa tenang dan dipenuhi ketakutan. Perlahan, diusapnya dengan lembut punggung tangan Winny yang tak tertancap jarum infus. Warna putih pucat satu-satunya noda di sana tanpa ada gradasi warna lain. Sangat amat pucat. "Aku takut kamu pergi kalau aku menutup mata, Win," gumam Chandra lirih. Tubuh jakung, mata hitam, dan tubuh yang semakin kurus, lelaki ini hidup namun, seperti orang mati. Istilahnya tinggal tulang dan kulit. Belum lagi warna kulitnya yang lebih cerah, semakin menambah kesan tengkorak hidup dalam dirinya. "Kamu menerima lamaranku, dan kita sudah berjanji untuk hidup berdua selamanya dalam ikatan pernikahan tapi, kenapa kamu mengingkari janji kamu dengan cara seperti ini, Winny?" Perih, sakitnya bukan main saat harapan telah Chandra lambungkan setinggi mungkin tapi, kenyataan seolah membanting telak apa yang sudah diangkatnya sebegitu tinggi. "Cincinnya bahkan sudah kutempah secara khusus untuk acara akadnya, Sayang. Tapi kamu-" Tak kuasa melanjutkan kalimatnya, Chandra menjeda karena isak yang membuat dadanya bergejolak ingin menumpahkan kesedihannya. Dan pada detik itu pula, Dimulai dari satu buah liquid jatuh di pipinya, kemudian disusul oleh liquid-liquid yang lain. Membasahi pipinya dan mencipta kemerahan pada kedua bola matanya. "Sakit sekali, Win. Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?" "Chandra ..." Suara lain terdengar memanggil pelan dari balik daun pintu yang terbuka. Mendengar itu, pria jakung yang duduk di sisi kekasihnya itu pun segera mengusap air matanya. Dan beberapa kali mengerjap cepat agar tak terlihat jelas bahwasannya ia sedang menangis. Walau orang yang berdiri di depan sana sudah mengetahuinya. Mendekat, seorang pria dengan snelli dokternya dan stetoskop yang tersampir di sisi tubuhnya. Tanpa perlu menoleh, Chandra sudah mengetahui siapa gerangan yang masuk. Alpha berdiri dengan wajah sendu. Melihat keadaan Chandra yang sama tidak baiknya dengan sang kekasih. "Dokter bilang, sudah tidak ada harapan untuk Winny, Al." Suara Chandra terdengar parau. "Chan, apa maksudmu?" Alpha tahu bahwasannya kondisi Winny memang sudah memasuki fase parah tapi, bukan berarti pula seorang dokter bisa memvonis hal seperti itu. Kehidupan dan kematian sudah ada yang mengaturnya, namun manusia hanya bisa mencoba dan berusaha. Meski dilihat dari kasus Winny sekarang, bermula karena keterlambatan pasien yang tidak ingin segera melakukan pengecekkan. Ya, Alpha tahu ini bukan sepenuhnya salah tim medis, vonis tersebut hanya untuk memberi kesiapan bagi keluarga pasien jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Meski berat, nyatanya hanya bisa berdoa dan mengharapkan keajaiban yang Tuhan beri sebagai kesempatan. "Kanker Winny sudah memasuki stadium akhir dengan tingkat kesembuhan yang sulit. Dan prediksi terakhir dari ahli bedahnya juga mengatakan kalau Winny tidak bisa melakukan operasi apalagi. Kondisi tubuhnya tidak memungkinkan, Al." Alpha maju selangkah, menepuk perlahan salah satu pundak tegap Chandra yang akhir-akhir ini tidak terlihat gagah lagi. Selalu merosot ke bawah seolah sedang menanggung kesedihan yang besar. "Chandra, kita bisa mendengar semua prediksi dan vonis yang para ahli katakan. Toh mereka juga tidak mengatakannya begitu saja tanpa alasan dan pemeriksaan yang tepat tapi, segala sesuatunya sudah digatiskan oleh yang di atas. Manusia telah memiliki takdir mereka masing-masing, Chand. Mungkin kita mengatakan tidak bisa tapi, jika Tuhan berkehendak tidak ada yang tidak mungkin." Alih-alih mengatakan sabar atau jangan bersedih kepada sang sahabat Chandra, Alpha lebih menerangkan beberapa hal berdasarkan titik persfektif kehidupan. Karena tidak semua kalimat "sabar" yang kita ucapkan bisa berpengaruh pada seseorang yang sedang mengalami kesedihan. Bagi Alpha, yang juga pernah merasakannya bahkan sampai detik ini. Dia tahu betul apa yang saat ini Chandra rasakan, gelisahkan, takutkan. Alpha paham betul bagaimana perasaan yang Chandra pendam dalam diamnya. "Aira ... dia mengatakan lagi ingin bertemu dengan Winny." "Dan kamu mengizinkannya, Al? Membiarkan Aira melihat keadaan Winny yang seperti ini dan membuatnya merasa sedih?" sambar Chandra cepat. Alpha diam, benar. Ketakutannya begitu besar. Dia takut pada banyak hal mengenai kondisi Aira yang bisa saja kembali ngedrop setelah melihat Winny tapi, melihat bagaimana khawatir dan sedihnya Aira saat pembahasan mengenai Winny mereka angkat. Alpha bisa melihat Aira sedang merindukan sosok itu begitu besar. Meski Aira selalu berkata, "Iya, Kak. Aira paham." Atau, Iya, Kak tidak apa-apa." Kenyataannya, Aira sedang kenapa-napa. Hatinya begitu sensitif dan peka terhadap hal-hal yang sedang terjadi di sekitarnya. Aira tahu meskipun ia selalu berlagak seperrti tidak mengetahui apa pun. Aira sedih, Aira takut, dia gelisah bahkan disaat bibirnya menyunggingkan senyum lebarnya. "Aira bahkan sudah merasakan itu semua jauh sebelum dia mengetahui kabar Winny sakit, Chan. Juno, kepergian anak itu membuat rasa kepercayaan diri dan semangat Aira kembali terkikis perlahan," jawab Alpha. Matanya menerawang saat malam di mana lagi-lagi ia memergoki adiknya itu membuang obat-obatan yang perawat berikan untuk diminum. Aira membuanh benda itu ke dalam pot bunga dan menimbunnya di sana. Aira juga beberapa kali mengabaikan obat herbal yang Prof. Fany racik secara khusus. Alpha juga beberapa kali melihat Aira selalu mengeluh kesakitan secara diam-diam jika ginjalnya bereaksi sedikit. "Dan Aira selalu menyimpannya semua, sendirian," lanjut Alpha lirih. "Al ..." Chandra beranjak dari posisi duduknya, ia berdiri menghadap Alpha yang sama-sama memancarkan sinar redup dari sepasang obsidian itu. "Aira masih melakukannya?" tanya Chandra khawatir. "Hum, selalu." Dan perasaan mereka semakin campur aduk tak karuan. Ini hal k*****s yang terlihat biasa saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD