Bab 36

1066 Words
Author POV Dear Alpha, Tumbuhlah besar dan sehat seperti yang Ibu inginkan, Nak. Jadilah panutan dan bimbing adik - adikmu kelak menjadi perempuan - perempuan hebat yang cerdas. Ibu akan sangat bangga, kepadamu Alpha. Alpha Riandra, adalah nama pemberian kedua orang tuamu. Maka, ingatlah selalu dalam segala hal yang ingin kamu lakukan kalau kamu memiliki dua orang tua yang sangat menyayangimu. Alpha, kami juga sangat menci ntaimu sebesar itu, Nak. Sembilan tahun tujuh bulan sudah usiamu. Kamu sudah tumbuh menjadi anak laki - laki cerdas dan tampan Alpha. Ayah dan Ibu bangga. Ketika adikmu lahir nanti, sayangi dan kasihilah mereka. Mereka kembar, Al. Hanya ini yang bisa Ibu sampaikan. Semoga kamu membacanya di waktu yang tepat. Salam sayang, Aleta Sukma Wijaya Ibumu. Terlambat, Alpha menemukan surat itu setelah banyak waktu yang telah ia lewati bersama kedua adik kembarnya. Alpha yang jahat telah tercipta, seperti monster ia bertindak kepada Aira yang tidak bisa melihat. Saat itu, kelakuan buruknya selalu ia tutupi diam - diam. Jika ada Ayah, dia akan menjadi Alpha yang diam dan tak menyentuh Aira sedikit pun. Dia bukan ibu Cinderella yang berlaku baik kepada Cinderella jika di depan Ayah, sementara di belakangnya akan sangat jahat. Tidak, bukan seperti itu. Usianya saat itu sekitar delapan belas sampai sembilan belas tahun. Alpha membenci Aira sebab menghilangkan nyawa ibu. Salah satu manusia yang sangat disayanginya. Yaitu, ibu. Aleta Sukma Wijaya yang namanya terdapat dalam surat di atas. Maka, sejak saat itu tidak pernah ada lagi senyum. Tidak ada guratan bahagia yang Adnan lihat ketika Alpa duduk berdua dengan putra sulungnya, sementara ia memangku Aira kecil di pangkuannya. "Ayah, bagaimana kalau Aira berhenti sekolah saja." Ucapan itu meluncur dengan takut - takut dari vokalnya. Ada nada sumbang nyaris parau yang Alpha tangkap di sana. "Kenapa bicara seperti itu, Sayang? Kenapa kamu mau berhenti sekolah?" Diusapnya sayang rambut panjang sepinggang milik putri kecilnya. Ayah juga menanamkan satu kecupan kecil di puncak kepala Aira. Hal tersebut, tidak luput dari pandangan Alpha yang sejak tadi berada di sana. Melihat interaksi antara Ayah dan anak tersebut. Tidak banyak kata bahkan sejak tadi Alpha hanya diam. Mendengarkan semua yang Ayah dan Aira katakan. "Aira malu, Yah. Di sekolah banyak yang mengejek keadaan Aira. Mereka bilang seharusnya Aira diam saja di rumah, makan tidur dan tidak boleh sekolah." "Lalu, Aira ingin tidak sekolah?" Anak kecil cantik jelita itu pun menggeleng. "Bukan begitu Ayah, Aira ingin tetap bersekolah. Tapi, mereka jahat." Terdiam sejenak untuk menampikan raut sedihnya khas anak berusia delapan tahun. "Katanya, orang tidak mempunyai ibu tidak boleh bersekolah dengan mereka. Padahalkan Aira ingin belajar. Aira sedih, Ayah." Sekarang, anak kecil itu tersedak air matanya sendiri. Ia menangis dengan nada pilu. Membuat Adnan segera memeluknya erat. "Shhtt, jangan menangis putri Ayah. Mereka memang jahat. Ayah berjanji kamu akan tetap bisa bersekolah dan tidak ada seorang pun yang mengejek dan membuat kamu sedih lagi," ucap Adnan. Pria parubaya itu dengan segera membawa putrinya ke dalam dekapannya. "Aira akan pindah sekolah, Yah?" Aira kecil berhenti dari tangisnya. Ia bertanya dengan mata basah yang terdapat sisa - sisa air yang mengalir di kedua pipi chubynya. Adnan menghapus air mata putri kecilnya yang bercucuran di sepanjang pipi dan menganak sungai di pelupuk matanya. "Maaf Sayang. Seharusnya Ayah saja yang ada di posisi kamu saat ini. Ayah ikhlas jika harus menggantikan itu," katanya parau. Yang sejak tadi interaksi ayah dan anak itu tidak luput dari perhatian Alpha. Lelaki yang memasuki usia remajanya itu pun memilih bungkam. Diam. Tak banyak bicara. Sejak tadi ia hanya menjadi pemerhati. Fungsinya dia di sini apa? Jawabannya adalah tidak ada. Saat Ayah dan Aira sedang duduk berdua di sofa ruang tengah ia datang menghampiri. Dengan sebuah buku yang menjadi alasannya untuk dapat mencuri dengar isi obrolan ayahnya dengan sang adik di sana. Karena sejak tadi, Alpha tidak membaca. Bukunya memang terbuka lebar dalam pangkuannya namun, fokusnya tidak tertuju pada itu. Obrolan Ayah dan Airalah yang menjadi fokus utamanya. Buku, hanya sebatas bahan mengalihkan perhatian Ayah yang mengira kalau dirinya sedang belajar. Padahal tidak sama sekali. "Hoam ..." "Putri Ayah mengantuk. Ayo, Ayah antar tidur ya." Aira yang menguap. Yang Alpha lihat dengan jelas saat mencuri lirikan ke arahnya, gadis kecil itu mengerjap - ngerjapkan matanya berat. Terlihat merah dan susah sekali. Padahal ini masih jam delapan. "Ayo Sayang." "Aku saja," potong seseorang. Ayah yang telah berdiri san siap menggendong Aira pun menghentikan semua aktivitasnya. Melihat Alpha, putranya yang bersuara. "Ada apa, Al?" "Aku saja yang mengantarkannya tidur," ucap Alpha. Aira kecil seketika tersenyum. Dalam hati bersorak senang. Apa Kak Alpha mulai menyayanginya? Begitu batin seorang gadis kecil berusia delapan tahun itu. "Sekalian ingin melihat Arina. Dia kan sudah tidur sejak tadi sore. Seharusnya sekaramg sudah bangun dan makan. Aku tidak mau Arina sakit," katanya. Oh ... Kaka Arina ya? Jadi karena Kak Arina, ingin melihat Kak Arina rupanya. Bukan berniat mengantarkanku tidur. Ada yang berbisik sedih sanubarinya. "Dengan Ayah saja, Kak." Aira kecil menolak. Alpha jatuhkan tatapannya pada gadis kecil yang baru saja menolak niat baiknya itu. "Kenapa?" tanyanya tanpa basa - basi. Apalagi senyum ramah yang tercipta. Tidak ada sama sekali. "Hnng ... aku ngantuk sekali, Kak. Mau digendong. Jadi, dengan Ayah saja." Begitu katanya. Ia mencicit takut - takut. "Ya sudah, ayo." Alpha keluarkan vokalnya. Adnan menatap empunya suara dengan seksama. Ia tahu putranya lebih menyayangi Arina dari pada si bungsu Aira. Semenjak istrinya berpulang, Adnan melihat sikap putranya berbeda dengan kedua putri kembarnya. Arina mendapat perlakuan istimewa dari Alpha. Sementara Aira selalu terabaikan oleh kakak laki - lakinya itu. "Ayo!" ucap Alpha sekali lagi. Aira kecil menatap Ayah dan Kak Alpha bergantian. Ia seolah meminta persetujuan dulu dari Ayah. Lantas, saat Ayah mengangguk, Aira pun mendekat. Mengulurkan kedua tangannya ke depan untuk Alpha raih. Dan saat tubuh kecilnya terangkat ke udara, sebab Alpha memiliki tubuh yang ganjang dari mulai remaja. Di detik berikutnya, Aira kembali menguap lebar. Bahkan lebih lebar dari sebelumnya. Gendong depan. Kali pertama Alpha menggendongnya selama si kembar lahir. Jika Arina sudah biasa mendapatkan hal ini. Maka, bagi dirinya yang baru pertama kali. Yang dirasakannya adalah nyaman. Bidang datar dan lebar yang bisa ia jadikan tumpuan kepalanya. Sementara kedua tangan kecilnya melingkari leher Alpha. Pemuda itu diam. Ia mulai berjalan menuju kamar Aira yang juga merupakan kamar Arina tidur. Sesampainya di depan pintu, Alpha tidak langsung membuka handel pintu. Ia memilih memandangi wajah Aira terlebih dahulu. Gadis kecil itu sudah terlelap nyaman di sana. "Aira ..." vokalnya mengudara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD