Bab 94

2966 Words
Tiada yang lebih sesak dari melihat seseorang yang kita sayangi berada dalam ambang hidup dan mati. Terkulai tak berdaya dengan jarum infus dan selang-selang yang memenuhi tubuhnya. Sakit? Sangat, bahkan perihnya seperti kaki yang terluka dan berjalan di atas es dengan taburan garam. Ingin berhenti namun tak kuasa dengan lautan es yang membekukan, sementara jika melanjutkan perjalanan pun rasa sakit dan perihnya semakin menjadi. Pecah tangis menjadi butiran kristal yang semakin menambah kadar sakit itu semakin berat. Luka tak kasat mata namun sakitnya luar biasa. Alpha merasakannya, saat ini, sekarang. Dan hari ini juga di jam yang menunjukkan pukul 12 siang tepat. Ya, tepat. 12.00 WIB. Tidak lebih tidak kurang. Sebelah tangannya tidak lepas menggenggam telapak tangan adiknya yang tidak tertempel selang apa pun. Meletakkan kepalanya di sana, di sebelah wajah Aira dan memandangnya dengan jarak sedekat itu Bibir tersenyum tapi, apa kabar hati? Benarkah tersenyum juga seperti yang bibirnya perlihatkan sekarang? Tidak! Tidak sama sekali. Bukannya tersenyum, relungnya justru tersayat-sayat habis. “Aira ... kalau kamu bisa mendengar Kakak, dengarlah ini dengan baik hum?” Alpha mulai berbicara. Membuka suaranya pelan dengan tangan yang terus merekat pada jemari adiknya yang tidak bergerak sama sekali. “Ra ... kamu sudah berjanji pada Kakak untuk sembuh kan? Sekarang Kakak menuntut itu, jangan pernah ingkar janji ya?” Kalimatnya dibalas oleh keheningan dan suara detak monitor yang menunjukkan garis-garis bergelombang stabil. Padahal, baru saja kemarin rasanya mereka bercerita dan bercanda bersama. Aira yang minta jalan-jalan ke taman dan keduanya melihat lampu taman dari balik jendela kamar rawat Aira dengan perasaan membuncah satu sama lain. Baru kemarin, Alpha melihat Aira tersenyum atas lawakan yang Bintang dan rekan-rekannya yang lain torehkan. Tertawa lepas sembari menunjukkan betapa ayunya senyum itu. Deretan gigi putih dengan wajah anggun Aira yang terlihat adem. Ya, semua orang yang mengenalnya atau bahkan yang baru melihatnya pun mengakui bahwa paras cantik sang adik mengandung m****n yang tidak baik untuk kesehatan jantung. Membuat candu, keelokkan yang terpancar alami tidak hanya dari luarnya saja tapi juga dari dalam. Begitu teduh dan menenangkan. Cantik yang tidak hanya cantik biasanya. Terlihat jelas dari aura pure yang nyata dari dalam dirinya. Wajah itu betulan terlihat seperti tanpa dosa sedikit pun. “Aira sayang, kamu harus kuat ya? Sembuh, demi orang-orang yang menyayangi kamu. Kita semua di sini untuk kamu, selalu mendoakan dan berharap banyak akan kesembuhanmu. Kamu punya Kakak dan Ayah, juga yang lain. Kita semua sayang kamu.” Terbata kalimat Alpha, bahkan suara baritonenya pun terdengar semakin berat karena lelehan air mata begitu saja jatuh membasahi pipinya. “Banyak hal yang ingin Kakak lakukan bersama kamu nanti, Ra. Kakak ingin merasakan namanya perjuangan mendapatkan gadis yang Kakak cintai sampai titik darah penghabisan. Kakak ingin kamu, mau kamu Aira.” Setitik air mata jatuh dari pelupuk Aira yang tidak Alpha lihat karena wajahnya sudah ia tenggelamkan dalam genggaman tangan mereka yang saling bertaut. Aira adalah porosnya, tempat dia pulang, tempatnya mengadu, tempat Alpha mendapatkan semua kebahagiaan dan ketenangan batinnya. Hanya Aira yang bisa memberikan itu semua. Bukan orang lain, bahkan Ayah sekalipun. Hanya ada nama Aira, cukup Aira. “Begitu banyak hal yang kamu sembunyikan dari Kakak, Ra. Bahkan saat kamu sedang seperti ini pun, rasa sakit yang kamu rasakan, tidak bisakah kamu mengatakan yang sejujurnya? Atau bila perlu, bagikan saja rasa sakitnya pada Kakak. Berikan semuanya pada Kakak, Ra.” Apa pun, apa saja demi itu bisa membuat Airanya baik-baik saja dan tidak merasakan sakit lagi, Alpha rela jika itu harus memberikan dunia dan segala isinya kepada sang adik. “Aira, hiks ...” Alpha tersedu dalam genggaman yang masih ia pertahankan dan wajahnya yang ia sembunyikan di antara celah jemari mereka. Mengecupi setiap sisi dari punggung tangan Aira. Punggung tangan yang terlihat sangat putih pucat, seperti tumpahan cat putih. Belum lagi dinginnya yang membuat Alpha semakin enggan untuk memberi spasi. “Jangan tinggalkan Kakak dan Ayah, Ra.” Sekali lagi, gumam Alpha teramat lirih. Karena suaranya teredam oleh posisinya yang menuduk seperti ini. Sebuah kalimat yang sudah sejak dari dulu ingin Alpha sampaikan pada Aira namun, selalu saja ia tahan karena menjaga perasaan Ayah dan khususnya Aira sendiri. Dan sampai detik ini semuanya masih belum bisa terucap secara lepas dari lisannya. Bahwa betapa ia sangat mencintai Aira dengan segenap jiwa dan raganya. Perasaan yang begitu besar dan selalu ia pendam sendirian. Kalimat “Aku sayang kamu” mungkin sudah sering Alpha ucapkan pada Aira karena masih termasuk dalam kategori aman. Anggap saja curahan kasih sayang sebagai seorang kakak kepada adiknya, walau bagi Alpha bukan seperti itu. Katakan Alpha tidak tahu diri, disaat situasi seperti ini masih memikirkan perasaannya? Bukan, bukan seperti itu konsep utamanya tapi, bagaimana jalan takdir seolah senang kali mempermainkannya dengan berbagai macam cobaan yang tidak mudah. Semaunya terjadi dalam waktu dekat dan bersamaan. Bagaimana bisa Alpha untuk tidak merasa bahwa Tuhan seolah sedang menghukumya begitu k**i. Ya, Alpha menyadari perbuatannya di masa lalu sebegitu menjijikannya tapi, mengapa harus pada Aira kesakitan dan cobaan ini semua Dia berikan. Mengapa tidak pada dirinya langsung dan membiarkan Aira hidup sehat dan ceria seperti remaja lainnya. Ya Tuhan, bahkan usianya baru memasuki 18 tahun. Dan bukan satu atau dua tahun ini saja Tuhan memberikan kesakitan yang berkepanjangan pada Aira tapi sudah sedari adiknya itu lahir ke bumi. Dan sampai sekarang bahkan semuanya belum juga menemukan jalan keluar yang terbaik. Katanya, obat yang paling ampuh adalah waktu. Karena semakin lama akan semakin memudar dengan sendirinya. Tapi, bagi Alpha semua itu hanya omong kosong belaka. Buktinya sampai detik ini pun hidupnya masih saja jalan di tempat. Seperti tidak ada garis finishnya. Jika garis finish itu adalah sebuah kematian, apakah itu harus kepada Aira? Adiknya yang tidak bersalah sama sekali? Kenapa tidak dirinya sendirinya sajalah yang harus menanggung semua ini? Kenapa harus Aira yang tidak bersalah sedikit pun? KENAPA?!! Pada saat itu, pintu ruang ICU terbuka. Alpha menoleh sejenak, melihat Bintang dan Kaindra lah yang datang Alpha mengangkat kepalnay yang terkulai di sebelah sang adik. Tas jinjing itu masih dalam genggaman Bintang, di sebelahnya, Kaindra tidak membawa apa pun. Melihat Alpha yang seperti itu, Bintang tidak tega sama sekali. Begitu pun dengan Kaindra. Ingin berkata pun mereka bingung, takut salah bicara dan semakin membuat Alpha sedih. Aira yang ceria dan selalu menebar senyum manisnya, semua itu direnggut oleh selang-selang yang menempel di sekujur tubuhnnya. Membuatnya terpejam dan hanya bisa diam. Fakta itu membuat Bintang terluka. Bagaimana pula dengan Alpha? “Al, makan dulu ya. Kamu kelihatan pucat sekali, jangan sampai kamu juga jatuh sakit.” Bintang berucap pelan. Bahkan sangat lirih. Namun, jawaban yang Bintang dapatkan adalah gelengan dari sahabatnya itu. “Nanti saja, Bi. letakkan saja dulu di sana,” sahut Alpha tanpa menoleh sedikit pun. Matanya masih fokus pada sosok sang adik yang setia memejamkan kedua matanya. “Oke yasudah, tapi nanti isi perutmu dulu ya. Aira membutuhkanmu, Al.” Dan dengan berat, Alpha menganggukkan kepalanya. “Kita sudah mengambil obat yang Aira konsumsi selama di rumah. Tablet-tablet ini akan segera kubawa ke laboratorium untuk segera dilakukan pemeriksaan,” ucap Kaindra, dikeluarkan beberapa bungkus obat dari dalam saku kemejanya. “Kamu bisa ke sana kapan pun kamu mau, Al,” sambung Bintang. Sekali lagi, Alpha hanya menganggukkan kepalanya perlahan. Mendapati respon Alpha yang sangat minim seperti itu membuat Bintang dan Kaindra pun segera pamit undur diri dari sana. Mungkin sekarang memang bukan saatnya yang tepat untuk mereka mengatakannya. Alpha masih syok, dan sebaiknya memberikan ruang utuknya berpikir sejenak. Usai kepergian kedua dokter itu, Alpha tidak banyak melakukan hal apa pun. Dia hanya memandangi wajah pucat Aira yang terpejam. Sesekali mengusap sayang dahi sang adik. Di luar ruang rawat Aira, Bintang dan Kaindra menghela napas pajang satu sama lain. “Ini pasti sangat berat bagi Alpha, semoga saja tidak terjadi hal apa pun yang membuat Aira semakin ngedrop.” Bintang berucap lirih. “Uhum, semoga saja.” Ponsel Kaindra bergetar panjang. Menandakan panggilan masuk. Dengan cepat ia rogoh saku celananya dan mengeluarkan benda pipih tersebut. “Halo?” “Halo Dok, ini pasien atas nama Winny kembali mengalami muntah secara berlebihan.” “Astaga! Baik saya segera ke sana. Pastikan oksigen untuknya lancar sampai saya ke sana.” “Iya, Dok baik.” “Siapa, Kai?” tanya Bintang. Melihat ekspresi wajah Kaindra yang berubah tegang setelah mengangkat panggilan telepon itu membuat Bintang pun ikutan panik. “Perawat Yena, Winny kolaps ,” jawab Kaindra cepat. “Ya Tuhan, kita ke sana sekarang, Kai!” “Iya!” Grubuk grubuk grubuk! Suara lari keduanya pun memenuhi sepanjang lorong yang mereka lewati. Sampai beberapa orang yang duduk di kursi depan untuk menunggu pun kebingungan melihat kedua dokter itu berlari dengan terburu-buru. Tap tap tap! Sampai pada akhirnya mereka sampai di depan ruangan Winny, Bintang lekas mendorong pintu secara asal-asalan. Sementara Kaindra yang begitu masuk dan melihat ember penampung muntah Winny hampir penuh, langsung mengambil jarum suntik dan beberapa alat medis lainnya di atas nakas. “Apa yang terjadi Yena?!” tanya Kaindra. “Pasien sedang tidur saat saya masuk, Dok. Dan saya hanya memeriksa bagian vitalnya memastikan tetap bekerja dengan baik tapi, tiba-tiba pasien muntah dan sejak tadi terus mengeluh sakit pada tulang belakangnya,” jawab perawat Yena jelas. “Bagaimana dengan organ vitalnya?” “Sirkulasi darahnya tidak terlalu baik, Dok. Bahkan napasnya sempat mendadak berhenti tadi.” “Winny, di mana lagi kamu merasakan sakit selain pada tulang punggungmu?” Bintang bertanya sembari kedua tangannya lihai menyuntikkan obat yang terdapat dalam botol –botol kecil di sana. “Ke-pala, tangan, kakihh ... sem-muah,” jawab Winny terbata-bata. Bahkan pelafalannya pun kurang jelas. “Semuanya sakit, Dok.” Begitu kalimat terakhir yang Winny ucapkan dengan suara tidak jelasnya tapi, Bintang dan Kaindra dapat mengeri bahasanya. “Yena, siapkan tabung oksigen dan tambah kadarnya!” perintah Kaindra. “Baik, Dok.” Saat Yena sedang sigap menyiapkan apa yang Kaindra peritahkan, Bintang bertanya, “Di mana wali pasien?” “Mas Chandra sedang keluar, Dok. Tadi katanya mau membeli obat,” jawab Yena cepat. “Obat? Untuk siapa?” “Maaf, Dok saya kurang tahu kalau untuk siapanya. Tapi, kalau menurut saya sepertinya Mas Chandra membeli obat untuk dirinya sendiri. Dan itu obat tidur.” “Obat tidur? Untuk apa?” “Saya pernah melihat Mas Chandra meminum obat dan botol obatnya ia letakkan di dekat nakas, dan ditinggal ke kamar mandi jadi saya periksa obat tersebut, Dok. Dan ternyata itu oat tidur dosis tinggi,” jelas perawat Yena. “Jadi selama ini dia sering mengonsumsi obat tidur?” “Sepertinya iya, Dok,” jawab Yena. “Ck, memang dasar bodoh!” maki Bintang kesal. Awas saja nanti di caplang kurang kerjan itu, Bintang akan memberinya pelajaran. “Kai, milinya tidak terlalu banyak kuberikan untuk anestesi. Itu bisa membuatnya mual dan kembali muntah lagi.” “Oke!” Kembali, Winny memuntahkan makanannya dengan cepat. Dan bahkan tumpah berserakkan di lantai sampai mengenai snelli dan sepatu Kaindra. Yena juga terciprat ke lengan bajunya. “Obat pereda mual!” Bintang nyaris berteriak. “Jangan, Bi! Itu bisa malah semakin membuat mualnya lebih parah.” Kaindra memotong cepat. Lantas, tangannya mengambil sesuatu dari dalam saku snellinya dan dengan cepat Kaindra suntikkan ke dalam selang infus Winny. Sepuluh menit kemudian, Winny tampak lebih tenang dan tidak lagi mungkuk-mungkuk karena merasa mual. Dengan sendiriny ia kembali membaringkan tubuhnya ke tempat tidur dan memejam mata. Dan saat itulah Bintang serta Kaindra melakukan sesuatu pada tubuhnya. Dibantu oleh perawat Yena yang senantiasa sigap setiap diberi perintah. “Satu!” “Dua setengah cc!” “Putar balik sampai jarumnya berhenti di angka merah!” “Pindahkan selang bagian bawahnya!” Begitu seterusnya sampai satu jam pun berlalu. Bintang, Kaindra, dan juga Yena baru bisa menghela napas lega saat melihat monitor di hadapan mereka menunjukkan tanda-tanda organ tubuhnya yang lain mulai bekerja dengan baik. Mulai dari sirkulasi darah yang kembali normal, penurunan suhu tubuh yang drastis, dan yang paling membuat mereka merasa sangat takut tadi, bahwa napas Winny sempat berhenti sejenak dalam jangka waktu lebih dari tiga menit. Hal yang membuat ketiganya hampir menyerah. Beruntung, ada Kaindra di tim mereka yang berhasil menyulap keadaan kritis Winny kembali membaik. Ya, keahlian Kaindra memang luar biasa itu mengapa anak-anaak lain suka memanggilnya pesulap di meja operasi. Seperti saat ini, bahkan dia melakukan sulap itu tidak di atas meja operasi sekalipun. “Napas dan detak jantungnya kembali menormal. Pastikan pemasokkan oksigennya terus terpenuhi sampai malam nanti. Yena, kamu bisa memeriksa denyut jantungnya setiap sepuluh menit sekali kan?” Itu Kaindra. Dengan sigap Yena pun mengangguk pasti, “Bisa, Dokter.” “Baik, saya masih ada jadwal operasi lagi dalam satu jam kedepan. Mohon perhatian kamu juga. Saya akan kirim Dokter Helmi untuk membantu kalian.” Giliran Bintang yang mengangguk, “Baik, apa vitaminnya bisa disuntikkan bersamaan dengan obat yang akan diberikan dlam tiga puluh menit ke depan nanti?” tanyanya. “Sebaiknya jangan dulu. Jika muncul ruam kebiruan pada bagian tangan atau bahkan ke seluruh tubuhnya barulah vitamin itu bisa disuntikkan. Takarannya jangan lebih atau kurang dari yang tercatat ya?” “Baik Dokter!” sahut Yena dan Bintang berbarengan. Dan saat itu, daun pintu di depan sana terbuka. Menampilkan Chandra dan Alpha yang berjalan masuk ke arah mereka. “Ssttt!” Dengan bahasa tubuh, jari telunjuk Bintang yang diangkat ke bibir seolah memberi pertanda untuk diam. Kemudian kibas-kibas seperti menyuruh keluar lagi. Tidak banyak bicara, kedua lelaki jakung di depan daun pintu itu pun lengser dengan cepat dari sana. Lewat gerakan nonnverbal tambahan dari Kaindra, Bintang juga memberi isyarat tidur menggunakan kedua telapak tangannya yang ia angkat dan diletakkan di sesebelah wajah dalam posisi miring. Alpha dan Chandra mengangguk kecil di sana. “Kita bicara di luar,” ucap Kaindra. Bintang mengangguk setuju. Sebelum pergi, Kaindra dan Bintang juga menitipkan pesan pada Yena. “Baik, Dok.” “Kami permisi,” ucap Kaindra. Perawat yena mengangguk sopan. Di luar ruangan Winny, usai mendapat usiran sepihak dari Kaindra dan Bintang di dalam sana, baik Chandra maupun Alpha masih diam dan duduk pada kursi yang tersedia. Keduanya memilih diam, bungkam, tidak berucap sepatah kata pun sama sekali. Terlihat dari wajah-wajah suram keduanya, mereka tengah merasakan hal yang sama. Alpha yang banyak pikiran terlihat sama dengan raut Chandra saat itu juga. “Kamu dari mana, Chan?” tanya Bintang langsung to the point begitu keluar dari ruangan Winny dan mendapati Chandra serta Alpha yang terduduk di sana. Bahkan rautnya yang tampan itu terlihat sangat tidak bersahabat sekali. Kaindra yang tahu ke mana arah pembicaraan ini hanya berdeham sejenak. “Dari apotek,” jawab Chandra singkat. “Beli apa?” “Beli obat, Bi.” “Obat tidur? Untuk siapa? Sudah bosan hidup juga?” Mendapati Bintang seketus itu membuat Chandra seketika diam. “Dari mana Bintang tahu kalau aku keluar membeli obat tidur?” batin Chandra terkejut. “Tidak usah kepo aku tahu dari siapa, tentu saja aku tahu,” celetuk Bintang lagi seolah mengerti isi pikiran Chandra. “Kenapa, Chan? Betulan sudah bosan hidup ya? Kenapa?Karena melihat Winny seperti sekarang? Ck ck ck!” Bintang menggelengkan kepalanya dramatis sembari berdecak malas. Sementara si tersangka hanya diam dengan wajah yang tidak menunjukkan reaksi apa pun. Batinnya boleh terkejut tapi, ekspresi wajahnya kelewat datar. Sama sekali tidak ada guratan apa pun. Hmm ... susah memang kalau berteman dengan manusia-manusia muka datara seperti Chandra dan Alpha. Untung saja cuma muka datar bukan muka dua. “Kamu ini bicara apa sih, Bi?” sangkal Chandra. “Oh ... mau mengelak rupanya. Sudahlah, Chand aku sudah melihatnya sendiri secara langsung kok. Kenapa ha?” Sejak kapan pula Bintang melihatnya secara langsung? Tahu saja baru tadi, itu pun dari perawat Yena. “Kamu menguntitku sampai toilet ya?” Chandra justru balik bertanya. Oh ... jadi si tiang listrik ini minum obatnya di toilet? Oke, kalau begini kan jadinya Bintang tidak perlu repot-repot mengorek informasi lebih dalam lagi. Pelakunya sendiri yang sudah mengaku. “Iya,” jawab Bintang sarkas. Begitu saja, biar cepat. Setelah Aira dan Winny, tentu saja Bintang tidak mau kalau Chandra juga merasakan apa yang kedua perempuan itu rasakan. Apalagi sampai dia juga yang merawat sahabatnya sendiri. Sudah cukup hati Bintang yang terpukul hebat dengan keadaan Aira sekarang dan juga Winny. Walaupun status Winny adalah kekasih Chandra tapi tetap saja Bintang tidak suka melihat orang-orang terdekatnya kesusahan apalagi bersedih. “Chan?!” geram Bintang. Chandra menghembuskan napas sejenak kemudian menjawab, “Iya, Bi.” Nah kan. Pakai acara berbohong segala lagi. Bintang semakin berang saja mendengar jawaban Chandra yang terlihat tidak berdosa sama sekali. Kalau saja mereka sedang tidak berada di tempat umum sekarang, mungkin kepala stetoskop Bintang sudah melayang sampai ke kepala Chandra detik ini juga. “Kenapa kamu mengonsumsinya?!” “Tidak bisa tidur, Bi. kepalaku juga sering sakit.” Bugh! Pada akhirnya, ada juga stetoskop terbang. Dan mendarat dengan mulus ke tempurung kepala Chandra menghasilkan bunyi yang syahdu sekali. Membuat empunya mengelus kepalanya sendiri sembari meringis kesakitan. “Rasakan itu, kenapa gak minum obat serangga saja sekalian biar tidurmu nyenyak dan tidak usah bangun saja sekalian. Dasar manusia otak dangkal!” Uh ... pedas. Nyinyiran Bintang memang semenakjubkan itu kalau sudah dalam mode emak-emak. Bahkan emak-emak yang aslinya pun kalah. Kaindra tergelat sesaat di sana, sama halnya dengan Alpha yang sejak tadi hanya menjadi penonton budiman yang baik hati dan tidak sombong. Lumayan kan, ada pertunjukkan seru di tengah suasana hatinya yang sedang berkabut seperti sekarang. “Kutunggu kamu di ruanganku sekarang. Ini soal Winny!” ucap Bintang setelah berhasil mengontrol emosinya lebih stabil. “Sekarang, Bi?” tanya Chandra serupa cicitan anak ayam yang habis kena semprot induknya. “Tahun depan! Ya sekaranglah.” Setelah mengatakan demikian, Bintang pun lengser dari sana. Diikuti oleh Chandra di belakangnya. Menyisakan Kaindra dan Alpha yang masih terkikik geli satu sama lain. “Al, kita juga perlu bicara,” ucap Kaindra. “Di ruangan Aira?” Kaindra mengangguk. “Oke.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD