Bab 4

1437 Words
"Lain gimana?" "Sulit, tak terdefinisikan." "Yang bener Bi, kamu kan tau aku gak pintar-pintar amat." "Ya emang kamu kurang cerdas," ucap Bintang santai. Chandra berdecak menanggapi, kemudian berpindah duduk di sebelah Aira. Mukanya merengut tak suka. Aku dan Bintang tertawa setelahnya. Kedua beagles tersebut sedang membicarakan tentang film Amerika yang mereka lihat kemarin. Siang ini, kembali kuhabiskan waktuku bersama Aira, Bintang juga Chandra. Makan siang bersama di restoran terdekat dari rumah sakit tempat Bintang bekerja. Sementara Chandra yang pengangguran akan siaga kapan saja jika berkaitan dengan acara kumpul-kumpul. Sebenarnya tidak pengangguran juga, Chandra seorang seniman. Jam kerjanya tidak teratur. Dan aku, memutuskan untuk resign dari pekerjaanku sebagai Barista. Setelah apa yang terjadi dengan Aira pagi tadi, berat rasanya bagiku untuk meninggalkannya seorang diri di rumah. Aku sengaja mengajaknya berkeliling taman kota, dengan sepeda yang kusewa untuk beberapa jam ke depan. Chandra dan Bintang sempat heboh melihat kehadiranku bersama Aira dengan kondisi tangan adikku yang dibalut perban. Kukatakan pada mereka, Aira terjatuh ketika mengambil minum dan jarinya terkena pecahan gelas. Ya, hanya sebatas itu. "Kok ceroboh banget sih Darl." Darling, panggilan lain Bintang pada Aira. Tak tahu kenapa, aku merasa risih. Padahal, panggilan seperti itu sudah biasa Bintang sematkan pada adikku. "Kamu oke kan Al?" Itu Chandra yang berkata. Aku paham maksudnya. "Aira yang salah, kejadiannya pun masih terlalu pagi. Kak Alpha masih tertidur langsung berlari ke kamarku." Aira membelaku. Lagi. Bintang menepuk sebelah pundakku, aku hanya diam menatap Aira yang sedikit menyunggingkan senyum. Netraku seperti tak pernah bosan memandangnya, selalu tertuju padanya. "Kamu mau apa untuk penutup mulutnya, Sayang?" Bintang sudah bersiap untuk mengambil menu terakhir. Jam istirahatnya akan segera berakhir. "Hmm... tiramisu." "Siap komandan! Tunggu sebentar ya cantik," tutup Bintang kemudian melangkah menuju meja pesanan. Aku dan Chandra tersenyum saling pandang. Terjadi keheningan setelahnya. Lalu sebuah benda bundar jatuh tepat di hadapanku hingga menimbulkan bunyi 'tak' tidak terlalu keras. "Aww!" Aku refleks berdiri, membawa Aira dalam kungkunganku. Kulihat, Aira mengusap tangannya. Karena kulitnya yang sangat putih membuat ruam kemerahan terlihat jelas di sana. Mulutku hampir mengomeli pembuat keributan namun, seorang anak kecil laki-laki berkaos garis-garis menghampiriku dengan mata sembabnya. "Maaf Om, bukan aku yang melempar. Mereka menyuruhku mengambilnya," ucap anak laki-laki itu sembari menunjuk beberapa bocah kecil lainnya di sana. Kupikir mungkin ada 2 sampai 3 orang anak lagi. "Kenapa mereka yang menyuruhmu?" "HEI JUN, CEPETAN! LAMA AMAT SIH." Teriakan dari bocah-bocah di sana. "Anak-anak zaman sekarang ada-ada saja," ucap Chandra. Ia menggapai lengan anak lelaki yang dipanggil Jun itu dan menghampiri anak-anak di depan sana. Aku menuntun Aira mengikuti arah perginya Chandra. "Bola siapa ini?" "Bola kita Om, kembalikan!" Chandra berdecak dan berkacak pinggang. Anak kecil yang tadi bersamanya ia tatap tajam. Kemudian bertanya, "Mereka temanmu?" pada anak tersebut. Kulihat lelaki kecil itu menggeleng. "Bukan," jawabnya. "Kalian... kalian bukan temannya jadi kenapa menyuruhnya?" "Heh Juno, kau ini jahat sekali ya. Kita kan temanmu!" ucap seorang anak kecil di antara empat orang itu. Mereka berempat. "Tidak, kata Mama teman tidak saling menyakiti." "Huh dasar sombong," ucap anak lainnya. Kemudian mereka berdesakan lari menjauhi kami. Tinggal lah anak kecil yang bernama Juno itu. Chandra berlutut menyamakan tingginya dengan anak tersebut. Jemari panjangnya ia arahkan menghapus jejak-jejak air mata Juno. "Namamu Juno?" Pertanyaan Chandra ia angguki. "Mulai sekarang Juno jangan mau disuruh-suruh mereka, tidak usah bermain dengan mereka. Mereka anak nakal nanti Juno dimarahi Tuhan jika bermain dengan mereka." "Senakal apa pun anak-anak tadi boleh saja jika Juno ingin berteman dengan mereka. Tapi, jangan mengikuti sikap dan keburukan mereka," sambung Aira. Ia masih dalam rangkulanku. "Kenapa begitu?" "Nanti Juno kena marah Mama. Mama kalau marah seram kan?" "Iya, nanti Juno dikasih makan dinosaurus." "Nah, jangan ikuti sikap buruk mereka. Paham?" "Eumm. Paham Kakak cantik. Kita berteman ya, aku Juno Ananta." Lelaki cilik itu mengulurkan tangannya. Kuambil jemari Aira tuk kubawa pada telapak kecil milik Juno. Bocah itu mengernyit bingung, kembali bertanya, "Kakak cantik tidak bisa melihat?" Chandra berdeham sejenak, seketika suasana menjadi canggung. Sementara Aira tersenyum tulus, ia keluar dari rangkulanku. Masih dengan menggenggam lengan kecil Juno. Ia berucap, "Kakak kehilangan penglihatan sekitar delapan tahun lalu." "Kalau begitu usia Kakak sekarang berapa?" "18 tahun." "Kenapa Kakak cantik?" tanyanya lagi dengan wajah polos. Chandra sudah terbahak dengan pertanyaan yang sulit dijelaskan itu. Sementara Bintang yang baru saja kembali bersama 2 potong tiramisu pesanan Aira. Ia menunduk, menyamakan posisi dengan Juno. "Karena dia Aira, mau kuenya?" tawar Bintang. Anak kecil itu menggeleng. Katanya ia masih memiliki banyak tugas rumah. Jadi, dengan senang hati Bintang, Chandra, aku, dan Aira mengantarkan lelaki kecil itu ke depan resto. Chandra berniat mengantarkannya pulang namun, dia bilang rumahnya tak jauh dari sini. Ia sempat berpesan pada Aira untuk menunggunya pekan depan di tempat yang sama. Membuatku, Chan, dan Bintang keheranan tapi, tetap kami setujui. Anak itu periang terlepas dari kebersamaannya dengan beberapa temannya tadi. *** Waktu makan siang berlalu dengan cepat, Bintang sudah kembali bekerja dan Chan mendapat panggilan dari partner senimannya. Katanya ada job baru. Aira merengek minta pulang, katanya lelah. Padahal aku masih ingin membawanya berkeliling taman Nasional. Berhubung jam sewa sepedanya masih berlaku. Tapi, aku tak dapat menolak keinginannya. Matanya memerah sepertinya dia mengantuk. "Kakak..." "Ya?" Kami telah berada di rumah. Ayah masih bekerja, sementara aku akan bekerja waktu malam nanti. Aku dan ayah sepakat bergantian menjaganya. Tak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk lagi. Sekarang aku sedang menumis sayuran dan Aira duduk di meja makan. Mukanya cemberut, sedari tadi dia terus saja merengek seperti anak kecil. Tidak mau makan lah, tidak mau tidur lah, ingin makan jelly lah. Kuakui ia sedikit menguji kesabaranku. Namun, aku tak mau menjadi Alpha yang dulu lagi. Ya, aku berjanji pada diriku sendiri. "Kenapa lagi hmm?" Kuhampiri Aira yang termenung dan mengusak surai panjangnya. Bibirnya mencebik kemudian ia berucap, "Aku ngantuk." "Tapi kamu belum makan Aira." "Tadi kan sudah di resto bersama Kak Chan dan Kak Bintang." "Makanannya saja tidak kamu habiskan." Ia berdecak "Tapi aku mau tidur." "Makan dulu!" Tanpa kusadari, intonasiku menegas. Kulirik adikku yang mengkerut di tempat. Astaga, aku lepas kendali. "Aira, sejak kapan kamu jadi keras kepala begini hmm? Kakak tidak marah. Kakak hanya tidak mau kamu sakit," terangku melembut. Meraih jemarinya tuk kupandangi. Aira masih diam. Rasa bersalahku hadir lagi. Adikku ini benar-benar membuatku seperti berada di roller coaster. "Aira, maafkan Kakak." "Gak kok, gak apa-apa. Yasudah Aira makan sedikit saja," putusnya. Aku tersenyum, untungnya masakanku sudah matang. "Oke." Kuambil sepiring nasi putih beserta lauk pauknya. Dan kuberi pada Aira. Ia makan dengan tenang. Namun, bisa kulihat ia memakannya tanpa minat. Biar saja, yang terpenting perutnya terisi nasi. "Selesai makan jangan lupa minum obatnya sebelum tidur. Mengerti?" "Hum," jawabnya. Mulutnya penuh dengan nasi. Aku hanya menggeleng saja. Selesai makan, aku mengantarkan Aira ke kamarnya. Memastikannya meminun obat kemudian membiarkannya beristirahat. Adikku sudah terlelap namun, aku masih memandanginya. Menatap wajah lugu yang tak pernah kupandang eksistensinya dahulu. Jika teringat masa itu, penyesalanku teramat dalam. Aku merasa sangat sedih. Maafkan aku Aira. Tak terasa mataku mulai berair. Kuputuskan untuk keluar. *** Pukul 5 sore, sebentar lagi ayah pulang dan aku akan berangkat bekerja. Sekarang, aku hanya bekerja sebagai pianis di cafe setiap malam. Untungnya, gaji yang kudapat cukup besar. Oleh sebab itu, dari sekian banyak pekerjaanku sebelumnya, aku mempertahankan yang ini. Meski harus menahan kantuk, sebab seharian menjaga Aira dan lanjut bekerja dari pukul 6 sore sampai pukul 12 dini hari. Aira masih tidur, aku bersemayam di ruang tamu sekaligus ruang TV untuk menonton program apa saja. Namun, ponselku berbunyi. Nama Chandra tertulis di sana. "Halo Chan?" "Bagaimana?" "Bagaimana apanya?" "Bintang hanya memanggilnya Darling saja Al. Tidak lebih." Ohh tentang itu rupanya. Aku berdeham. Sejak masa di mana aku masih enggan peduli pada Aira. Chandra sudah mengenalku. Hanya saja, kami tidak dekat. Mungkin aku saja yang belum mengenalnya. "Kutebak, kamu pasti menyukai Aira?" Lagi, suara Chan terdengar dari ujung sana. Aku berdeham kesekian kalinya. Aku semakin yakin terhadap Chandra kalau dia mengetahui perasaanku pada Aira. Tidak salah juga. Bukannya seorang kakak memang harus menyukai adiknya? Bahkan aku menyayanginya. Aku mencoba berpikir realistis. Mengelak pada kenyataan. "Iya. Kenapa?" "Suka yang benar-benar suka Al. Kamu mencintainya. Aku tau, kamu sangat menjaganya." "Chan-" aku menjeda sejenak, "Bagaimana kalau itu memang benar?" Kudengar Chandra menghela napas. Aku tau perasaanku ini salah. Bagaimana mungkin seorang kakak mencintai adiknya sendiri. Namun, terkadang aku merasa perasaan ini tak salah juga. "Kamu mencintainya Al." Itu pernyataan bukan pertanyaan. Sebab intonasi Chandra terdengar sangat lugas. "Tetap cintai Aira Al. Jaga dia, sayangi dirinya sepenuh hati. Kamu memang ditakdirkan untuknya." Beberapa saat aku terdiam mendengar perkataan Chan di seberang sana. Atas dasar apa Chandra bisa berkata demikian. Tiba-tiba saja aku merinding. Hatiku membuncah. Ya, kuakui aku mencintai Aira. Adikku sendiri. Tapi, bolehkah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD