Bab 34

1433 Words
"Aira?!!" "Shutt!" Bintang mengibaskan tangannya. Memberi kode untuk Alpha mendekat. Dengan cepat pria jakung tampan itu pun menhampiri Bintang di sofa. Di depan sana, Aira terlihat nyaman dalam tidurnya. "Dia baru saja tidur, Al. Jangan berisik!" Bintang berbisik. Mengingat Aira cukup peka kepada shara ketika sedang terlelap. Alpha kontan tutup mulut, mingkem. Menyumpal vokalnya rapat - rapat. "Kamu bilang Aira jatuh? Jatuh di mana, Bi? Parah atau tidak? Bagaimana bisa terjatuh?" Pertanyaan beruntun itu Alpha keluarkan dari lisannya setelah b****g menempel di empuknya sofa. Bintang meraup wajah sesaat. Sejujurnya, dia ragu ingin mengatakan jawaban yang Aira sampaikan kepadanya adalah fakta. Ia ingin berdiskusi pada Alpha. Bukankah pria ini sempat menitipkan Aira pada Sheila? Bintang gemas ingin membahasnya sampai tuntas. Tapi, mengingat kali terakhir mereka berbeda pendapat tentang Sheila yang berbicara di telepon waktu itu, Bintang jadi berpikir dua kali untuk menyampaikan keresahan hatinya. Pada akhirnya, Alpha akan tetap membela Sheila kan? "Bintang! Kenapa melamun?! Ayo jelaskan!" "Ck, kalau perkataanmu itu dalam bentuk tulisan pasti sudah banyak tanda serunya. Kamu ini tidak sabaran sekali ya, Al," omel Bintang. Ngomong - ngomong, pria cantik dan tampan dalam satu waktu itu telah mengenakan snelli dokternya. Tidak tahu bagaimana caranya benda keramat itu telah melekat di tubuhnya. "Makanya celat jelaskan! Memangnya apa lagi yang kamu tunggu, Bintang!" Astaga astaga. Untung Bintang sabar. "Aira jatuh dari tempat tidur. Katanya dia haus dan ingin mengambil gelas di ujung nakas. Tapi, tidak sampai. Berakhirlah dengan dahinya berdarah terbentur lantai." "Berdarah?!!!" "Shuuttt!!!" Bintang menempelkan jari telunjuknya di bibir. Isyarat untum diam. "Hngg ..." Di sana, ada yang menggeliat tapi bukan ulat. Melainkan Aira yang merasa terganggu dalam tidurnya. "Astaga mulutmu itu, Alpha," nyinyir Bintang. "Lanjutkan, Bi." Bintang memutar bola matanya malas. "Untungnya aku lekas datang. Kalau tidak, bagaimana dengannya? Ck ck ..." "Bagaimana dengan lukanya, Bi?" Alpha bertanya terburu - buru. "Berdarah tapi, tidak cukup parah. Dan lukanya juga tidak terlalu dalam." Terlihat Alpha yang menghela napas panjang lantas mengusap wajah hingga ke surai belakangnya dengan emosi tertahan. Dia kesal, pada diri sendiri. Keduanya kembali terdiam. Alpha tidak bisa tenang dengan sorot mata yang menatap seksama sosok yang tengah berbaring di hadapannya. Dia sudah berteleportasi ke tempat Aira terlelap dengan duduk di depan nakas dekat ranjang pasien. Sementara Bintang, isi kepalanya dipenuhi oleh hal - hal yang mengganggu ketenangan hatinya. Masih seputar kakak beradik yang selalu meresahkan banyak orang itu. Siapa lagi kalau bukan Alpha Aira. Bagaimana jika ia tanyakan saja perihal Sheila yang sempat dititipkan pesan untuk menjaga Aira? Kira - kira apa yang akan Alha jawab sebagai responnya? Paling tidak, Bintang hanya ingin melihat bagaimana reaksi sahabat bodohnya itu. Alpha adalah tipe orang yang baik. Bahkan saking terlampau baiknya sering kali dibodoh - bodohi oleh orang lain. Seperti sekarang ini. Alpha yang dikelabui oleh Sheila. Begitu firasat Bintang mengatakan. Bukan suudzon apalagi suka berprasangka buruk. Tapi, kalau masalah seperti ini Bintang cepat tanggap. Dia lumayan peka terhadap orang - orang di sekitar. Melihat bagaimana gelagat Sheila saat ia temui di halaman rumah sakit tadi itu. Memunculkan kecurigaan terhadap wanita tersebut. "Sheila dalang di balik ini semua?!" kicaunya. Bintang bergumam sembari menerka -nerka pada kebingungan tak bertuannya. Tergesa - gesa, wajahnya memang menunjukkan raut biasa saja tapi, langkah kaki wanita itu lebar saat keluar dari rumah sakit. Seperti orang yang terburu - buru. Mereka bersisian jalan tapi, wanita itu tak menyadarinya juga. "Ck!" Salahkan Alpha yang begitu mempercayai wanita ular tersebut. Kalau begini kan, dia jadi sulit ingin kompromi dengan siapa. Seandainya saja Chandra juga seorang dokter seperti mereka. Dengan Chandra, Bintang bisa nyambung segala - galanya. Mereka kompak, klop. Top markotop pokoknya. Ah iya, Bintang jadi merindukan sahabat caplangnya itu yang sudah hampir tiga minggu tidak bertukar pesan dengannya. Lantas, Bintang pun merogoh ponsel di saku snellinya. Ia akan menelepin Chandra. Sombong sekali manusia seniman yang satu itu. Batin Bintang mulai mengeluarkan aura - aura beagles-nya. Namun, saat kontak Chandra telah ia dapatkan dan tinggal menekan menu dial up. Benda pipih dengan logo buah di belakangnya itu lebih dulu menyala. Panggilan suara masuk dari nomor tidak dikenal. Bintang mengernyitkan dahinya bingung. Seorang Bintang tidak mengangkat panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Jadi, pria itu ragu. "Siapa ya?" tanyanya pada diri sendiri. Dan seseorang di seberang sana sedang mendapatkan keberuntungannya hari ini. Sebab, Bintang memutuskan menerima panggilan tersebut. "Halo, Bintang. Ini aku Vino?" Suara di seberang sana terdengar. "Oh ya, Vino. Kau mengganti nomor ponselmu?" Dan percakapan keduanya pun terus berlanjut. Sehingga Bintang keluar dari ruangan Aira. Takut mengganggu tidur gadis kecil kesayangannya. Saat Alpha menoleh dan melihatnya akan keluar, Bintang memberi kode dengan menunjukkan ponsel di telinganya. Yang berarti sedang terhubung sebuah panggilan suara. Alpha pun mengangguk. Menyisakan dirinya dengan sang adik seorang. Sejak tadi, yang dilakukannya tidak lain dan tidak bukan hanya menatapi Aira yang masih terlelap dalam balutan selimut dengan nyaman. Sesekali ia akan menyampirkan helai - helai rambut yang menutupi mata dan dahi yang terdapat plester di sana ke belakang telinga empunya. Oh plester itu. Tangan Alpha sudah gatal ingin mengelusnya sejak tadi. Lebih tepatnya mengelus dahi yang terdapat tempelan luka di sana. "Bagaimana aku bisa melepaskanmu dengan lelaki lain jika baru kutinggal sebentar saja kamu sudah terluka Aira." Karena dari lubuk hati yang paling dalam pun, dirinya tidak akan bisa hidup tanpa Aira. Jadi, jangan membayangkan sesuatu yang akan membuatmu terluka. Bertahanlah selagi bisa, membayangkan yang baik - baik jika dapat memotivasi dan singkirkan segala pemikiran buruk yang dapat membatasi. Lengan ramping Aira, menjadi objek pandangnya kini. Sudah tidak ada lagi selang infus yang menempel di sana, perban matanya pun telah dibuka dan hasilnya pun Aira dapat menyapa dunia lagi. Tapi, mengapa harus ada kisah - kisah pahit yang lain? Apa ini cobaan untuk adiknya? Atau sebuah hukuman dari Yang Maha Kuasa kepadanya? "Aira ..." Mengapa terlalu banyak lika - liku dalam kisah kita? Mengapa dirimu harus menjadi adikku jika mampu memunculkan perasaan salah ini? Mengapa harus Airaku pula yang mengalami ssmua ini? Dari sekian banyaj makhluk bumi yang lain? Dan masih banyak lagi mengapa - mengapa yang bertebaran di kepala Alpha. "Haruskah kubunuh perasaan ini?" Hingga ke akar, sampai bersih merata. Sehingga yang terlihat di mata bukan lagi Aira yang spesial karena cinta dari pria kepada wanitanya. Tapi, murni sebagai kakak kepada adiknya. Bisakah takdir berubah sewaktu - waktu? Bagimana jika ternyata hubungan persaudaraan mereka hanyalah tiri? Atau salah satu dari mereka adalah anak angkat? "Ya Tuhan, ada apa dengan pemikiranku ini. Jelas - jelas Aira terlahir dari rahim yang sama denganku." Vokal Alpha terdengar kaku. Ditelannya kepahitan itu bulat - bulat. "Kakak sayang kamu, Ra. Lekas sembuh dan kita jalani hari - hari lagi seperti semula ya?" Saat kau dan aku berjalan bersama, saling berdampingan. Telapak kecilmu berada dalam genggamanku. Ketika kau merengek lelah dan aku bersedia menjadi alat transformasimu. Jalan sore - sore, lari pagi bersama, tertawa dan kai merajuk kepadaku. Teruntuk Aira : Jika melupakan begitu mudah, dan memaafkan sangatlah ringan. Maka, bertahanlah selagi kau bisa merasa nyaman dan bahagia. Kepada Alpha yang dilema : Jika melepaskan sulit dirasa lantas mengapa harus memasukkan pilihan berpisah dalam hubungan kita? Mencintai seorang adik yang berstatus sedarah tidaklah salah. Sebab cinta adalah pilihan hati yang terlaksana. Namun, patutlah tuk diubah perasaan tersebut dengan membersamai wanita lain yang dapat menghadirkan rasa serupa jika kau bersamanya. Kemudian muncul pertanyaan, mampukah? Bagi Alpha untuk mencintai yang lain? Dan dengan Aira, biarkanlah sebagian lembaranmu dibaca banyak orang? Hanya masing - masing tokohlah yang mampu menjawab. Atau ketika tokoh telah pergi maka terjawablah oleh waktu. Semua yang berakhiran tanda tanya, pada akhirnya akan dijawab. Ntah itu cepat atau lambat. Meskipun jelas atau tidak sama sekali. Dan hari ini, detik ini ketika Alpha melihat kelopak pucat itu menggelepar terbuka. Menampilkan sepasang mata jernih yang selalu berhasil membiusnya. "Kak Alpha." Dengan suara lembut yang selalu disukainya. Selalu membuatnya ingin melindungi terlalu banyak. Namun, kali ini Alpha telah bertekad. Mulai detik ini, rasa yang ia hadirkan untuk gadis ini adalah murni perasaan kasih seorang kakak kepada adiknya. Bukan lagi jenis perasaan seorang pria kepada wanitanya. Ya, Alpha akan move on. Ia akan membuka hati dan menempatkan perasaannya kepada wanita lain. Asal tidak dengan Aira yang selalu menjadi nomor satu selama ini. Nama wanita lain, harus mulai tersimpan dalam ingatannya mulai sekarang. Dan nama Sheila telah berhasil Alpha terima. "Kamu terluka lagi, Aira." Tidak ada senyuman sebagaimana biasanya ketika dua pasang lensa mereka bersua. Alpha menakn kuat - kuat kedutan pada bibirnya. Semuanya dimulai dari hal terkecil sekali pun. Termasuk dengan senyum. "Maaf, Kak. Aira tidak sengaja." Dan suara lembut yang bergetar itu mengecoh kewarasannya lagi. Benaknya tidak tenang. "Jangan menangis Aira. Jangan membuatku kembali terjatuh pada sosokmu yang tidak mungkin bisa bersama."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD