Bab 89

1881 Words
“Rekam medis untuk pasien di ruangan nomor 227 atas nama Kalia Nurhalimah, banyak perkebambangan signifikan mengenai kasusnya dan sudah banyak perubahan yang mengarah ke yang lebih baik. Hal ini memungkinkan Anda bisa lekas pulang kalau minggu depan sudah berangsur-angsur membaik.” Alpha menjelaskan pada pasiennya yang merupakan seorang wanita berhijab dan tengah berbaring di ranjangnya. Wanita setengahbaya itu pun tersenyum bahagia mendengar penjelasan Alpha barusan. “Alhamdulillah, terima kasih ya Dokter. Kalau begitu apa mungkin minggu depan saya sudah bisa pulang?” “Sama-sama, Bu tapi, sebelum itu kita harus memeriksanya sekali lagi, dan jika dalam pemeriksaan tidak ditemukan hal yang ganjil mungkin saja,” jawab Alpha. “Syukurlah.” “Semoga lekas membaik ya, Bu. Kalau begitu saya permisi.” “Baik Dokter, terima kasih.” Alpha menyahuti dengan senyum manis dan mengangguk kecil. Kemudian ia pun keluar dari ruangan tersebut. Tugasnya malam ini bukan operasi yang menghabiskan banyak waktu, hanya memeriksa beberapa pasiennya saja dan itu juga berada di bangsal yang cukup jauh dari bangsal tempat ruangan Aira berada. Alpha menutup pintu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara gaduh. Apalagi sekarang sedang tengah malam. Tidak sedikit pula pasien yang hendak ia periksa sedang tertidur. Dan megharuskan Alpha bekerja lebih hati-hati lagi agar tidak membangunkan sang pasien. “Masih ada beberapa pasien lagi, setelah itu sebaiknya aku ke laboratorium sebentar. Sepertinya laporan rekam medis Aira yang terakhir kali tertinggal di sana,” ujar Alpha. Ketika ia hendak berjalan melanjutkan langkahnya, getaran di ponselnnya membuat Alpha mengurungkan langkahnya sejenak dan memilih mengeluarkan benda pipih tersebut dari dalam sakunya. “Abdul? Ada apa ya?” tanyanya pada diri sendiri, kemudian lekas Alpha angkat. “Halo, iya Dul?” “Mas Alpha, maaf ya Mas sebelumnya, sepertinya saya salah kasih amplop hasil uji tes lab yang Mas minta waktu itu, Mas.” “Salah?” “Iya, Mas. Jadi sebenarnya itu amplop milik orang lain yang kebetulan juga melakukan tes dengan benda yang sama. Jadi, sepertinya saya keliru dan memberikan hasil yang salah kepada Mas Alpha.” “Oh begitu ya, yasudah besok siang atau sore saya kembalikan ke kamu.” “Eh ... tidak perlu repot-repot, Mas. Ini terjadi akibat keteledoran saya jadi nanti saya saja yang akan mengantarkan berkas yang benarnya ke Anda Mas.” “Tapi Dul-” “Permisi Dokter Alpha, pasien di ruangan sebelah mengalami kejang mendadak. Jalan pernapasannya juga sulit, Dok.” Seorang perawat datang dengan memberikan informasi demikian pada Alpha. Yang sontak saja Alpha pun menanggapi dengan sigap, “Baik, saya ke sana sekarang!” balas Alpha pada perawat tersebut. “Iya sudah Dul kamu bisa mengantarkannya ke rumah sakit besok. Sekarang saya sedang buru-buru sudah dulu ya.” “Oh iya Mas Alpha baik, sekali lagi saya minta maaf atas kecerobahan saya ya Mas Alpha. Dan satu lagi Mas kalau bisa amplopnya jangan Mas Alpha buka dulu ya, karena segel yang terpasang di amplop tidak bisa kita lakukan dua kali, Mas. Ini menjaga kerahasiaan tempat kami Mas.” “Iya-iya Dul. Tidak apa-apa, yasudah ya.” Klik! Saat panggilan berakhir dan Alpha menutup panggilan teleponnya, di baru menyadari satu hal. “Astaga iya, aku bahkan juga lupa belum membaca surat hasil uji lab itu, ternyata salah,” gumam Alpha sejenak kemudian bergegas cepat menuju ruangan pasiennya yang berikutnya. Berakhirnya panggilan antara Alpha dan Abdul ternyata membuat seorang wanita yang saat ini berdiri di sebelah Abdul pun menyunggingkan senyum tipis. “Gimana?” tanya seorang perempuan tidak sabaran. “Sudah, Mbak. Sepertinya Mas Alpha juga belum melihat surat yang saya berikan, karena tadi kedengaranya Mas Alpha tidak curiga sama sekali dan tidak banyak bertanya mengenai apa pun,” kata Dul kepada perempuan yang di sana. Senyum miring hadir di sebelah sudut bibir Sheila, senyuman yang lebih terlihat seperti sebuah seringaian. “Bagus, ingat ya perjanjian kita. Jangan sampai lo buka mulut tentang hasil uji laboratorium ini yang udah gue sabotase atau, lo akan tanggung sendiri resikonya.” Sheila berujar dengan nada penuh intimidasi. “Iya, Mbak.” Dul pun hanya bisa mengangguk patuh karena takut oleh Sheila. Ya, sosok perempuan yang ada di balik ini semua adalah Sheila. Dia telah memalsukan surat hasil uji laboratorium untuk kacing baju dan rambut yang Alpha temui di lokasi kejadian jatuhnya Aira waktu itu. Surat yang asli saat ini sedang berada di tangan Alpha, dan yang Sheila berniat menukarnya dengan yang palsu agar kedoknya tidak terbongkar. Kalau sampai Alpha membaca suratnya yang asli dan mengetahui ciri-ciri orang sebagai pemilik kancing dan rambut baju itu, nanti Alpha akan mencari tahu lebih dalam lagi dan bisa saja ketahuan kalau pelakunya adalah dirinya dan Alpha. Karena, potongan kancing baju yang ditemui di lokasi adalah potongan kancing baju milik Loren. Sementara helaian rambut itu miliknya. “Nggak-nggak, Alpha gak boleh tahu titik!” gumam Sheila penuh keyakinan dan wajah yang menampilan raut serius. Bahkan lebih terlihat guratan bengis dari parasnya yang biasanya ia buat manis. Tak! Sebuah amplop putih Sheila berikan pada Dul yang orangnya secara refleks langsung menerima sodoran tersebut. Sebuah amplop yang berisi duit. “Ini bayaran untuk lo, inget ya jangan sampe rahasia ini bocor!” Peringat Sheila sekali lagi yang membuatnya Dul semakin mengkerut di posisinya. “Iya Mbak pasti, pasti saya akan bungkam dan rahasia ini aman.” “Good. Yaudah gue cabut dulu, inget, silent please.” Kalimat terakhir Sheila sebelum sungguhan pergi dari sana. Usai kepergian Sheila, Dul yang masih menetap di posisinya pun menatap amplop tebal yang ia pegang dalam genggamannya. “Ini penyuapan namanya, kalau aku menerima ini sama saja namanya aku sudah bekerja dengan tidak jujur. Selain itu, ini juga perbuatan yang tidak baik. Aku akan menanggung dosanya. Tapi, kalau sampai aku bilang ke Mas Alpha kebenarannya, Mbak-Mbak itu tadi pasti akan melakukan sesuatu padaku,” ujar Dul bingung. Dirinya sedang berada dalam posisi yang kurang beruntung sekarang. Dia tidak mau membantu kejahatan dengan cara kotor dan tidak halal seperti ini tapi, di satu sisi dia juga tidak bisa berbuat banyak selain tutup mulut. “Akhh ... bagaimana ini?!” kesal Dul sembari mengacak-acak surainya. Kembali ke rumah sakit, Aira yang telah kembali tertidur setelah Bintang menyuntikkan obat penghilang rasa sakit sebagai efek sampingnya. Laki-laki dewasa yang memiliki postur tubuh lebih kecil dari rekan-rekan dokternya yang lain itu pun meletakkan Aira dengan hati-hati ke tempat khusus pemeriksaan. Dini hari, pukul 2 Bintang terpaksa melakukan pemeriksaan laser terhadap Aira. Karena saat ia melakukan pemeriksaan ringan terhadap Aira tadi saat ia meyuntiiikkan obat penghilang rasa sakiit, salah satu tanga Aira yang sebelah kiri bergetar. Bintang curiga itu karena ginjalnya yang rusak kembali berulah. Dan saat Bintang menekan bagian belakang punggung Aira yang sebelah kiri, ternyata benar respon Aira sama. Ia meringis kecil dengan alis berkerut. Itu menandakan kalau bennar ginjal kiri Aira kembali berulah. Bintang mulai berkutat dengan alat-alat dan teknologi canggih yang ia gunakan untuk memeriksa Aira. Setelah sebelumnya memastikan posisi Aira benar. “Suhu tubuhnya stabil tapi detak jantungnya mulai bekerja lebih cepat dari sebelumnya.” Bintang berbalik arah menuju mesin lain yang berbentuk kubus di sana. Menarikan jemarinya di sana dengan berbagai macam tombol yang menggunakan bahasa kedokteran. Saat Bintang melirik ke arah jarum jam, bersamaan dengan getaran lengan Aira kembali terlihat olehnya. “Metode yang Prof. Fany ajarkan padaku saat itu bisa kugunakan sekarang.” Bintang berujar yakin. Jermarinya di bawah sana pun ikut menghitung lambat seirama dengan detik jarum jam dan perhitungan manual pada jarinya sendiri. Sementara matanya awas memerhatikan keadaan Aira juga di depan sana. “Ini bukan hanya karena ginjalnya yang bermasalah tapi juga buah jantungnya yang memengaruhi kerusakan pada organ vitanya semakin parah. Jika dibiarkan lama, kerja laju darah akan terhambat dan pemasokan oksigen ke otak juga semakin sedikit. Pasien bisa mengalami kesulitan bernapas.” Bintang mulai memasang masker dan kacamata khusus untuk dokter yang memeriksa. Perlahan mengambil satu persatu alat-alat yang ia butuhkan. “Dalam dua menit sekali pasien harus mendapatkan oksigen yang stabil dengan rentang karbondioksida yang dikeluarkannya tidak sama dengan penarikan napas yang pertama. Oke!” Bintang berseru. Sebelah tanganya yang memegang pergelangan tangan Aira dan satunya lagi memegang alat bantu pernapasan yang sudah ia pasangkan di hidung dan mulut Aira. Bintang menghitung setiap bunyi jarum jam dengan menyeimbangkan dengan pernapasan Aira. Atensinya handal berputar menelisik jarum jam dengan alat periksa yang ia pasangkan di tangan Aira yang satunya lagi. Pemeriksaan laser ini mungkin akan sedikit membuat pasien merasa kesulitan bernapas, sesak akibat rasa panas yang dikeluarkan oleh alatnya di punggung. Dan Bintang melakukan metode ini agar Aira tidak terganggu dengan alat lasernya. Jika pasien yang tidak memiliki riwayat jantung mungkin akan sedikit lebih enjoy namun, berbeda dengan Aira yang bahkan sakit jantungnya suka kambuh disaat-saat yang tidak bisa ditentukan. Hal ini tentu saja membuat Bintang atau bahkan dokter yang lainnya juga khawatir. Aira ini memiliki lebih dari satu riwayat penyakit dalam yang tidak sepele. Setelah dulu sebelumnya ia mengalami kebutaan karena kecelakaan beberapa tahun lalu, dan ternyata ia juga berefek terhadap penyakit jantungnya. Salah satu ginjal Aira yang rusak pun juga harus diangkat secepat mungkin atau akan berakibat fatal. Meski demikian, pembedahan tidak bisa dilakukan sembarangan begitu saja. Walau pendonor sudah ditemukan tapi, tetap kesiapan fisik pasien juga yanng utama. Oleh sebab itu banyak pemeriksaan berangkai yang harus dilakukan untuk melakukan pembedahan agar berjalan lancar tanpa kendala sedikit pun. “Alatnya bisa dilepas beberapa saat lagi. Begitu pernapasan Aira mulai normal, laser ultranya juga harus dilepas atau rambutnya bisa rontok.” Dit dit dit! “Baik, sekarang waktunya.” Bintang menekan sekali lagi pergelangan tangan Aira yang sebelah kiri dan Aira tidak menunjukkan reaksi apa pun. Aira juga tidak lagi meringis. “Okay berhasil,” ucap Bintang cepat saat melihat warna lampu di alat berbentuk kubus itu mati. Bintang juga melepas satu persatu alat yang tadi ia pasangkan pada tubuh Aira, kecuali alat bantu pernapasan karena Aira masih membutuhkan beberapa waktu lagi agar napasnya berangsur-angsur membaik. Sembari menunggu pernapasan Aira kembali normal, Bintang memeriksa bagian vital dari anggota tubuh Aira yang lain. Terutama pada bagian jantung dan paru-paru Aira. Untungnya detak jantung Aira cepat kembali bekerja dengan baik setelah Bintang memberikan obat perangsang setelah anestesi disuntikkan. “Syukurlah, Ra,” ucap Bintang pelan setelah monitor di hadapannya kembali menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan baik-baik saja. Baik dari pernapasan, jalan dara, dan lain sebagainya. Dan bersamaan selesainnya perkataan Bintang, pintu ruangannya terbuka. Menampilkan sosok tinggi pria dengan snelli dokternya dan kacamata silver yang orang itu gunakan. “Bintang, kamu kenapa di sini? Bukannya seharusnya kamu di ruangan Aira? Dia sendirian, Bi.” Orang itu adalah Alpha yang baru saja tiba dan segera mempertanyakan soal keberadaan sang adik. Karena ia telah menitipkan sang adik secara penuh pada Bintang ketika ia hendak menjalankan tugasnya tadi. Bintang menghela napas sejenak, pelan. Namun terlihat berat bagi Alpha. “Bi?” Alpha yang melihat tingkah Bintang tak seceria biasanya pun langsung bisa memahami situasi. Lantas, Alpha menoleh ke ujung sana yang terdapat seseorang berbaring di atasnya. Sontak saja Alpha mendekati dan detik itu juga ia menatap Bintang cepat seolah menuntut jawaban dari ini semua. “Kita bawa Aira kembali ke ruangannya dulu, Al. Saat ini dia sedang tidur karena pengaruh obat yang sudah kusuntikkan,,” ucap Bintang sebelum menjelaskan yang sebenarnya terjadi kepada Alpha. Tidak banyak bicara, Alpha langsung membopong sang adik dengan hati-hati untuk dibawa balik ke ruang rawatnya. Sementara Bintang mengikuti dari belakang sembari memegangi infus Aira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD