Muridku Maduku - Bab Lima

1054 Words
Dua bulan kemudian, Elin masih belum bisa melupakan kegagalannya menjalani program bayi tabung bersama suaminya beberapa bulan yang lalu. Dia masih terus memikirkan semua kegagalan itu. Terlebih dia sudah gagal melakukan program dua kali ini. Elin tahu, ibu mertuanya sangat menginginkan dirinya hamil dan memberikan cucu pertama untuk mereka. Ya, cucu pertama, karena Rendra adalah anak semata wayang, dan kehadiran bayi di keluarga Prayoga sangat dinantikan sekali. “Sayang, kamu sore-sore gini malah melamun? Ada apa lagi? Masalah sama murid kamu lagi yang tidak mau mengikuti jam pelajaran tambahan?” Rendra mendekati istrinya yang sedang melamun sendiri di ayunan rotan yang berada di teras rumah belakang. “Mas, kita ikut program bayi tabung lagi, ya?” pinta Elin. “Jadi kamu melamun menghabiskan waktu kamu di sini hanya memikirkan itu? Dengar aku baik-baik, Sayang. Ada atau tidak ada anak di antara kami, aku tidak mempermasalahkannya. Sabar, kita pasti bisa punya momongan, jangan terlalu memikirkan itu dan memikirkan omongan orang, sudah, Lin, aku mohon hilangkan beban itu dari pikiran kamu,” tutur Rendra. “Mas, bunda dan ayah sangat mengharapkan kita memiliki keturunan, dan aku tidak bisa memberikannya. Sudah sepuluh tahun, Mas. Apa mas tidak ingin memiliki anak? Apa salahnya kita mencoba lagi,” ujar Elin. “Elin, Sayang ... Stop, jangan bahas ini lagi. Semua orang yang sudah berumah tangga pasti menginginkan keturunan, tapi kalau Allah belum memberi, apa kita harus memaksakan kehendak-Nya?” ucap Rendra. “Mas, aku boleh meminta sesuatu pada kamu?” tanya Elin. “Apa, apa pun yang kamu minta, aku akan penuhi semua maumu, Sayang. Asal kamu jangan memintaku untuk menikah lagi, supaya aku memiliki anak,” jawab Rendra. “Itu yang aku minta, Mas. Menikahlah, hanya itu yang bisa membuat semua orang bahagia, karena mas bisa memiliki anak,” ucap Elin. “Meski aku harus membagi diriku dengan wanita lain? Tidak, Elin! Selamanya aku tidak mau menuruti permintaan konyol mu ini!” tegas Rendra. “Meski bunda yang meminta, apa kamu akan menolaknya juga?” tanya Elin. “Siapa pun yang meminta aku menikah lagi, aku tidak akan pernah mengabulkannya, tidak akan pernah, Sayang!” tegas Rendra. “Apa jika aku yang mengalami kecelakaan itu, lantas kamu akan menikah lagi demi memiliki keturunan? Iya seperti itu, Elin?” tanya Rendra. “Aku perempuan, aku tidak bisa memberikan kamu keturunan, Mas. Seandainya kamu yang kecelakaan, aku pasti bisa hamil, Mas, karena rahimku baik-baik saja dan s****a kamu bisa aku terima di dalam rahimku meski harus lewat medis. Tapi, aku yang bermasalah, rahimku yang bermasalah, apa aku masih pantas disebut seorang istri yang sempurna, Mas?” jelas Elin. “Kamu tetap yang sempurna di hidupku, Sayang. Mau kamu bisa hamil atau tidak, kamu tetap wanita paling sempurna dalam hidupku, dan tidak akan pernah terganti. Jadi, jangan pernah lagi menyuruhku untuk menikah lagi. Tolong jangan seperti itu, Sayang.” Rendra memohon dan berlutut di depan istrinya, agar tidak lagi menyuruh dirinya untuk menikah lagi. Elin hanya pasrah jika suaminya sudah memohon pada dirinya seperti itu. Rasanya percuma saja, Elin memaksa Rendra untuk mencari wanita lain, karena Rendra tidak akan pernah mau menuruti keinginannya. “Meski hanya menyewa rahimnya saja mas tidak mau? Tidak menjadikannya istri, Mas,” ujar Elin, dan tidak tahu kenapa Elin bisa berbicara seperti itu. “Tidak Elin, tidak akan pernah. Menyewa rahim seorang perempuan juga aku akan menjamahnya Elin, aku harus menikahinya dengan sah juga, supaya anak itu sah darah dagingku. Tidak mungkin juga akan menyewa rahim wanita itu untuk bayi tabung. Pokoknya aku tidak mau ada omongan lagi soal menikah lagi, bayi tabung, atau rahim sewaan. Enggak ada, Sayang. Aku akan menunggu, aku yakin kamu bisa hamil, aku yakin Allah akan memberikan keturunan pada kita, percaya padaku. Please ... Jangan dengarkan kata orang, siapa pun itu, jangan dengarkan, hidup kita akan nyaman kalau kita tidak peduli dengan ocehan orang di luar sana, Sayang,” tutur Rendra. “Meski orang tua kamu yang menyuruhmu menikah lagi? Apa kamu tidak ingin menuruti keinginan bunda? Bunda sangat mengharapkan cucu, Mas,” tanya Elin lagi dengan tatapan nanar di depan suaminya. Elin sebenarnya tahu, ibu mertuanya menyuruhp suaminya untuk mencari perempuan lain, dan menyuruhnya untuk menikah lagi. Elin sering mendengar ibu mertuanya menyuruh Rendra memikirkan keinginannya untuk menikah lagi agar bisa mendapat keturunan sebagai penerus keluarga Prayoga. Elin sering mendengar itu, terlebih saat dirinya gagal lagi melakukan bayi tabung untuk kedua kalinya. Mertuanya terus mendesak suaminya agar pamit pada dirinya untuk menikah lagi. “Kenapa diam, Mas? Aku ikhlas, aku rela berbagi suami, kalau itu yang terbaik untuk kita ke depan, Mas. Memang ayah membutuhkan keturunan, sebagai penerus untuk keluarga ini, Mas. Apalagi kamu anak lelaki, dan kamu anak semata wayang,” ucap Elin. “Tidak ada rumusnya ikhlas itu di ucapkan, Lin. Ikhlas bukan dari bibir, tapi dari hati, dan tidak usah di ucapkan kalau ikhlas ya ikhlas. Kamu bilang ikhlas, tapi tatapan matamu mengatakan tidak, Lin. Jangan main-main dengan pernikahan, apalagi pernikahan kedua. Aku tidak mau membahas ini, tolong jangan bahas ini, karena aku tidak akan pernah mau, meski bunda dan semua orang menyuruhku untuk menikah lagi. Dengar baik-baik, Elin istriku tercinta, tidak akan ada lagi pernikahan, tidak ada rahim sewaan, tidak ada program bayi tabung, karena aku akan menunggu keajaiban datang pada rumah tangga kita. Aku yakin, kita pasti punya anak, suatu saat nanti. Jadi aku mohon, sekarang juga lupakan masalah anak sekarang, aku ingin hidupku dengan kamu tenang, Sayang,” jelas Rendra. Elin terdiam, mendengar penuturan suaminya. Dia tahu, suaminya tidak akan pernah mau menikah lagi meski dia memaksa sekali pun. Elin tidak ingin mengecewakan ibu mertuanya, hanya dengan cara menuruti perintah mertuanya itu, mungkin bisa membuat mereka bahagia. Elin tahu diri, kalau dirinya tidak sesempurna wanita lain, yang bisa memiliki anak. “Apa aku salah meminta suamiku menikah lagi? Toh itu permintaan orang tuanya. Meski aku menolak, suatu hari nanti, pasti semua akan terjadi,” gumam Elin. Rendra masih duduk di depan istrinya dan menyandarkan kepalanya di pangkuan Elin. Rendra sama sekali tidak ingin memenuhi keinginan bundanya, dia merahasiakan keinginan bundanya dari Elin, tapi malah Elin tahu semua apa yang bundanya inginkan. “Lin, jangan pernah menyuruhku menikah lagi. Please ... Aku tidak mau, Lin. Selamanya aku akan menolak itu, meski kamu memohon padaku berkali-kali,” ucap Rendra. Elin hanya diam tidak menjawab apa pun. Dia terus mengusap kepala suaminya yang masih berada di pangkuannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD