Pertemuan Bag 1

4791 Words
Hanna sedang berjalan dengan menggandeng tangan seorang pria—di sebuah taman bunga yang indah. Hanna tampak menawan. Mengenakan gaun berwarna putih. Senyum bahagia terukir di wajahnya. Berlarian mengitari taman. Hingga di detik selanjutnya, Sang Pria yang mengenakan kemeja putih tersebut melepaskan tangan Hanna. Berlari menjauh. Hanna hanya diam di posisinya. Mengernyit kemudian. Lalu, berjalan perlahan. Menyusul pria tersebut. Hingga sorot cahaya terang, membuat matanya silau. Ia menghentikan langkah. Mengerutkan mata. Meredam cahaya dengan telapak tangan, untuk mencari tahu cahaya apa yang ada di depannya. Suara berderum terdengar kemudian. Sorot cahaya itu perlahan mendekatinya. Sementara Hanna masih saja berdiri terpaku. Di tiap detiknya, cahaya itu semakin mendekati Hanna. Terbelalak mata Hanna. Melihat sorot cahaya itu berasal dari sebuah mobil hitam yang melaju cepat ke arahnya. Secara refleks Hanna memejam erat. Menyilangkan kedua tangan. Meringkuk. Hanna tersentak. Melebarkan mata dalam sekejap. Terbangun tiba-tiba. Nafasnya tersengal. Peluh membasahi dahi dan anak rambutnya. Perlahan ia duduk. Mengatur nafas. "Lagi-lagi mimpi itu," katanya dalam hati. "Sebenarnya, siapa laki-laki itu?Aku sangat yakin, itu bukan Hoon. Menyebut nama Hoon, ia ingat—jika suami tercintanya berada di sampingnya. Pemandangan yang jarang sekali ia nikmati. Hoon masih tidur. Membelakangi Hanna. Ia tersenyum. Lalu, kembali berbaring. Mendekat pada Hoon. Memeluknya. Membuat Hoon terbangun. Sedikit menggeliat. Menggenggam jemari Hanna. "Kau sudah bangun?" tanya Hoon, dengan suara parau. Hanna mengangguk di punggung Hoon. "Pukul berapa sekarang?" Hoon kembali bertanya. "Entahlah. Mengapa?" "Bukannya, kau ingin bersepeda pagi bersamaku?" "Ah, benar juga." Hanna menarik tangannya. Berguling ke samping satunya. Berdiri. Mendekati meja rias, yang berada di sisi kanan ranjang. Mengambil ponselnya. Mengetuk layar. Pukul 07.00 saat ini. Dan, lagi ada satu pesan dari seseorang bernama Rani. "Hanna! Kapan kau kembali? Kita semua merindukanmu!" Isi pesan tersebut. Hanna melirik ke arah Hoon, yang masih saja berbaring. Kemudian mengendap-endap keluar dari kamar. Pergi ke kamar mandi, yang berjarak 15 langkah dari kamarnya. Menelepon Sang pengirim pesan. "Selamat pagi, Ibu penerjemah tercantik kita!" Sapa wanita di seberang, sesaat setelah tersambung. "Hei, aku sudah bilang padamu. Jangan menghubungiku." "Suamimu sudah datang?" "Ya. Dan, juga aku baru tidak masuk 2 hari. Kenapa kau sudah bilang rindu padaku." "Di kantor seperti hutan belantara jika tak ada kau. Semua orang jadi tak menarik bagiku. Hanya kau yang se-frekuensi denganku. Cepat kirim kembali suamimu ke Korea." "Tidak! Aku masih sangat merindukannya. Kau tahu betapa sulitnya untuk bertemu dengannya." "Hmm.. Aku semakin penasaran seperti apa suamimu itu. Apakah dia setampan Joong Ki Song? Aktor yang terkenal itu." "Lebih dari Joong Ki." "Aku jadi ingin pergi ke rumahmu." "No! Jika kau kemari— maka dia akan tahu kalau aku selama ini bekerja." Sementara dalam kamar, Hoon mulai mengerjap. Menggeliat sesekali. "Hanna.. Kenapa kau diam? Pukul berapa sekarang?" tanya Hoon tetap dengan posisinya. "Hanna.." panggilnya lagi. Kini ia bangun. Menengok ke belakang. Mengernyit seketika. Setelah tak ada jawaban dari Hanna, Hoon membalik badan dan melihat sekitar. "Kemana dia?" gumamnya. Kemudian, Hoon beringsut turun dari ranjang dan keluar kamar untuk mencari Hanna. "HANNA! Hanna Jang!" Hoon berteriak memanggil Sang istri. Mengedarkan pandangan. Lalu, melihat pintu kamar mandi tertutup. Sementara, dari dalam kamar mandi, Hanna yang mendengar suara Hoon menjadi panik. "Hei dia mencariku. Nanti aku akan menghubungimu kembali." Hanna mengakhiri percakapan, kemudian keluar dari kamar mandi. Terkejut melihat Hoon berada di depan kamar mandi. "Aaah, kau membuatku kaget saja,” kata Hanna, memegang dadanya. Hoon menghela nafas. "Aku mencarimu sejak tadi." "Maaf, perutku tiba-tiba sakit." "Sakit sekali? Apa kita perlu ke Rumah sakit?" "Tidak. Hanya sedikit sakit. Nanti juga sembuh." Hanna berdalih, tersenyum kikuk. Di tanggapi Hoon dengan mengangguk. "Tapi.. Kenapa kau membawa ponselmu ke kamar mandi?" Hoon menunjuk ponsel yang digenggam Hanna. "Oh? Ini? Sudah menjadi kebiasaanku jika ke kamar mandi membawa ponsel untuk mendengarkan musik." Sekali lagi Hanna berdalih. Senyum canggung kembali di lakukannya. "Sungguh? Kau tak sedang bermain sosmed, kan?" "Tidak," jawab Hanna, melambaikan kedua tangan dengan cepat. Hoon memandang Hanna lamat-lamat. Kedua tangannya memegang pundak Hanna kemudian. "Hanna.. aku hanya tak ingin hatimu sakit—saat melihatku dan para penggemarku. Aku tak ingin ada kesalahpahaman di antara kita. Jadi, lebih baik kau tak usah bermain sosmed atau melihat tayangan televisi yang tidak jelas. Kau mengerti?" "Tentu. Aku tahu itu." "Kalau begitu, ayo kita pergi." "Kemana?" "Olahraga." Dijawab anggukan dan senyuman oleh Hanna. Sebenarnya, Hanna sudah bekerja— sejak 7 bulan yang lalu. Bukan karena ia ingin mencari uang. Tapi, karena Hanna merasa bosan di rumah seorang diri, selama Hoon tak ada. Ia ingin membunuh waktu yang kebanyakan di gunakannya untuk melamun. Hanna bekerja sebagai penerjemah di salah satu perusahaan. Dia mendapatkan lowongan pekerjaan tersebut ketika membaca koran pagi. Dengan modal percaya diri dan keberanian—Hanna pergi menggunakan jasa taksi ke perusahaan tersebut. Tak sia-sia, Hanna belajar bahasa Indonesia— dari kamus yang dibelikan oleh Ji Woon. Sehingga, ia tak kesulitan berkomunikasi dengan beberapa orang lokal yang ia temui. Setelah, melalui beberapa tes dan wawancara— Hanna pun di terima dalam perusahaan tersebut. Dengan tak memiliki pengalaman kerja apa pun, Hanna diberi jabatan yang lumayan berpengaruh untuk kinerja perusahaan. Karena memang perusahaan tersebut sedang mencari orang yang lancar berbahasa Korea. Dan, tentunya itu seperti menjentikkan jari. Hanna tak perlu mempelajari bahasanya sendiri. Juga, ia sangat mudah mendapatkan beberapa teman di kantor. Adalah Rani salah satunya. Beruntungnya, Rani juga mahir berbahasa Korea. Sehingga, mereka tak kesulitan dalam hal berkomunikasi. *** Jae Kyung sedang berada di dalam pesawat. Duduk di dekat jendela. Dsn, menikmati pemandangan yang tak biasa. Bentangan awan putih menghiasi langit. Sebagian lagi berwarna biru—tak berawan. Sejak tadi, ia hanya melamun. Sementara, Dong Hoo yang duduk di sampingnya— sedari tadi memperhatikan Sang Bos— pria yang telah ia temani selama 3 tahun ini. Sedikit banyak Dong Hoo bisa mengetahui semua yang dirasakan oleh Jae Kyung. Semua kesedihan yang tak diketahui orang lain. Dong Hoo mengetahuinya dengan baik. "Apa anda tidak ingin makan sesuatu? Sejak kemarin malam— Anda tidak makan apa pun." "Aku tidak lapar. Lebih baik kau yang makan. Jangan sampai kau jatuh sakit. Aaah, bagaimana dengan nona Hyo Joo kemarin?" "Ki-kita hanya makan,” Dong Hoo mendadak gugup. “Kenapa Anda melakukan itu?" lanjutnya. "Aku sudah bilang, kan? Aku akan membantumu. Kau sudah bekerja bekerja keras beberapa tahun belakangan. Sampai kau tak ada kesempatan untuk pacaran. "Aku baik-baik saja. Aku mohon, jangan melakukan hal itu lagi." "Hehe. Iya, maaf.” Jae Kyung menyunggingkan senyum. Sekitar 3 tahun lebih— Dong Hoo menjadi sekretaris Jae Kyung. Semua berawal, ketika Jae Kyung berjalan seorang diri dengan tingkat kesadaran rendah. Ia menenggak 3 botol minuman ker*s seorang diri. Saat itu, Jae Kyung tengah depresi karena tunangannya menghilang. Pukul 00.31 pada waktu itu. Ia berjalan terhuyung dengan meracau. Kadang tertawa sendiri. Kadang marah. Karena jalannya yang sempoyongan—ia tak sengaja menabrak pemuda yang berjalan berlawanan arah dengannya. Berjalan dengan teman 1 gengnya. Segera ia membungkuk dan meminta maaf. Lalu, berjalan kembali. Merasa belum puas, pemuda itu menghalangi langkah Jae Kyung. Melihat kondisi Jae Kyung saat itu, ia dan 4 orang temannya berniat untuk merampoknya. Asesoris yang di kenakan Jae Kyung sangat mencolok. Sepatu Kine yang nilainya jutaan. Jam tangan bolex berharga ratusan juga. Juga topi abibas yang tak kalah mahalnya. “Hoi.. Tidak semudah itu kau pergi setelah menabrakku.” “Aku sudah bilang maaf, kan?” katanya dengan pengucapan yang cadel. Matanya sayu. Pipinya semu. “Kau harus membayarnya Tuan?” “Apa? Kau gila? Sana minggir. Aku mau pergi.” Jae Kyung kembali berjalan. Masih sempoyongan. Dan, pemuda itu kembali menghalangi langkahnya. Sementara 2 teman yang lain menyeret Jae Kyung. Di bawanya ke gang gelap. Di situ jam tangan—serta barang berharga milik Jae Kyung di lucuti oleh mereka. Tak terkecuali dompet yang berisi kartu-kartu berharga. “Waaah.. Sepertinya dia orang kaya. Lihat kartu-kartu ini.” “Hei, apa gunanya kartu sebanyak ini? Kita tak bisa menggunakannya.” “Karena itu.. Kembalikan,” kata Dong Hoo yang ikut campur dengan tiba-tiba. Dong Hoo baru saja pulang untuk mencari pekerjaan. Dan, tak sengaja melewati gang yang di mana ada Jae Kyung di situ. “Siapa kau?” kata pemuda berkaus merah—yang bertabrakan dengan Jae Kyung. “Aku Dong Hoo Baek. Anak dari So Hoo Baek dan Rumi Lee. Aku anak ketiga dari lima bersaudara. Kakak pertamaku laki-laki. Dia sudah menikah dan tinggal di Pulau Jeju. Kakak keduaku perempuan. Dia pengangguran dan hobinya mabuk-mabukan. Ketiga—aku. Juga seorang pengangguran yang sedang mencari pekerjaan. Ketiga, ke empat dan kelima adalah kembar. Mereka berusia 10 tahun. Dan, masih SD.” “Hei.. Dia gila sepertinya,” bisik pemuda yang berkaus hitam. “Aku tidak gila. Bukannya, kau bertanya tadi? Siapa aku.” Pemuda berkaus merah mendesis kesal. “Lebih baik kau pergi sekarang.” “Tidak, sebelum kau melepaskan pria itu.” “Apa urusanmu?” “Tidak ada urusan denganku. Tapi, aku tidak suka dengan sekelompok pemuda banc* yang suka merampas milik orang lain!” “APA?! KAU BILANG KAMI BANC*?” “Yup! B-A-N-C-I.” Setelahnya, mereka menyerang Dong Hoo. Namun, malam itu malam yang naas bagi pemuda-pemuda tersebut. Dong Hoo yang suka belajar bela diri sungguh tak terkalahkan. Kemudian, ia membawa Jae Kyung ke rumahnya. Karena Jae Kyung sudah tak sadarkan diri dan tak mungkin ia meninggalkan pria mabuk itu sendirian. ** "Pak, saya ingin menanyakan sesuatu pada Anda." "Apa?" "Apakah.. alasan Anda ingin memasarkan parfum ini ke Indonesia adalah untuk mencari dia?" Perlahan Jae Kyung menengok ke arah Dong Hoo. Sejenak menatap Dong Hoo. Kemudian tersenyum. "Setidaknya aku ingin mencoba." Dong Hoo menghela napas panjang. "Pak.. kita sudah mencarinya ke seluruh Negara tapi hasilnya nihil. Kita juga pernah pergi Ke Indonesia. Tapi, dia tak ada di sana. Kenapa tidak kita hentikan semua ini?" "Kita harus menyelesaikan apa yang kita mulai. Kau tahu, kan? Aku bukan tipe orang yang melakukan pekerjaan hanya setengah-setengah.” Jae Kyung kembali menatap langit dari balik jendela. Di mainkan jarinya di kaca jendela. "Saat aku berada di langit. Aku ingin sekali berteriak sekeras mungkin. Mungkin saja kau bisa mendengarku. Aku sangat yakin kau sedang berada di suatu tempat. Menungguku. Menjemputmu." Sementara di belahan bumi yang lain— Hanna, Hoon, serta Ji Woon sedang bersepeda pagi di taman kota. Mereka berlomba dengan menaiki sepeda. Hoon tertawa girang. Ekspresi yang tak dapat ditunjukkan— ketika Hanna tak ada di sampingnya. Saat ini Hoon dan Ji Woon tengah mengayuh sepeda dengan kencang. Sedangkan, Hanna menepi dengan napas tersengal-sengal. Keringat membasahi wajahnya. Hoon menoleh ke arahnya, kemudian memutar kemudi. Dia tersenyum melihat Hanna kelelahan. "Selama tidak ada aku, kau pasti tak pernah berolahraga?" kata Hoon, menghentikan sepedanya di sebelah Hanna. Hanna melirik dan mencibirnya. "Hei, kau memang seorang Atlet. Bagaimana bisa aku menandingimu,” jawabnya. “Aku lelah, kita berhenti sejenak. Dia memakirkan sepeda di tempat parkir yang sudah tersedia. Lalu, berjalan ke tengah taman— mengikat rambutnya menjadi satu. Merebahkan diri di atas rerumputan. Menghirup oksigen dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. "Aaaah.. nyaman sekali," gumamnya, memandang langit yang sedang cerah tanpa cela. "Apa yang kau lakukan? Cepat bangun," pinta Hoon, berdiri di samping Hanna. Berkacak pinggang. Hanna mengerutkan bibir. Duduk. Lalu, menyilangkan kakinya yang di tekuk. "Kenapa? Sudah lama aku tak melihat pemandangan seperti ini." Hoon menghela napas panjang. "Aku akan membelikanmu minuman. Tunggu di sini,” kata Hoon. Hanna mengangguk. Dia memandang Hoon yang punggungnya semakin menjauh. Tak lama kemudian, Ji Woon berlari, mendekati Hanna. Dia berbaring di samping Hanna, dengan napas tersengal. Sementara, Hanna tetap memandang Hoon yang semakin terlihat samar. “Haaaah.. Udara di sini panas sekali, ya?” "Dia.. sangat mencintaiku, bukan?" kata Hanna. Ji Woon mengerutkan kening. Duduk. "Siapa maksudmu? Aku?” Hanna mendesis. "Hoon. Aku merasakan cintanya begitu besar untukku." "Tentu saja. Dia melakukan apa pun untukmu,” jawab Ji Woon. “Tapi, Hanna.. apa kau benar tak ingat kejadian pada waktu itu?" Hanna menoleh ke arah Ji Woon. "Kejadian apa?" "Waktu kau mengalami kecelakaan. Apa kau tak ingat siapa yang menabrakmu?" "Tidak,” tegasnya. Kemudian kembali mendesis. “Tapi.. terkadang aku bermimpi ada seorang laki-laki yang menghampiriku. Lalu, berakhir dengan datangnya sebuah mobil yang akan menabrakku. Aku yakin.. Itu adalah laki-laki yang sama—yang selalu hadir di mimpiku.” "Laki-laki?" "Ya, seorang laki-laki yang selalu menggenggam tanganku, kemana pun ia pergi." "Siapa dia?" Hanna menggidikkan bahu. "Entahlah. Perasaanku mengatakan.. Jika itu bukan Hoon. Apa menurutmu begitu?” Ji Woon terhenyak. Berdeham gugup selanjutnya. "Tentu saja, itu Hoon. Siapa lagi? Kalian adalah pasangan Suami-Istri yang sangat sempurna. Tak mungkin ada orang lain lagi.” Hanna mengangguk samar. Mengiakan perkataan Ji Woon. *** Pukul 21.00. Jae Kyung baru saja tiba di rumah yang telah disiapkan oleh Dong Hoo. Dia meletakkan koper di ruang tamu. Ia mengedarkan pandangan. Menelisik seisi rumah. "Anda menyukainya?" tanya Dong Hoo. Berdiri di sebelah Si Bos. "Well, tak buruk juga. Di mana kamarku?" "Di lantai 2. Kamar paling ujung. "Baik." Jae Kyung menyeret koper dan berjalan. "Pak, biarkan saya yang membawa kopermu.” "Tidak usah. Kau pasti juga lelah. Beristirahatlah,” tolak Jae Kyung. “Dan, juga.” Dia berbalik dengan telunjuk menunjuk ke atas. “Jangan panggil aku “Pak”. Panggil kakak atau sekalian panggil namaku. Kau, kan temanku? Lagi pula, di sini tak ada Ibu. Santai saja.” Jae Kyung kembali berjalan menuju kamarnya. Kamar Jae Kyung memiliki jendela yang cukup besar—2 kali pintu kamarnya. Sehingga, ia dapat melihat halaman belakang rumahnya—yang memiliki kolam renang. Dan, juga dapat melihat halaman belakang rumah tetangga sebelah rumahnya. Jae Kyung suka pemandangan hijau segar. Hatinya merasa nyaman saat melihat pepohonan berwarna hijau saling berdiri rapi bersebelahan. Oleh sebab itu, Dong Hoo menanam beberapa pohon di halaman belakang rumah. Juga, beberapa tanaman di halaman depan. Sehingga membuat rumah menjadi asri dan rindang. Dia membongkar koper dan merapikan bajunya dalam lemari. Sejenak ia terdiam— melihat dalam koper. Saat bajunya sudah terangkat semua. Tinggal satu yang berada di dalamnya. Sebuah bingkai foto dirinya bersama seorang perempuan. Dia memandang foto itu untuk sesaat. Kemudian tersenyum dan meletakkannya di nakas samping ranjang. Sejenak diam. Dan, kembali menyentuh bingkai tersebut. Kemudian, ia letakkan pada laci nakas yang paling bawah. Setelahnya, ia melenggang santai—menuju jendela dan melipat tangan di d**a. Matanya memandang langit yang gelap dengan gemerlap bintang yang tersebar sempurna. Helaan napas panjang di lakukan olehnya. "Aku.. berharap akan segera menemukanmu." Sementara, Hoon sedang berada di halaman belakang rumahnya saat ini. Sedang berbicara di telepon dengan seseorang. "Aku sudah mengatakan padamu! Aku tak akan melakukan hal bodoh seperti itu! Dan juga, ini adalah hari liburku!" seru Hoon. "Jika kau tak kembali ke Korea besok pagi— aku akan memutuskan kontrak denganmu! Kau tahu itu!" "Pak! Apa kau tidak keterlaluan? Aku sudah memenangkan semua pertandingan untukmu. Dan kita sudah membuat kesepakatan jika aku akan cuti selama 7 hari,” jelas Hoon. “Kalau kau ingin memutuskan kontrak denganku. Lakukan saja." "Aku tak mau banyak bicara! Besok kau harus kembali ke Korea! Jika tidak, aku akan membeberkan rahasiamu tentang wanita itu— pada semua media!" Pria di seberang telepon pun, memutus pembicaraan. Hoon memejamkan mata kesal serta meremas rambutnya. Satu tangan yang lain berkacak pinggang dengan ponsel yang masih di genggamnya. Tak sadar, jika Hanna sejak tadi berdiri di belakangnya. Dan, tak sengaja mendengarkan percakapan tersebut. Selama 3 tahun mereka menjalin hubungan—memang tak ada satu p1un yang mengetahui hal tersebut. Hanya Ji Woon dan Direktur dari agensinya— yang mengetahui hubungan mereka. Alasannya adalah, Hoon tak ingin kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik. Oleh sebab itu—ia menyembunyikan Hanna di Indonesia. Dan, satu-satunya keluarga yang dimiliki Hanna hanya Hoon. Sejak kecil, Hanna tumbuh di panti asuhan. Ayah—dan Ibunya entah menghilang kemana. Dia hanya di letakkan di depan panti dengan kardus dan selimut seadanya. Hanna tersenyum kecil, lalu mendekati Hoon. Meletakkan secangkir teh di atas meja, tak jauh dari tempat Hoon berdiri. "Apa yang kau lakukan disini?" tanya Hanna. Hoon memutar badannya. "Hanna.. sejak kapan kau di sini?" "Baru saja." Hoon mengangguk samar. Kegelisahan tampak di wajahnya. "Ada.. sesuatu yang terjadi?" "Huh? Ti-tidak," dalih Hoon, tersenyum kikuk. Hanna merentangkan tangannya dan tersenyum. "Kemari," kata Hanna. Hoon berjalan mendekati Hanna dan mendarat di pelukannya. "Kau tahu.. Hanya pelukanmu yang mampu menenangkanku. Aku mencintaimu Hanna,” bisik Hoon. "Aku juga. Sangat." Jae Kyung yang tak sengaja melihat mereka berdua dari atas kamarnya, tersenyum getir. "Beruntung sekali pasangan itu,” ucapnya. Tanpa ia ketahui, pria tersebut adalah Hoon—saudara tirinya. ** Pukul 23.11. Hoon masih tak dapat terpejam. Ia sedang berada di ruang TV. Memutar sebuah film, namun pandangannya nanar. Masih memikirkan perkataan dari Direkturnya tadi. Pekerjaan Hoon tak hanya menjadi seorang Atlet. Dulu.. Ia sempat menjadi pemeran utama di beberapa film laga. Juga membintangi beberapa iklan. Tapi ia akan menolak, jika akan di gandengkan qdengan artis lawan jenis. Karena dia mengawali karirnya dengan menjadi seorang Atlet—maka ia dikenal sebagai Atlet UFC. Dia juga berhenti membintangi iklan, semenjak menjalin hubungan dengan Hanna. Hoon berada di bawah naungan Star Agency. Dan telah mengikat kontrak untuk 5 tahun ke depan. Namu, ia sama sekali tidak takut jika mereka memutuskan kontrak dengannya. Yang ia takutkan adalah—hubungannya dengan Hanna terekspos. Bola matanya berputar pelan serta mengembuskan napas berat. Hanna yang baru saja keluar dari kamar mandi, melihat itu. Dia mendekati Hoon dan duduk di sampingnya. Meraih sekaleng bir dan meneguknya. "Pergilah,” ucap Hanna. "Huh?" "Aku bilang—pergilah. Kembalilah ke Seoul." "Kenapa kau tiba-tiba bicara begitu?" "Aku mendengar.. percakapanmu dengan seseorang di telepon." "Hanna-" "Hari ini juga bukan yang terakhir untuk kita bertemu. Selesaikan pekerjaanmu, lalu kembalilah padaku." "Tidak. Aku sudah berjanji untuk menemanimu 7 hari ke depan.” "Oppa, kau memulai karir ini sebelum bersamaku. Aku tak ingin karir mu hancur karena aku. Bukankah seorang istri harus mendukung suaminya untuk sukses?" Hanna tersenyum manis. Hoon menarik tangan Hanna, dan memeluknya. "Aku tak pernah menyesal memilihmu, Hanna. Bahkan di kehidupan selanjutnya aku akan tetap memilihmu. Kau wanita yang baik." ** Keesokan harinya, Hoon sedang bersiap-siap untuk kembali ke Korea. Mengenakan jaket kulit berwarna hitam serta melingkarkan headphone di lehernya. Hoon suka mendengarkan musik. Jika ia jauh dari Hanna—maka yang dapat menenangkannya adalah alunan sebuah musik. Hanna masih berbaring di atas ranjang. Dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Hoon memandangnya untuk sesaat. Lalu, dia naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Hanna. Memeluk Hanna dari belakang. "Sudah waktunya untuk pergi?" tanya Hanna. "Iya. kau tak ingin mengantarku sampai depan?" "Kau tahu, kan? aku tidak suka mengucapkan selamat tinggal padamu. Hanya membuatku sedih,” jawab Hanna, tetap memejamkan mata. "Maafkan aku. Tak bisa menepati janjiku.” "Jangan khawatir. Cepat pergi— sebelum aku berubah pikiran." "Kau harus berjanji satu hal padaku," cetus Hoon. "Apa?" "Pelukan hangatmu ini—hanya untukku seorang. Selamanya," Bisik Hoon, kemudian mengecup singkat pipi Hanna. "Aku mencintaimu, Hanna," lanjutnya. Lalu, ia beringsut turun dari ranjang. Hanna tetap memejamkan mata. Hingga pada akhirnya dia mendengar suara pintu menutup. Perlahan ia membuka mata. Dan mengembuskan nafas berat. Duduk di atas ranjang. Kepalanya berputar—menelusuri kamarnya. "Sepi lagi,” gumamnya. Hanna turun dari ranjang, mengambil cardigan yang terselempang di kursi tak jauh dari ranjang— lalu pergi ke halaman belakang. Dia melipat tangan di d**a— dan menghirup udara segar di kala subuh. Langit masih sedikit gelap dengan biasa cahaya mentari yang masih sayup-sayup. Dan, baru muncul sebagian di permukaan langit. Daun-daun melambai pelan— seakan mengajak Hanna menari agar melupakan kesedihannya. "Baiklah. Kembali ke rutinitas! Semangat!" Hanna memberi semangat untuk dirinya sendiri. Kemudian ia memutar haluan. Saat akan melangkah, tak sengaja ia mendongak dan melihat jendela tetangga sebelahnya. Melihat tetangga barunya yang menekan perut dengan membungkuk. Kernyitan di dahi Hanna nampak. "Dia tetangga baru? Sepertinya dia sedang sakit." Jae Kyung yang merasakan sakit sejak tadi hanya mampu mendesis. Semakin menekan perutnya yang sakitnya terus bertambah. Semakin membungkuk dan.. Akhirnya Jae Kyung jatuh pingsan. Hanna terkesiap. Menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Aduh! Dia pingsan!” Tanpa berpikir panjang lagi, Hanna segera berlari menuju rumah tersebut. Beruntungnya pagar tidak terkunci. Dia bergegas masuk dan mengetuk pintu. "Permisi. Permisi. Ada orang di dalam? Permisi!" Hanna terus mengulang perkataannya dan mengetuk pintu. Namun, tak ada jawaban dari dalam. "Apa dia sendirian di rumah? Aduh.. Bagaimana ini!" Hanna mulai panik bercampur kesal. Dia mencoba memutar knop dan pintu pun terbuka. "Aaaah.. Syukurlah, pintunya tidak terkunci.” Hanna masuk dan mengedarkan pandangan. "Apa ada orang?" katanya. "Sepertinya dia tinggal sendirian di sini," lanjutnya. Kemudian ia pergi ke lantai 2. Dan, berhenti di depan tangga. Melihat 3 pintu yang berjejer agak berjauhan. "Jika aku dapat melihatnya dari halaman belakang, kemungkinan kamarnya berada di sudut." Intuisi Hanna mengajaknya untuk belok ke kanan. Dan, masuk ke kamar paling ujung. Melihat Jae Kyung sudah tergeletak tak sadarkan diri. Ia berlari mendekati Jae Kyung. Dan, menggoyangkan tubuhnya. "Hei bangun. Ada apa denganmu? Bangunlah!" Tapi Jae Kyung tak merespon. Tubuhnya berkeringat dingin. Mengerang lirih. Seolah menahan sakit. “Suhu udara di kamarnya bagus. Tapi, ia berkeringat dingin,” gumam Hanna. Lalu, ia teringat saat melihat Jae Kyung kesakitan memegang perutnya. "Apa mungkin..” Hanna kembali menatap Jae Kyung. Di detik selanjutnya, ia mencoba menekan perut bagian atas dekat ulu hati. Jae Kyung merintih kesakitan, saat Hanna memegangnya. "Benar.. Asam lambungnya meningkat,” ucap Hanna. Lantas Hanna berusaha mengangkat tubuh Jae Kyung—yang jelas tak mampu ia lakukan. Pada akhirnya, Hanna menyeret tubuh Jae Kyung hingga mencapai ranjang. Dengan sekuat tenaga, Hanna mencoba mengangkatnya kembali dan merebahkannya di atas ranjang. Sejenak Hanna mengambil napas. Tersengal tak karuan. Di dalam ruangan ber-AC dia berkeringat lelah. Kepalanya bergerak sana-sini. Mengedarkan pandangan. “Dimana ya.. Kotak obatnya?” gumamnya. Di telusuri oleh Hanna, hingga lantai bawah. Tapi, tak di temukan olehnya. "Rumah sebesar ini— tak ada obat sama sekali? ck, menyedihkan." Lalu dia menuju ke dapur. Karena tidak menemukan obat, Hanna akhirnya membuatkan bubur untuk Jae Kyung dengan bahan seadanya. Dia juga membuatkan teh hangat untuk Jae Kyung. Setelah mempersiapkan segalanya, Hanna meletakkan semangkuk bubur dan segelas teh di atas nampan dan kembali ke kamar Jae Kyung. Sementara, Jae Kyung masih tak sadarkan diri. Hanna meletakkan nampan di nakas samping ranjang. Lalu, membuka laci paling atas. Untuk mencari kertas. Di temukan sebuah buku catatan dan pena. Juga, menemukan sebuah kotak kecil berwarna biru dengan ukiran bunga. Hanna mengerutkan dahi ke atas. Memegang kotak tersebut. Tiba-tiba, telinganya berdenging. Kepalanya terasa sangat sakit dan muncul sepotong kejadian di otaknya. Kedua matanya mengerut, menahan sakit. Dan perlahan rasa sakit itu menghilang. Napas Hanna tersengal. Semburat otot halus merah menjalar di bola matanya. “Ingatan apa itu tadi?" gumamnya. Ia menggelengkan kepala untuk menyadarkan dirinya sendiri. Kemudian, melihat jam dinding di tembok seberang. Hanna terkesiap. Menutup mulutnya dengan tangan. "Astaga! Sudah pukul 07.30. Aku bisa telat pergi ke kantor." Hanna dengan cepat menuliskan surat pendek untuk Jae Kyung dan menaruhnya di bawah mangkuk. Jae Kyung perlahan membuka mata, bersamaan dengan Hanna berjalan pergi. "Kau.. siapa?" ucap Jae Kyung, dengan suara parau. Sejenak Hanna berhenti dan menoleh pada Jae Kyung. "Oh? Kau warga Korea? Maaf, Aku sedang terburu-buru. Lain waktu kita berkenalan. Jangan lupa makan buburmu. Aku pergi." Hanna kembali berjalan keluar dari kamar. Sedangkan, Jae Kyung mengerutkan kedua matanya. "Mina?" katanya. Kemudian kembali berbaring, karena tubuhnya terlalu lemas. 30 menit kemudian, Dong Hoo kembali ke rumah. Dia baru saja pulang dari lari pagi. Mengenakan sepatu olahraga berwarna hitam serta celana panjang dan jaket olahraga. Dari pekarangan depan, dia melihat pintu depan terbuka. Sekejap, ia melebarkan mata dan berlari masuk ke dalam rumah. "Pak Jae Kyung! Pak Jae Kyung!" teriaknya. Kembali berlari menuju kamar Jae Kyung. Dan, Sang pemilik kamar sudah sadar. duduk di atas ranjang. Memegang surat yang ditinggalkan oleh Hanna. "Pak! Anda baik-baik saja?" "Ya." Dong Hoo melihat semangkuk bubur dan kembali menatap Jae Kyung. "Anda yang membuat itu?" "Tidak." Jae Kyung menyerahkan kertas yang ia pegang pada Dong Hoo. "Aku membuatkanmu bubur. Makanlah selagi hangat. Dan, belilah obat! Bagaimana bisa rumah sebesar ini tak memiliki kotak obat! Dan juga, jangan biarkan perutmu kosong! Jika perutmu terasa sakit, kau harus minum teh panas. Lalu, pergi ke Rumah sakit! Tetanggamu. Hanna." "Hanna? Apa dia orang Korea? Dia menulis dengan huruf hangeul," tanya Dong Hoo. Hanna terkadang lupa. Jika, ia sedang tidak berada di Negaranya. "Entahlah. Saat aku terbangun dia tidak ada." Sejak tadi, Jae Kyung seperti orang yang habis menyadari sesuatu hal. "Maafkan saya. Saya tadi pergi berolahraga." "Tidak. Ini bukan salahmu. Ini karena makanku tidak teratur." "Apa Anda ingin saya buatkan roti lapis?" Jae Kyung menggeleng. "Aku akan makan bubur ini." "Baik." "Dong Hoo.." "Ya, Pak?" "Aku.. melihat Mina tadi. Dia bicara padaku." Dong Hoo terkejut. "Di-dimana Anda melihatnya?" "Di kamar ini. Saat aku tak sadarkan diri." Dong Hoo menghela napas pendek. "Pak.. itu hanya halusinasi Anda. Jika dia berada di sini—saya juga akan melihatnya." "Kau benar juga." "Jangan terlalu memikirkan hal itu. Akan memperburuk kondisi Anda. Saya akan memberitahu Kantor— jika rapat ditunda." "Tidak. Aku akan pergi hari ini." "Pak-" "Aku baik-baik saja. Kau bersiap-siaplah. Aku akan menghabiskan bubur ini." “Anda yakin tak ingin saya buatkan roti lapis?” “Iya.” Dong Hoo menjawab dengan anggukan. Kemudian keluar. Sementara, pandangan Jae Kyung masih nanar. Memikirkan hal itu. "Benarkah itu hanya halusinasi saja?" Jae Kyung mengembuskan napas panjang dan menoleh ke samping. Mengambil sesendok bubur dan memakannya. Seketika itu hidungnya berkerut. "Aaah, asin!" cetusnya. Kemudian dia beralih meneguk teh. Sekali lagi hidungnya berkerut dan membuka mulut mungilnya lebar-lebar. "Aaaah. Ini terlalu manis!" katanya. “Do-dong Hoo.. Apa tawaran roti lapismu masih berlaku?” ** Hanna baru saja tiba di kantor. Berjalan gontai di lobi kantor. Sesekali memukul-mukul bahunya. "Karena pria itu— pagiku jadi melelahkan,” keluhnya. “Tapi.. Kebetulan sekali, tetanggaku satu Negara denganku. Senang sekali rasanya. Nanti, aku akan menjenguknya lagi. Mungkin saja, kita bisa jadi teman.” "HANNA! Kau masuk hari ini?" Seorang perempuan dengan antusias menyapanya. Menepuk punggung Hanna yang sedang ngilu. Sekejap Hanna menggeliat. Menengok ke samping. "Rani! Kau tidak bisa bersikap yang lebih lembut lagi?! Sakit!" pungkas Hanna, mendesis. Meraba punggungnya. Rani. Usianya sama dengan Hanna. 27 tahun. Berambut lurus—panjang sepunggung. Hitam legam. Mata cokelat hampir ke hitam khas warga Indonesia. Senyumnya manis. Satu lesung pipi yang memanjang di pipi kanannya. Mahir bicara dalam 3 bahasa. Bahasa Indonesia. Inggris. Dan, Korea. Anak pertama dari 3 bersaudara. Di Jakarta tinggal bersama Ibu dan saudaranya. Sementara, Ayahnya yang tempramental pergi bersama wanita lain. Hingga, Rani menjadi tulang punggung keluarga. Dan.. Ia menjadi sekretaris Direktur pemasaran di kantor ini. "Hei, tumben sekali kau terlihat lemah. Sedang tidak enak badan?” "Tidak. Hanya saja pagiku sangat berat hari ini." "Kenapa? Apa Suamimu membantingmu?" ejek Rani. Hanna melirik dan mendecak kesal. "Bukan begitu. Aku membantu seseorang yang pingsan tadi pagi." "Siapa?" "Ada. Seseorang. Tetangga baruku." Rani mengangguk mengerti. "Eh, bukannya kau cuti 7 hari? Kenapa hari ini masuk?" "Suamiku kembali ke Korea pagi ini." "Kenapa? Kau mengusirnya? Karenaku?" Rani melebarkan matanya. Mengedip manja. "Ck. Tentu saja tidak. Dia ada pekerjaan mendadak. Jadi, mau tidak mau harus kembali.” Rani mendesis. Sembari memicingkan mata. "Aku semakin penasaran. Sebenarnya, apa pekerjaan suamimu? Kenapa kau merahasiakannya. Apa.. dia seorang agen rahasia?" "Haha. Kau ini terlalu sering menonton drama!" "Ck, aku, kan hanya menebak." Keduanya terus berjalan sambil mengobrol. Di detik selanjutnya, Rani menghentikan langkah. Menepuk tangannya sekali. Mengingat sesuatu. "Ah, iya! Hari ini kita akan sangat sibuk. Direktur dari Korea Selatan akan datang hari ini." "Sungguh?" "Yup! Kita harus cepat pergi ke ruang rapat untuk mempersiapkan semuanya.” ** Rani dan Hanna saat ini berada di ruang rapat. Mereka mempersiapkan produk, juga beberapa berkas yang tersusun rapi dalam map bening. Bahan untuk rapat hari ini. Beberapa botol parfum dan sampelnya tertata di tengah meja berwarna putih, berbentuk oval. Sebuah layar proyektor tampak tertempel di dinding, dari kursi Direktur lurus di depannya. Hanna mengambil sebuah botol parfum, lalu menyemprotkannya di pergelangan tangan. Rani yang melihatnya, segera mendekati dan memukul lengan Hanna. "Apa yang kau lakukan?! Direktur akan segera datang." "Jangan khawatir. Aku hanya ingin mencium baunya,” cetus Hanna, mengendus pergelangan tangannya. Sekejap melebarkan mata. "Hei.. Parfum ini.. seperti parfum milikku!" "Sungguh? Jangan bercanda!" "Sungguh. Dulu, aku selalu membuat parfumku sendiri. Aroma Rose dan Cedarwood!” Rani merampas botol parfum tersebut. Membaca keterangannya. Belum tertulis nama bahannya. Rani menyunggingkan senyum. "Hei.. Hanna. Apa mungkin ingatanmu sedikit demi sedikit kembali? Kau baru saja mengingat sedikit masa lalumu. Bukan begitu?” Sejenak Hanna berpikir. Bola matanya berputar. "Kau benar. Kenapa tiba-tiba aku mengingatnya?” “Coba kau hirup lagi aromanya. Mungkin, kau bisa mengingat yang lain lagi.” Di setujui oleh Hanna. Ia kembali mengendus botol parfum. Di saat bersamaan pintu kaca terdorong masuk. “Bukannya itu sampel parfum kita? Kalian tidak boleh memakainya,” tegur Dong Hoo. Rani dan Hanna meluruskan punggung. Menegang seketika. Memutar kaki dengan gugup. Lalu, membungkuk. Dari bahasanya, jelas pasti Sang Direktur datang. Pikir Rani. "M-maaf, kami hanya mempersiapkan bahan-bahan untuk rapat,” kata Hanna, masih memegang botol. Jae Kyung menatap Hanna, lalu terhenyak. Membelalakkan mata. Bibirnya bergetar. "M-mina?" Mendengar nama itu, Hanna mengangkat kepalanya— memandang Jae Kyung. Ekspresi yang sama ditunjukkan Hanna. "Kau?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD