Bunga Mawar Putih

1039 Words
Suasana kota Jakarta benar-benar padat pagi ini. Tak ayal, kota ini terkenal dengan kemacetan lalu lintas terburuk di Indonesia. Jumlah populasi penduduk, merupakan faktor utama dalam kemacetan kota. Setiap tahun, populasi manusia terus berkembang di kota ini. Banyak yang mengadu nasib dengan pergi ke kota ini. Ada beberapa yang berhasil menjadi sukses, tetapi ada juga beberapa yang gagal dan tidak bisa kembali ke kampung halamannya. Akibatnya, mereka hidup di bawah jembatan atau tinggal dengan masyarakat lainnya di daerah kumuh. Beda cerita lagi di daerah elite yang bernama BSD. Seorang wanita yang memiliki tubuh kecil, wajah cantik, rambut panjang dan bergelombang kecil—tinggal di salah satu rumah mewah. Adalah Hanna Jang. Hanna sudah berada di Indonesia sejak dua tahun yang lalu. Dan rumah yang ia tinggali saat ini adalah dari Hoon, suaminya. Hoon sangat mencintai Hanna Rumah ini di rancang khusus untuk Hanna. Mulai dari depan rumah. Pagar yang berdiri tinggi, putih dan minimalis. Dan di balik pagar, terdapat taman di sebelah kiri. Mawar, kaktus dan bahkan dandelion tertanam rapi di situ. Hanna sangat menyukai bunga. Dia menghabiskan waktunya untuk merawat bunga-bunga yang di tanamnya. Lalu, di sudut halaman, terdapat garasi mobil. Di dalamnya, ada dua mobil dan tiga sepeda mini saling berdampingan. Sayangnya, debu dan sarang laba-laba menghiasi semua kendaraan itu. Hanna tidak pernah mengendarainya. Bahkan, dia tidak pernah meninggalkan rumah, jika Hoon tidak ada. Sementara, di kamar Hanna, terpasang beberapa foto pernikahan dirinya dengan Hoon pada tembok. Hanna duduk dengan memiringkan posisi, mengenakan gaun pengantin berlengan pendek. Sedangkan, Hoon berada di sampingnya. Lengkap dengan tuksedonya. Hanna berdiri membawa bunga, sementara Hoon melingkarkan tangan pada pinggang Hanna. Dan, beberapa pose yang lain. Juga foto dalam bingkai duduk, di nakas, samping tempat tidur. Hanna berada di dapur saat ini. Memasak untuk dirinya sendiri. Hanna tidak memiliki asisten rumah tangga. Dia berpikir, masih masih mampu melakukan semua sendirian. Hal yang disukainya adalah makan. Dia tidak pernah pemilih soal makanan. Tapi untungnya, ia memiliki tipe badan ektomorf. Tidak gemuk, sekalipun makan sebanyak mungkin. "Keterlaluan! Menutup telepon tanpa penjelasan apapun. Hari ini juga tidak ada kabar sama sekali! Dia pikir aku ini siapa?!" gerutunya, mengarahkan telapak tangan di atas penggorengan yang berisi minyak goreng. Memeriksa apakah minyak sudah panas atau belum. Memasukkan ayam yang telah di bumbui, satu persatu kemudian. DINGDONG Bel pintu depan berbunyi, menggema di seluruh ruangan, beberapa saat setelah itu. Membuat keningnya berkerut. "Siapa yang datang?" gumamnya. Selama tinggal di sini, tak ada satupun yang bertamu ke rumahnya. Ia hanya diam dengan kepala menengok ke arah pintu. Sampai bel berbunyi lagi. Antara waspada dan penasaran, ia melangkah ragu. Ketika pintu sudah tepat di depannya, ia bersuara, "Siapa?" Namun, tak ada jawaban dari luar. Hanna membalik badan. Maju selangkah, di saat yang sama bel kembali berbunyi. Hanna mendesah kesal. Berbalik. Menarik gagang ke bawah. Menarik pintu ke dalam. Segera melongokkan kepala. Kanan dan kiri. Tak ada siapapun di depan. "Sial*n. Siapa yang mengerjaiku sepagi ini?!" Di detik selanjutnya, seikat mawar putih di bungkus dengan indah— muncul tepat di depan wajahnya. Hanna sedikit menarik kepala mundur. Dari balik pintu, Hoon muncul. Membuat kelopak matanya melebar. Reaksi yang di harapkan oleh Hoon. "Kenapa kau di sini?" tanya Hanna. Hoon mendengus heran. "Itu pertanyaan setelah sekian lama kita tak bertemu? Tentu saja, aku merindukan istriku." Hanna tersenyum malu. "Kau tidak terkejut?" "Sangat!" "Tak ingin memelukku?" ujar Hoon. Membentangkan kedua tangan ke samping. Membuka pintu tubuhnya. Hanna tersenyum lebar. Keluar dari pintu. Memeluk erat Hoon. Yang di balas pelukan hangat oleh suaminya. Seolah lupa, beberapa menit yang lalu ia menggerutu kesal karena Hoon susah di hubungi. "Kenapa kau tidak memberitahuku jika akan datang. Aku bisa menjemputmu di bandara." "Memangnya, kau tahu jalan ke bandara?" "Tidak," jawab Hanna, terkekeh. Selaras dengan Hoon. "HANNA!!!" Ji Woon berteriak dari halaman, yang berada di samping rumah. Membawa dua koper dan ransel di punggungnya. Melambaikan tangan. Membuat Hanna melepaskan pelukan Hoon. "Ji Woon!!" pekiknya, melambaikan tangan. Hanna dan Ji Woon berlari. Saling mendekat. Bak adegan dalam drama keluarga—dimana seorang Ibu yang sudah lama tak bertemu dengan anaknya. Ji Woon meletakkan koper dan memeluk Hanna, begitu jarak keduanya hanya menyisakan satu langkah saja. Hanna Dan Ji Woonip memiliki hubungan yang sangat dekat . Bahkan lebih dekat dari hubungannya dengan Hoon . "Aku sangat merindukanmu," kata Ji Woon. "Aku rindu saat makan ramen tengah malam denganmu," pungkas Hanna. Tidak iri ataupun cemburu—Hoon justeru menggeleng heran. Mendengus. Tersenyum. Dalam waktu bersamaan. Melihat keduanya bertingkah konyol. Di detik selanjutnya, hidung Hoon mengendus sesuatu. Mengerut kemudian. Seperti aroma makanan yang hangus. "Bau apa ini? Sepertinya dari dalam rumah," gumamnya. "Sayang! Apa mungkin kau sedang memasak sesuatu?" teriaknya. Mata Hanna melebar. "Ayamku!" Serunya. Dengan jurus seribu langkah— Hanna bergegas masuk ke dalam rumah. Pergi ke dapur, yang hanya tinggal berlari lurus dari pintu depan. Melewati ruang tamu dan ruang keluarga. Mendapati ayam yang di masaknya menjadi hitam. Gosong. Membuatnya mendesah panjang. Memanyunkan bibir. "Apakah itu menu baru?" Hoon menyembul dari belakang Hanna. Yang ditanya melirik kesal. "Ini semua salahmu! Jika saja, kau tak mengerjaiku tadi— ayamku tidak akan gosong," rajuknya. "Wow! What smell!" Ji Woon yang baru masuk, segera menjepit hidungnya dengan dua jari. "Perutku yang malang. Kau pasti lapar," gerutu Hanna. Mengusap perutnya berulang. "Hanna! Kita makan ramen saja." Ji Woon menggoyangkan ramen yang ia pegang. Dengan wajah sumringah. Selaras dengan Hanna kemudian. Mengangguk segera. "Kalian mandi ganti baju! Aku akan membuat ramen lezat untuk kalian," kata Hanna. "TIDAK!" Hoon dan Ji Woon kompak menjawab. Nadanya terdengar berteriak. "Kenapa?" Hanna mengerutkan dahi. "Ka-kau pasti sangat lelah—mengurus rumah sendiri. Biarkan aku dan Ji Woon yang membuatkan mu ramen. Kau tunggu saja di kamar. Atau menonton film. Aku baru saja membelikan mu film-film terbaru." " Tapi, kalian yang baru saja datang dari perjalanan jauh." "Kami baik-baik saja. Tidak lelah sama sekali," tambah Ji Woon. Di ikuti dengan anggukan Hoon. "Lagipula, Sudah enam bulan kita tidak bertemu. Aku ingin membuat ramen spesial untukmu," lanjut Ji Woon. "Baiklah, kalau begitu. Panggil aku jika butuh bantuan." Anggukan Hoon dan dorongan tangan Ji Woon pada punggung Hanna— mengisyaratkan cepat pergi dari dapur. "Perutku sedang tidak ramah. Jika makan masakan Hanna. Aku bisa mati," bisik Hoon pada Ji Woon, setelah Hanna menjauh dari dapur. Ji Woon yang mendengar, tertawa dalam diam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD