2. Pria Misterius

1074 Words
"Tolong ...," rintih pria itu, meminta pertolongan. Tangannya yang berlumuran darah terulur lemah padaku. Kemudian kembali lagi terkulai. Wajahnya yang kacau tertutup rambutnya terlihat begitu menderita dan kesakitan. Jantung berdetak begitu cepat, tangan gemetaran, lidah kelu, dan isi kepala tidak bisa berpikir dengan baik. Apakah aku harus menelepon polisi? Ataukah aku harus menelepon rumah sakit karena dia terlihat sangat kesakitan dan terluka begitu parah? "Tolong ...," rintihnya lagi meminta tolong, namun kali ini dengan sangatlah lemah. Karena tidak tega, aku pun mendekatinya, untuk memastikan apakah dia masih hidup atau sudah tidak bernafas lagi. Lagipula, dia sudah tampak begitu lemah. Tak mungkin dia menyakitiku dalam kondisi yang tidak berdaya seperti itu. Aku pun membantunya berdiri, kemudian memapahnya untuk masuk ke dalam apato. *** Apato tempatku tinggal tidaklah besar, tidak juga kecil. Hanya berukuran tiga puluh enam meter persegi yang biasanya ditinggali oleh keluarga beranak satu. Bentuknya persegi, yang di dalamnya terbagi lagi menjadi empat ruang. Dapur, ruang tamu, kamar tidur, dan ruang mandi-toilet-wastafel-laundry yang masing-masing berukuran tiga kali tiga meter. Sebelumnya, aku tinggal disini bersama seorang teman dari Malaysia. Namun, studinya selesai di bulan September lalu, dan dia sudah kembali ke Malaysia untuk selamanya. Lantas, mengapa aku masih tinggal di sini? Apakah biayanya tidak terlalu mahal untuk dicover satu orang? Alasannya sederhana, aku malas pindahan. Lagipula, aku berpikir untuk tinggal di sini bersama kekasihku, Yuya, walaupun saat ini sudah tidak mungkin lagi. Aku membawa pria itu masuk ke dalam ruang tamu agar lebih hangat. Maklum, AC untuk menghangatkan ruangan hanya terdapat di ruang tamu. Kududukkan dia di kursi dekat meja kotatsu agar lebih hangat lagi. Kuabaikan apakah kursinya terkena noda darah atau tidak. Yang terpenting saat ini adalah membuat tubuhnya menjadi hangat agar tidak hipotermia, karena suhu di luar berada di bawah nol derajat Celcius. "Terimakasih ...," gumamnya sangat pelan, mengungkapkan perasaan yang tulus. "Anda hampir beku. Dingin sekali," ujarku menahan tangis. Antara iba dan gemetar ketakutan. "Aku akan menelepon ruma—" "Jangan!" cegahnya sambil menahan sakit dan rintihan. "Kumohon jangan menelepon siapa-siapa." Tangannya memegang ponsel, menghalangiku yang sudah hampir menelepon Rumah Sakit Tohoku University. Matanya memelas. Benar-benar memohon agar aku tidak menelepon ke rumah sakit atau polisi. Sejujurnya, hal ini semakin membuatku takut. Apakah dia buronan? Apakah dia Yakuza? Seolah mengerti kerisauanku, dia mengeluarkan dompet dan ID-cardnya. "Saya tidak berbahaya," ujarnya meyakinkanku agar tidak khawatir kalau-kalau tiba-tiba dianiaya atau bahkan dibunuh. Kuperiksa ID-cardnya dan kemudian aku yakin bahwa dia bukanlah orang jahat seperti yang aku kira. Fujisaki Jun. Sepertinya nama yang tidak asing. Fujisaki Jun ... keluarga Fujisaki .... Aaahhh!!! Aku ingat Fujisaki Jun! Dia putra pemilik Fujisaki Department Store! Aku pun tergagap, bingung dengan apa yang harus kulakukan. Dia tidak mau polisi dan rumah sakit. Tapi tentu saja aku yang tidak tahu menahu tentang perawatan luka, hanya bisa memberikan pertolongan pertama. Aku pun segera mengambil kotak first aid kit yang kusimpan di kabinet dekat jendela. Kemudian kuperhatikan luka di lengan kanan atasnya. Penuh darah, anyir, merah pekat, dan menjijikkan. Perutku merasa diaduk-aduk dan pasti akan segera memuntahkan isinya bila aku sudah sempat mengisi perut sebelumnya. "Mengapa anda terluka?" tanyaku menutup hidung, menahan mual dan bau anyir. "Aku tertembak saat melarikan diri dari orang jahat yang mengejarku," jawabnya. Tertembak? Peluru? Bila aku mengingat film-film yang kutonton, bukankah pelurunya harus dikeluarkan dulu? Bagaimana caranya? Aku tidak tahu. Bila dipaksakan, ini pasti akan sakit karena tak dibius. "Aku tidak tahu bagaimana harus menolong anda, Tuan Fujisaki ...," ujarku pasrah. "Kita harus menghubungi rumah sakit!" "Tidak. Pamanku memburuku, dia tidak boleh tahu dimana aku berada," tolaknya lagi, menggeleng pelan. Kuperhatikan wajahnya yang saat ini mulai pucat. Bila seperti ini terus menerus, dia bisa kehilangan banyak darah. Kemudian, ide cerdas melintas di benakku. Aku ingat salah satu adegan di sebuah film seri tentang kedokteran, bahwa cara pertama yang harus dilakukan adalah menyumbat pendarahan. Segera kuambil perban untuk mengikat lukanya dengan kuat agar darah tidak mengalir dengan terlampau deras. Tidak mudah membalut luka dengan perban. Apalagi bila kamu tidak berpengalaman. Pengalaman? Aha! Aku tahu harus menghubungi siapa. Bukankah tetanggaku yang orang Indonesia adalah seorang dokter yang sedang menempuh pendidikan lanjut di Tohoku University? Aku yakin dia bisa melakukan sesuatu. "Tuan Fujisaki, aku tidak ingin kamu mati karena penanganan yang salah. Bisakah kamu kali ini menurut padaku?" pintaku pada pria yang saat ini menyandarkan badannya di kursi kotatsu. Aku memang sengaja menempelkan kursi kotatsu di dekat dinding agar bisa kugunakan untuk bersantai tanpa harus terjungkal ke belakang. Maklum, kursi tua. "...." Karena tidak ada jawaban darinya, aku pun menambahkan, "Aku jamin keberadaanmu tidak akan bocor. Orang yang akan menolongmu, bahkan tidak bisa berbahasa Jepang." Yup, aku tidak berbohong. Tetanggaku, Tuan Hari dan keluarganya, hanya bisa lancar berbahasa Inggris. Bahasa Jepang yang dia pelajari hanyalah Bahasa Jepang sehari-hari yang digunakan untuk memesan makanan di restoran dan membeli sesuatu di toko. Aksara Kanji yang dia tahu hanya Kanji bahan makanan haram agar bisa membeli makanan di toko. Aku juga tidak habis pikir bagaimana dia bisa bertahan hidup di Sendai selama hampir dua tahun ini dengan kemampuan berbahasa lokal seminimal itu. Aku tebak, dia tidak pernah berbincang-bincang dengan warga. "Baiklah ...," balas Tuan Fujisaki berbisik, menyetujui rencanaku. Bagus! Tanpa menunggu lama, aku pun segera berlari menuju unit 101, unit apato yang terletak paling jauh dari jalan. Kupencet bel rumah di sisi kanan pintu. Aku tahu ini malam hari, bukan waktunya untuk mengganggu. Namun, ini adalah urusan mendesak. Lagipula, Tuan Hari mempunyai seorang anak bayi yang kuduga hampir tidak pernah tidur di malam hari, karena aku sering mendengarnya menangis di malam hari. Keras sekali bukan tangisan si bayi? Aku saja bisa mendengar, walau sayup-sayup. Padahal jarak apato kami berjarak satu unit. Untunglah unit 102 dan 104 kosong, sehingga tidak ada tetangga yang mengeluhkan suara tangisan si bayi di malam hari, mengingat orang Jepang kurang suka dengan gangguan suara berisik. Kecuali aku, karena aku sudah terbiasa bergaul dengan warga internasional di asrama Tohoku University. Setelah memencet bel untuk ketiga kalinya, akhirnya aku mendapat sahutan dari interkom. "Halo, ini dengan siapa ya?" tanyanya dalam Bahasa Jepang yang menggelitik telingaku. Aku pun segera menjawab dengan menyebutkan nama. "Baik, tunggu sebentar ...," sahutnya lagi-lagi dengan Bahasa Jepang berintonasi aneh. Jujur, aku lebih paham bila dia berbahasa Inggris daripada memaksakan diri berbahasa Jepang. Namun, aku tak pernah mengatakan hal ini secara langsung karena takut dirinya kehilangan kepercayaan diri dan berhenti belajar. Tak lama, Tuan Hari keluar untuk membuka pintu. Matanya masih segar dan tidak tampak merah, menandakan dia tidak sedang tidur saat aku memencet bel. "Hai, Sara ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD