PROLOGUE : Throne of The King (2)

850 Words
    Ada sepasang laki-laki yang bertingkah bak maling di rumah sendiri. Mereka adalah Bright, yang sedang memimpin jalan, dan Win, yang tertawa geli di belakangnya. Ketika ujung sepatu mereka bertemu pada hamparan rerumputan di belakang istana, keduanya pun bernapas lega, lega sekali.     “Hahahaha.” Win masih tertawa.     “Hm. It was fun… and thrilling,” sahut Bright.     Win meraih wajah alphanya, mencium pipi lembut itu dengan beringas sebelum kembali senyum lima jari. Matahari di atas mereka pun kalah terang dari senyuman seorang omega yang satu ini.     “That was Throne of The King,” ujarnya tiba-tiba.     Alpha itu menoleh, bermaksud mencari tahu apa maksud perkataan dari mate-nya.     Yang lebih muda pun berdiri tepat di depan sang raja. Ia mendekatkan diri, menempelkan dahi mereka ke satu sama lain. “King’s Throne. It always be yours. You’re chosen to lead us,” ucap Win lembut. “Pimpin kami, entah apa yang ada di depan nanti, pimpin kami. Alpha, you have me, lead us, and I will hold your back.”     Napas mereka menyatu menjadi satu irama. Lirih, Win kembali melanjutkan kalimatnya dengan, “I will never leave you. You are The King, our King, always.”     Entah berapa kali Bright harus bersyukur, tapi yang jelas, ia selalu berterima kasih kepada takdir yang    meletakkan Win di sisinya. Jalan takdirnya mungkin akan selalu berat hingga akhir hayatnya. Namun, dengan sebuah tangan hangat yang terselip di antara jari jemarinya, ia merasa tenang.     Tersenyum, alpha itu membalas, “So do I.”     Yang mana di detik selanjutnya, ditemani oleh kupu-kupu indah yang terbang di sekeliling bunga, Bright mencium Win dengan lembut, mengantarkan perasaan yang lebih murni dari cinta yang terucap oleh kata.     Selalu. Selalu seperti itu.     Keduanya akan selalu saling mengasihi, menyayangi,… mencintai.     Entah sang Luna akan kembali mengembankan tugas berat, atau lainnya, mereka akan selalu seperti itu. Harus seperti itu.   ***       “Kak Thaea!” seru Ano. Gadis mungil yang sedikit lebih tinggi dari adiknya itu pun menoleh. Matanya tersirat kekesalan sekaligus kasih sayang. Dengan sengit, ia bertanya, “Apaan?”     “Itu siapa?”     Jari anak lelaki itu menunjuk pada satu sudut di dapur yang baru selesai direnovasi. Alih-alih mengambil sekotak kukis, sepertinya Ano menyadari satu hal yang lain.     Thaea adalah gadis cerdas, namun cenderung malas bicara. Jadi, ia tak bertanya sia-sia. Kepalanya langsung menoleh ke arah yang ditunjuk sang adik.     “Huh?”     Anak kembar itu menatap pada satu titik yang sama. Seorang laki-laki dewasa berdiri di ujung ruangan.     “Kak…”     Ano mencicit takut. Tapi, belum sempat Thaea bertindak, orang asing itu langsung melesat, keluar melalui jendela. Begitu dikejar, sudah tak ada apa-apa untuk dilihat.     “Kak Thaea,” panggil Ano lirih.     “Hm?”     “Itu bukannya… Om Gupi? Yang fotonya ada di kamar ayah sama papa?”     Thaea tidak menjawab.     Ia tak tahu. Bagaimana bisa ia melihat orang yang sudah mati? Otak seorang gadis berusia enam tahun tidak dapat menjawab pertanyaan yang begitu rumit seperti ini.   ***       “Alpha,” Win memanggil.     “Ya?”     Di satu ranjang luas, Bright tengah menyesap tehnya dengan sebuah buku yang fokus ia baca. Di sebelahnya, sang omega sedang melakukan hal yang tak jauh beda Namun, karena satu hal, kegiatannya terdistraksi.     “Aku masih gak tau kenapa dapur kita kebakaran separah itu. Hm… aku tau kalau aku gampang rusakin barang. Tapi, demi Bunda Luna, aku gak ngelakuin satu hal pun yang bisa bikin dapur meledak. Aku cuma lagi manasin oven, terus keluar buat manggil si kembar. Cuma hitungan detik dari sesudah keluar dapur. Yakali meledak gitu aja?”     Mendengarnya, Bright refleks menutup buku. Ia melepas kacamatanya, pun membantu omeganya untuk melepas kacamata dan membereskan buku serta cangkir teh mereka.     “We have to wait.”     Hanya tiga kata yang keluar dari bibir sang alpha. Suaranya begitu dalam dan menuntut pemahaman segera. Namun, dengan watak yang dimiliki oleh omeganya, itu agak sulit. Dengan enteng, Win bertanya, “Nunggu apa?”     Bright merapikan segala hal untuk menyamankan posisi tidurnya. Ia menyibak poni omeganya, lalu mencium kening itu dengan penuh kasih sayang. “Apa pun. Entah nasib baik atau buruk, aku tau itu satu hal yang janggal. Tapi kita gak bisa maksa. Jadi… kita tunggu.”     Baik. Kali ini Win mengangguk dengan patuh. “Jadi ini alesan kenapa dapur dipindah ke sebelah?”     “Hm. Sekarang tidur dulu. Aku pengen M.I.M.”     Mendapatkan satu istilah asing, Win buru-buru mencegah sang alpha untuk memejamkan mata. “Apaan M.I.M?”     Tanpa repot-repot membuka mata, Bright menjawab dengan tak acuh, “Mating in the morning.”     “Bangsat.”     Dan Bright tertawa sebelum mengoreksi dengan, “Language.”     Win hanya mampu bergidik meski serigala dalam dirinya sedang girang luar biasa. Jadi, ia memilih sok jual mahal, walaupun raganya malah menempel pada alphanya.     Kepala omega itu menyamankan diri di d**a sang alpha, memeluk tubuh hangat itu sembari memanjakan hidung dengan bau cendana yang memikat. “Good night,” ujarnya.     Bright mengusap helai halus omeganya. “Good night.”   ***       Dua pemimpin dunia telah terlelap, menanti tugas selanjutnya yang siap mereka hadapi bersama-sama.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD