Chapter 2

1945 Words
Merasa bosan menunggu di ruangan ibunya, Jay terpikir untuk keliling kantor. Hanya saja dia seketika merasa malas. Jadi dirinya melangkah menuju ruangan khusus saja. Merebahkan diri di atas ranjang. “Oh ada buat mantau CCTV juga?” gumam Jay yang baru menyadari bahwa ada dua layar televisi di ruangan tersebut. Satu televisi untuk hiburan dan satu lagi yang menampilkan rekaman CCTV, masih menyala. Kemungkinan tadi dilihat oleh ibunya. “Ruang mana aja nih yang ada CCTV?” ucap Jay bergumam. Jay memperhatikan satu persatu ruangan CCTV yang ada. “Ruangan sekretaris nggak ada CCTVnya ya?” tanyanya pada diri sendiri. Jay kemudian memilih keluar ruangan khusus tersebut. Diliriknya pisang keju di atas meja, yang masih tersisa boxnya saja. Sudah habis ia makan sejak tadi namun jam belum juga menunjukkan pukul tujuh. Waktu terasa berjalan begitu lama. Jay membuka pintu dan saat itulah dia terkejut karena sudah ada Ella di depan pintu, bersiap untuk mengetuk. Perempuan itu terkejut, begitu juga Jay. Mereka kini berhadapan. “Oh, masuk aja dulu.” Jay mempersilahkan dan kemudian Ella masuk. Setelah itu Jay menutup pintunya lagi, tidak jadi keluar. Ditatapnya Ella yang sedang melangkah mendekati meja, meletakkan berkas disana. “Proposalnya udah jadi?” tanya Jay. “Sudah, Kak.” Jay tersenyum. “Let’s go sekarang. Naik mobil saya aja.” Pandangan Jay seketika kembali tertuju pada cincin di jari manis Ella, tanpa sengaja. “Maksudnya dianter Pak Ardi naik mobil saya,” imbuh Jay. Ella menoleh pada Jay, ia menganggukkan kepalanya. “Sebentar ya, Kak. Saya beresin meja dulu.” “Oke siap. Saya tunggu di lobi ya?” “Baik, Kak.” Ella lantas pamit untuk keluar. Jay menatapnya perempuan itu hingga pintu tertutup. Jay menghela napasnya. “Sayang banget udah jadi bini orang,” gumam Jay. *** Ella mematikan komputer sambil tersenyum. Siapa sangka proposalnya bisa cepat selesai. Yang artinya ia tidak perlu begadang untuk mengerjakan itu nanti. Tinggal mengantar Jay saya dan Ella harap tidak terlalu lama jadi ia bisa segera pulang. Ia keluar dari ruangan, melangkah menuju lift dan menunggu hingga lift membawanya turun ke lobi. Ia sudah terima pesan kalau Jay menunggu di dalam mobil bersama Pak Ardi. Jadi langsung saja Ella ke depan lobi dan bisa menemukan mobil Palisade yang nangkring dengan gagah. Kaca jendela pun terbuka menampakkan Pak Ardi yang menyengir kuda. “Silahkan masuk, Mbak Ella.” Ella tersenyum sambil mengangguk. Ia ke sisi sebelah kiri pengemudi dan kemudian duduk di depan, sebelah Pak Ardi yang menyetir. “Kok duduk di depan? Saya sendirian dong di belakang?” tanya Jay. Ella belum juga memasang sabuk pengaman, sudah mendapatkan protes seperti itu. Pak Ardi hanya bisa diam saja, sementara Ella kemudian keluar untuk berpindah tempat duduk. “Good. Let’s go Pak Ardi.” Mobil melaju meninggalkan pekarangan kantor. “By the way saya lapar. Mau makan dulu ya sebentar? Sekalian saya traktir Pak Ardi dan Bu Ella.” Ella menatap jam di tangannya. Memastikan waktunya dulu sebelum menyahut. Kalau jalanan lengang, dia bisa sampai di apartemen setidaknya jam sembilan malam. Kalau ada makan malam juga, entah jam berapa Ella tiba. “Baik, Kak.” Seperti biasa, meski ada begitu banyak umpatan dan sumpah serapah dalam hati tetap saja Ella hanya akan menggunakan tiga kata andalan. Baik, siap, atau noted. Lagi pula siapa dia melarang anak bosnya makan. “Nice. Bu Ella dan Pak Ardi mau makan apa?” “Saya mah ngikut saja Kak Jay mau makan apa,” sahut Pak Ardi. Jay kemudian menoleh kepada Ella, menagih jawaban. “Terserah Kak Jay saja mau makan apa.” “Oke. Saya mau makan steak,” ucap Jay. *** “Hello, Mrs Akiara. Yes, i'd like to discuss a meeting schedule between Mrs Jennifer and Mr Hiro.” Jay memotong daging steak sambil sesekali menatap Ella yang sedang bicara melalui telepon. Tepatnya telepon ke delapan sejak mereka berada di restoran ini. “Mrs Jennifer prefers late mornings or early afternoons.” Jay sudah selesai memotong daging steak. Dia menatap Ella sejenak sambil menunggu telepon itu selesai. “Yes. Wednesday next week. Considering the time zone difference, how about around 9 AM Jakarta time?” Jay bahkan ikut menatap ke tablet yang Ella bawa, terpampang jadwal mamanya disana. “Of course we can adjust it to 11 AM. Yes, that sounds perfect. I'll arrange the virtual meeting and share the link with you beforehand. Thank you and see you, Mrs Akiara.” Ella mengakhiri sambungan telepon dan kemudian menambahkan jadwal meeting yang baru saja dikonfirmasi ke jadwal. “Sibuk banget ya, Bu?” tanya Jay. Ella mendongak, menatap Jay, dan kemudian memberikan senyuman. “It’s my job, Kak Jay.” Ella membatin dalam hati, berkat pekerjaan ini ia jadi punya cukup uang untuk hidup. Termasuk menghidupi adik-adiknya. Jay melirik jam tangannya. “Jepang jam segini bukannya udah malem ya? Setengah 10. Masih nelpon?” tanya Jay sambil meletakkan potongan steak di atas piring Ella. Ella melirik Jay yang main meletakkan saja, padahal ia tidak minta. Namun dirinya berterima kasih untuk itu. “Iya udah setengah 10. Tapi tadi dianya yang udah bilang pengen atur jadwal by phone. Jadi ya sudah. By the way terima kasih Kak Jay dagingnya” Jay kemudian mengambilkan juga untuk Pak Ardi. Ia mengangguk atas ucapan Ella. “Terima kasih Kak Jay. Maaf sebelumnya Kak Jay dan Mbak Ella. Saya kebelet ke toilet dulu ya, permisi. Maaf.” Jay dan Ella menganggukkan kepalanya. “Kadonya udah ada ide dan tinggal cari aja atau gimana?” tanya Ella kemudian. Ia baru ingat untuk menanyakan itu karena sejak tadi dirinya repot mengurus pekerjaan. “Belum ada ide. Enaknya kasih apa ya ke orang nikahan?” Ella juga tidak ada ide. Lebih tepatnya malas berpikir. “Sahabatnya yang pengantin cowok atau cewek?” tanya Ella memastikan. “Cowok dong.” Ella terdiam. “Obat penguat. Biar gacor malam pertamanya,” ujar Ella keceplosan. Di otaknya sebenarnya ia berpikir beri obat penguat saja. Akan tetapi takut tidak sopan kalau bicara begitu kepada Jay. Akan tetapi ternyata tetap saja lolos, keceplosan terucap oleh bibir. “Maksudnya parfum,” ucap Ella cepat-cepat meralat ucapannya. Jay pun terkekeh. “Eh tapi bagus tuh idenya kasih obat penguat.” Sialan, malah Ella yang sekarang jadi merasa malu membicarakan hal seperti ini. “Kalo beli itu, sama Pak Ardi aja.” Jay masih saja tertawa. “Ini seriusan nggak papa kan kasih hadiah nikahan obat penguat?” Ella bingung menjawab. “Why not?” tanyanya tidak yakin. Jay tersenyum. “Nanti kalo saya nikah, kamu mau kasih hadiah apa?” “Emangnya kapan nikah?” tanya Ella. Soalnya Jessi belum menikah. Ya, setidaknya Jessi dulu nggak sih? Pikir Ella. “Nggak tau. Menurut Bu Ella kapan?” Ella sudah terbiasa dengan perubahan panggilan yang drastis dari si bungsu ini. Kadang panggil Bu Ella, kadang kamu. “Ya saya juga nggak tau.” ‘Cabang banyak begitu. Tinggal milih satu kan buat dinikahin?’ pikir Ella. Ponsel Ella bergetar. Ia dapat pesan dari Bu Jennifer. Wanita itu bilang kemungkinan klien dari Tiongkok berminat untuk kerjasama. Jadi Ella diminta bersiap. “So, mau kasih apa hadiahnya? Kalau pilihannya sudah fix obat penguat, saya mau pulang sekarang.” “Ada kerjaan mendadak?” tanya Jay. Ella menyengir kuda. “Ya sejenisnya.” Jay mengangkat satu alisnya dan kemudian terdiam sambil menatap Ella. “Hadiahnya obat penguat dan paket honeymoon di Bali kali ya? Mama kan punya resort sama villa tuh di Bali.” Ella menganggukkan kepalanya. “Berarti saya urus untuk booking dan-” Jay langsung menggelengkan kepalanya. “Enggak, enggak. Biar saya aja.” Ella mengangkat satu alisnya. Baguslah, ia tidak perlu repot-repot. “Oke. Clear, ya? Berarti saya bisa pulang?” “Bisa setelah selesai makan,” sahut Jay. Astaga Ella bahkan baru sadar ia belum sedikit pun menyentuh makanan atau minuman yang dipesannya sejak tadi. Jay mendekatkan gelas minuman perempuan itu. “Minum dulu. Makan. Teleponan mulu, kerja mulu dari tadi. Kalo waktunya makan, ya makan.” ujar Jay. Ella pun terdiam dan hanya menatap Jay. Jay jadi diam juga menatap Ella. Pandangan mereka beradu dan Jay kemudian melirik makanan Ella. Memberi kode agar Ella makan dulu melalui tatapannya. “Makannya bareng aja nunggu Pak Ardi,” ujar Ella. “Minimal minum dulu sih,” sahut Jay. Ella pun menganggukkan kepala. Ia kemudian minum terlebih dahulu. “Capek nggak sih kerja sama mama?” tanya Jay tiba-tiba. Ella sedikit curiga karena aneh saja Jay tiba-tiba bertanya hal seperti ini. “Menyenangkan.” “Ah, cari aman banget. Santai aja sama saya. Saya penasaran soalnya. Setau saya, kamu banyak banget yang diurus. Apalagi permintaan kakak saya suka aneh-aneh.” ‘Makanya tolong bilangin kakaknya biar nggak aneh-aneh,’ batin Ella. “Setiap pekerjaan pasti ada capeknya.” “Kayaknya kamu nggak pernah cuti atau libur gitu nggak sih?” tanya Jay. Ella menatap lelaki itu. “Pernah kok.” Ella tidak ingin membagikan terlalu banyak tentang dirinya. Apalagi kepada keluarga bos. Meski waktu yang ia habiskan bersama keluarga Bu Jennifer bisa terbilang hampir setiap hari, selalu ada batas yang ia bangun sendiri antara dirinya dan profesionalitas kerja. Termasuk pertanyaan pribadi begini. Kenyataannya Ella memang sangat jarang libur dan mengajukan cuti. “Oh ya? Kapan?” Baguslah ada telepon masuk dari Bu Jennifer, yang artinya Ella tidak perlu menjawab pertanyaan Jay tersebut. “Sebentar urgent,” ujar Ella sambil menyengir menunjukkan layar ponselnya pada Jay. Ella bangkit berdiri dan agak menjauh saat menerima telepon. Jay pun menatap punggung perempuan itu kemudian mengalihkan fokus ke makanan Ella yang masih belum tersentuh. *** Jay sudah selesai memarkirkan mobil di garasi. Saat itu ia melihat Mang Yoyo berlalu sambil membawa tongkat yang ujungnya berisi jarring berbentuk lingkaran. “Mau ngapain, Mang?” tanya Jay. “Kolam ikannya Kak Johan, Kak.” Jay seketika teringat masalah kakak sulungnya itu, yang tadi sore sempat ia protes karena sampai merepotkan Ella. Langsung saja Jay ikut juga ke taman belakang. Disana nampak Johan yang sedang menatap serius ke kolam ikannya. “Woi, ngapain Kajo?” Johan menoleh. “Udah balik lu?” tanyanya melirik sekilas lalu kembali fokus menatap ikan-ikan yang berenang. “Udahlah. Buktinya udah disini.” Jay mengangkat satu alisnya karena Johan kelihatan begitu serius. “Ada apaan dah? Ikannya kenapa? Sampe minta sekretaris mama ngurus ikan segala. Dikata avatar bisa segalanya,” sindir Jay. “Lah lo juga beli kado sampe minta sekretaris mama segala,” sindir balik Johan. “Ya kan beli kado masih mending. Ini ngurus ikan. Mang Yoyo, lah.” Johan menyilangkan tangannya depan d**a. “Si Ella soalnya dulu yang beli.” Jay menggelengkan kepalanya. “Lo apa sih yang nggak diurus Ella? Anak lo ke dokter juga si Ella ikut ngurusin.” Johan hanya diam saja, malas merespon. Jay kemudian menghela napasnya. “By the way. Menurut lo kalo suka sama istri orang gimana?” Johan langsung menoleh. “Lo suka sama istri orang?” “Temen gue barusan curhat suka sama istri orang.” “Temen lu apa lu? Nggak usah mengkambinghitamkan deh,” ujar Johan. “Temen. Serius Kajo. Menurut lu gimana?” Johan berdecak. “Temen lu suruh berobat gih biar waras. Kayak kagak ada cewek lain aja.” Jay pun menghela napasnya. “Iya ya. Emang nggak waras dia.” “Ya iyalah. Gilak itu.” Jay kemudian tersenyum. “Dah ah gue mau mandi. Mau sampe kapan lu disini. Malem begini, nggak bisa besok aja apa?” tanya Jay seraya ia melangkah menjauh. “Takutnya ngga ada kesempatan karena makin banyak yang mati kalo nunggu besok,” sahut Johan berteriak karena Jay semakin jauh. Jay hanya terkekeh mendengarnya. “Iya ya. Takutnya ngga ada kesempatan kalo nunggu besok,” gumam Jay.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD