Chapter 1

2309 Words
Hampir sebulan aku berkelana di kota besar ini, tempat di mana kebanyakan orang berpikir, di sinilah takdir bisa berubah. Orang yang tidak memiliki apa-apa saat datang, bisa menjadi siapa saja saat kembali ke kampung halamannya. Namun, aku terlalu tergiur dengan tawaran itu sehingga lupa, bahwa modal untuk mengubah nasib di kota besar adalah pendidikan, pengalaman, dan keberanian. Pendidikan hanya separuh, pengalaman hanya secuil, dan keberanian hanya ada di saat tertentu saja. Karena itulah, kini aku terlihat lebih menyedihkan daripada saat masih di kampung. Uang hasil penjualan tanah Ayah kurang seratus ribu, sementara aku terus ditolak untuk menjadi seorang karyawan di warung atau tempat kerja lainnya. Putus asa. Aku ingin kembali pada Ayah, merawatnya yang terus saja sakit-sakitan daripada hanya menjadi sampah di kota ini. Namun, aku terlalu segan. Uang habis hanya untuk berjalan ke sana kemari, tanpa ada hasil pasti. Aku takut, Ayah akan begitu kecewa pada putri tunggalnya ini. Kami tidak punya harta apa pun lagi selain tanah yang Ayah jual, dan hartanya itu hampir aku habiskan. Di sebuah pelataran toko, aku duduk, memandangi sebuah warung yang baru buka di seberang jalan. Saliva langsung mengaliri tenggorokan saat aroma harum masakan pemilik warung menyapa hidung. Memancing gemuruh dalam perut. Meneriakkan kata 'lapar' senyaring-nyaringnya, yang hanya bisa aku dengar. Tas aku buka, mengeluarkan semua sisa-sisa uang yang lusuh. Tersisa 76.500. Kakiku tertahan oleh nominal uang yang menghuni tas saat ini. Bahkan, uang tersebut tidak cukup untuk ongkos pulang. Hanya bisa menyandarkan punggung di dinding toko. Menikmati siksaan perut yang meminta diisi. Teringat, bahwa terakhir kali aku makan adalah kemarin siang. Mataku tertutup lemah sebentar, lalu terbuka saat mendengar suara di sampingku. Seorang anak berusia sekitar 16 tahunan mengobrak-abrik tempat sampah. Botol air minum dikutip dari dalamnya, berpindah ke dalam karung kotor milik si anak. Setelah mendapatkan sekitar enam buah botol plastik, dia menutup tempat sampah kembali. Saat itulah, pandangan kami bertemu sebentar. Anak itu pergi memanggul karungnya yang sudah setengah terisi. Apa itu jawaban dari harapanku datang ke kota ini? Dadaku menggebu, merasa sebuah pertolongan datang. Aku segera berdiri sambil menenteng tas. Mengejar si anak yang menyeberang jalan. Terlalu fokus pada anak itu, aku tidak peduli sekitar. Terakhir kali terlihat hanya sebuah mobil melaju dari sebelah kanan begitu cepat. Tepat saat aku menoleh, tubuhku juga seperti diremukkan dengan kasar. Berputar. Lalu dibanting dengan kuat. Nyeri menyerang di seluruh penjuru tubuh. “Pa, tinggalin aja, Pa. Ini masih sepi.” Samar, terdengar lengkingan wanita. Mataku mulai terpejam. Tidak sanggup menahan semua sakit. “Papa tidak bisa, Ma.” Kesadaranku hilang bersamaan setelah mendengar suara bariton tersebut. *** Dua hari kemudian. Lengan baju aku tarik agar menutupi tanganku yang dibalut perban. Seorang wanita masuk ke ruangan, dengan wajah angkuh khas miliknya. Sejak aku tersadar, aku berusaha membiasakan diri dengan wajah dinginnya itu. “Untunglah, kamu tidak perlu dirawat terlalu lama di sini. Setidaknya, suami saya tidak perlu merasa bersalah terlalu lama.” Nyonya Erisha. Setidaknya begitulah nama yang sering diucapkan perawat padanya. Aku tidak tahu seberapa besar pengaruh wanita itu sampai semua orang tampak tunduk padanya. Dari arah pintu yang dimasuki Nyonya Erisha tadi, seorang pria dewasa dengan rambut hampir semuanya beruban muncul. “Karena kita bawa dia pulang terlalu cepat, dia masih harus dirawat, Ma. Setidaknya satu minggu, kata dokter,” jelas pria itu. Aku tidak tahu namanya, karena dokter hanya memanggilnya ‘Pak’ tanpa dilebih-lebihkan. “Okey. Dia bisa tinggal di kamar pembantu sampai sembuh. Ya ... setidaknya Papa tidak perlu bolak-balik dari rumah ke rumah sakit cuman buat nengokin dia.” “Iya, Ma,” ucap pria itu. Aku turun dari ranjang pasien. Saat akan meraih tas milikku, pria dewasa itu mengambil alih dengan cepat. “Biar saya bawakan. Lengan kamu masih sakit.” Begitu jawabannya. “Terima kasih.” Mungkin ini pertama kalinya aku mengeluarkan suara semenjak sadar dari pingsan. “Ini tanggung jawab saya.” “Papa.” Nyonya Erisha yang sudah melewati pintu memanggil dengan nada kesal. Orang baik ini segera menyusul, dan aku mengekor di belakangnya. Menggunakan mobil, menempuh waktu sekitar 40 menit hingga sampai di sebuah rumah besar. Mulutku terbuka melihat kemegahan bangunan berlantai empat tersebut. “Kampungan!” Aku terperanjat mendengar kata tersebut dari Nyonya Erisha. Sama sekali tidak keberatan, karena ekspresiku memang demikian. Kampungan. Kepalaku menunduk, merasa malu dengan perbuatan sendiri. “Ayo masuk.” Pria baik hati itu mengajak sesaat setelah turun dari mobil. “Oh ya, siapa nama kamu? Saya lupa?” tanyanya. “Via, Pak.” “Okey, Via. Anggap saja rumah sendiri, ya?” Senyuman pria baik hati itu membuatku ikut tersenyum. Pelan, aku mengangguk. “Tapi jangan sampai melonjak. Kamu tinggal di kamar pembantu.” Nyonya Erisha menyahut. “Ma, kita bisa bahas itu di dalam.” Pasangan berusia senja itu masuk terlebih dahulu, aku menyusul di belakang. Semakin terpesona, aku berusaha untuk tidak menganga lebar yang menyebabkan liur bisa saja terjatuh. Jangan kampungan, Via. Saat aku meluruskan pandangan ke depan, bersama dengan itu kepalaku menubruk benda keras. Kaki mundur otomatis beberapa langkah, kemudian mendongak objek yang kutabrak. “s**t!” Wajah pria berusia sekitar 27 tahun itu tampak jijik. Oh ya, wajahku memang terdapat bekas luka akibat kecelakaan dua hari lalu. Apa mungkin karena itu? Wajahku merunduk, salah tingkah. “Mama bawa apaan sih ini?” Pria itu menjauh, sehingga aku merasa memiliki sedikit ruang untuk mengangkat sedikit wajahku. “Mual lihatnya, Ma.” “Alfan. Jaga sikap kamu.” Pria baik hati berujar. “Aku bicara sama Mama, bukan Papa. Ah, makin males aku pulang.” Alfan- begitu nama pria itu dari yang aku tangkap- menghampiriku. Sekali menggeser tubuhku ke samping, hampir membuatku terjungkal. Untunglah refleks bekerja cepat, bisa berpegangan di dinding. “Gembel.” Pemuda itu mengumpat tepat di sampingku. “Dasar Om jahat!” pekik seorang anak kecil mengalihkan perhatianku. “Oma, boneka Chayra kepenggal kepalanya. Om Alfan masa mau belajar sembelih pake boneka kesayangan Chayra.” Dia dengan manja menunjukkan boneka sapinya yang sudah terpisah dengan kepalanya. “Nanti beli baru.” Nyonya Erisha menjawab singkat. “RISTA!” Nyonya Erisha berteriak lantang sembari melangkah semakin masuk. “Hei, sini!” Aku memanggil anak kecil itu. Merasa gemas dengan wajah putihnya, terutama pada kedua pipi yang begitu bulat. Mata cokelatnya memancing simpatiku hingga aku merasa sangat menyukainya. “Kenapa?” Gadis kecil itu bertanya judes. Sama sekali tidak sakit hati, malah membuatku semakin gemas dengannya. “Sini bonekanya.” Telapak tanganku menengadah ke atas, tepat di hadapan bonekanya. “Tante mau ikutan sembelih boneka Chayra?” Aku menggeleng hampir saat dia menanyakan hal tersebut. “Nggak. Tante cuman mau perbaiki. Bisa kan?” Bibir tipisnya yang merah muda cemberut. Namun, dia tetap mengulurkan kedua tangannya, menyerahkan badan dan kepala sapi tersebut. “Nanti malam, Tante kembaliin, ya? Boneka Chayra pasti sudah bagus lagi.” “Janji, ya? Ini pemberian Mommy.” Kelingking mungilnya teracung. Aku langsung melingkarkan kelingkingku. “Iya.” “Maaf.” Sebuah suara jernih menghentikan obrolanku dengan Chayra. Wajah ramah dari wanita berpakaian pelayan membuatku ikut tersenyum tipis. “Ayo, aku bawa kamu ke kamar kamu,” lanjut wanita itu. Tubuhku berdiri. Saat wanita itu berjalan terdahulu, aku mengekor di belakangnya. “Orang kaya tuh, angkuh banget, ya? Aku lihat pas Tuan Alfan perlakuin kamu kayak gitu. Kamu mah mending cuman digituin, aku dulu lebih parah lagi.” Wanita di depanku ini berceloteh saat memasuki sebuah lorong sepi. “Kalau bukan karena gajinya yang gede, ogah aku kerja di sini.” “Ini kamar kamu.” Dia berhenti mendadak di hadapan sebuah pintu. “Di dalam, aku juga sediakan koper yang isinya pakaian. Mereka itu seleranya tinggi, nggak bisa mata mereka lihat yang dekil-dekil kayak pakaian kamu. Jadi, selama kamu tinggal di sini, sebaiknya pakai pakaian yang aku sediakan. Okey?” “Iya, Mbak. Terima kasih.” “Oh ya, aku Rista. Nama kamu siapa?” Wanita itu mengulurkan tangannya. Segera kubalas dengan jabatan tangan. “Via.” “Okey, Via. Selama kamu di sini, siapin hati karena kata-kata keluarga di sini nggak berperasaan banget. Kecuali Pak Ahyar— suaminya Nyonya Erisha, sama Tuan Althaf. Eh, Nona Chayra juga baik. Eh, berarti sisa Nyonya Erisha sama Tuan Alfan yang jahat.” Mbak Rista berpikir mengenai kalimatnya sendiri. “Walaupun cuman dua orang yang jahat, tapi mereka berdua yang seperti menguasai rumah ini. Kamu hati-hati sama mereka.” “Iya. Terima kasih.” “Sama-sama. Aku balik kerja lagi, ya?” “Iya, Mbak.” Kenop pintu aku putar setelah Mbak Rista menjauh. Ruangan berukuran empat meter persegi menyambut. Hanya ada sebuah tempat tidur seukuran dengan milikku di kampung, lemari, dan koper besar di dalamnya. Penampilan sendiri aku nilai. Pakaian yang aku bawa dari kampung memang tidak ada apa-apanya dengan yang ada di dalam koper. Pantas saja jika mereka merasa jijik. Maka aku memakai salah satu pakaian yang pantas. Lalu, semua pakaian dalam koper dimasukkan ke dalam lemari. Pada pakaian terakhir, aku melihat boneka sapi milik Chayra. Senyumku terbit. Awalnya tidak tahu tujuan jarum jahit dan benang yang terbawa dalam tas. Tapi, ternyata berguna untuk sekarang ini. *** Mbak Rista melarangku untuk keluar dari kamar, lagi-lagi karena orang kaya itu takut dengan ‘gembel’ seperti diriku. Maka untuk makan siang dan malam, Mbak Rista harus kerepotan membawakannya untukku. Selimut aku tarik, bersiap untuk tidur. Namun, ketukan pintu mencegah. Jilbab yang sempat kutanggalkan, diraih kembali. Meski aku yakin, sebenarnya itu pasti Mbak Rista yang ingin memberikan informasi tambahan. Namun, saat aku membuka pintu, tubuh tegap seorang pria yang muncul. Mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut. Pandangan kami bertubrukan beberapa detik, lalu aku memutusnya demi bisa melihat bidadari kecil yang menggenggam tangan pria itu. “Chayra cariin Tante ke mana-mana. Chayra kira, Tante bawa lari boneka Chayra.” Gadis itu bersuara nyaring. “Mana boneka Chayra.” Dia mengulurkan tangan. “Sebentar, ya.” Aku masuk kembali, mengambil boneka Chayra yang sudah kembali utuh. Di depan Chayra aku berjongkok. Selain untuk semakin dekat dengan Chayra, aku juga ingin menghindari tatapan pria itu. Terlalu tajam. Membuatku merasa salah tingkah. “Ini bonekanya Chayra.” “Boneka Chayra nggak jadi mati.” Dia memeluk erat boneka kesayangannya. “Dad, uncle Alfan harus dihukum berat. I don't like him. Uncle Alfan datang cuman buat ganggu princess-nya Daddy.” Chayra mendongak pada pria itu. “Siap, Princess.” Pria itu menunduk untuk membawa Chayra dalam gendongannya. “Now, Chayra go to sleep. OK?” “OK, Dad.” Pria itu berlalu begitu saja. Aku masih memandangi punggung tegapnya sampai menghilang di belokan lorong. Sepi. Tersisa suara keras dari dalam dadaku, pada jantung yang berdetak keras. Karena pria itu. Apa istimewanya dia? *** Semenjak memperbaiki boneka Chayra, dia semakin dekat denganku. Saat ada masalah di sekolahnya, dia melaporkannya padaku. Atau saat dia kesulitan tidur, dia memanggilku untuk membacakan cerita. Selama beberapa hari tinggal di rumah mewah ini, aku jadi tahu sedikit mengenai perangai mereka. Tuan Althaf, ayah Chayra, jarang pulang karena sibuk dengan pekerjaan. Ibunya pergi ke luar negeri setelah berpisah dengan Tuan Althaf. Karena itulah, Chayra sering mengeluh kesepian. Hanya hitungan hari, mulai muncul sebuah ikatan antara kami. Aku merasa sulit harus meninggalkan Chayra. Namun, Nyonya Erisha memerintahkanku untuk segera pergi mengingat keadaanku sudah membaik sepenuhnya setelah seminggu di rumah ini. “Chayra jangan sedih, ya? Nanti, kapan-kapan, Tante bakalan main ke sini lagi.” Janji palsu terpaksa aku berikan karena tidak bisa melihat kesedihan di wajahnya. “Kapan? Aish ... Chayra mau ikut Tante aja, ya? Ya? Ya?” Dia merengek sembari menarik-narik bajuku. Ritsleting koper aku tutup. Keluarga baik ini memintaku untuk membawa semua pakaian pemberian mereka ke kampung. Kedua bahu Chayra aku pegang agar dia bisa fokus padaku. “Nanti kan ada Daddy yang bakal bacain Chayra dongeng.” “Daddy's voice is bad. Chayra nggak suka denger suara Daddy.” Aku nyaris tertawa mendengar keluguannya. “Terus kalau Om Alfan balik lagi terus sembelih boneka Chayra lagi, gimana? Nggak ada yang bisa baikin boneka Chayra lagi,” keluh Chayra lagi. “Kan ada Mbak Rista.” “Tapi dia selalu sibuk urus Oma.” “Kan ada pelayan lain di sini.” “Tapi, Chayra cuman suka Tante. Chayra nggak mau yang lain.” Dia semakin menambah rengekannya. “Via ...!” Mbak Rista berdiri di ambang pintu. Aku memenuhi panggilannya. “Pak Ahyar panggil kamu di ruang tengah.” “Baik, Mbak.” Aku menoleh sebentar pada Chayra. “Tante mau ketemu sama Opa. Chayra mau ikut?” “No.” Chayra menggeleng yakin. “Okey. Tetap di situ sampai Tante datang, okey?” Chayra mengangguk. Aku menuju ke ruang tengah seperti yang diberitahukan Mbak Rista. Di sana, Pak Ahyar sedang membaca koran di hadapannya. “Permisi, Pak.” Aku meminta izin. “Oh, Via. Ayo masuk.” Pak Ahyar memperbaiki duduknya. Wajah hangatnya itu membuat semua lawan bicara merasa nyaman sekaligus segan dengannya, pun aku. “Langsung saja. Ini untuk biaya kamu ke kampung.” Sebuah amplop beliau sodorkan di atas meja, ke arahku. Aku menerimanya ragu-ragu. Pak Ahyar memang pernah membicarakan hal ini, tentang kesediaan beliau membayar biaya pulang kampung. Namun, saat melihat isi amplop, aku tertegun. “Ini terlalu banyak, Pak. Kalau untuk pertanggungjawaban Anda, ini sepertinya terlalu berlebihan. Saya sudah baik-baik saja,” kilahku. “Itu sebagai ucapan terimakasih karena sudah menjaga Chayra selama kamu di sini.” “Saya ikhlas menjaganya, Pak.” “Dan saya pun ikhlas memberikannya.” Aku terdiam sejenak, sejujurnya ingin mengambil uang ini demi biaya di kampung nanti. Namun, rasanya tidak enak dengan semua kebaikan Pak Ahyar selama ini. “Tidak perlu dipikirkan. Kamu terima saja uang itu,” kata Pak Ahyar. “Terima kasih banyak, Pak.” “Ya. Sama-sama.” Saat kembali ke kamar, Chayra ternyata sudah pergi. Aku menarik koper besar ini yang ternyata cukup berat. Dengan diantar salah satu supir, aku menuju stasiun. Saat sudah berada dalam kereta, aku dikejutkan oleh koper yang bergerak-gerak. Tanganku terlepas. Pemandangan tersebut menarik perhatian beberapa penumpang. Mereka pun panik seperti diriku. Aku tidak membawa hewan berbahaya di dalam kan? “Coba periksa! Itu koper siapa! Jangan-jangan, ular di dalam!” seru salah satu penumpang. Namun, anggapan mereka langsung salah saat suara dari dalam koper terdengar. “Tante! Tante! Buka kopernya!” Itu suara Chayra. Aku langsung maju dan membuka koper. Dia berkeringat di dalamnya. Semua orang memandangiku dengan tatapan ‘penculik’. “Tante, Chayra mau ikut Tante!” ucap Chayra lalu memelukku. Syukurlah, semua orang kembali bersikap normal. “Kenapa masuk ke dalam koper?” “Kalau Chayra bilang sama Tante, Tante pasti nggak bakalan izinin kan?” “Tapi nanti, Daddy marah. Gimana?” “Chayra marahin balik.” “Sekarang, kita telepon Daddy dulu ya?” Aku ingin turun dari kereta, tetapi terlambat. Bunyi dengung terdengar nyaring. Semuanya bergerak saat kereta mulai berjalan. Aku mulai panik. Sementara aku sendiri tidak memiliki hape sama sekali. “Astaga, ini gimana? Aku nanti dikira culik anak orang,” gumamku panik. Namun, ekspresi sebaliknya ditunjukkan Chayra. Dia begitu antusias melihat keluar jendela. Aku mendengkus ringan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD