Siang itu Vega sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia baru memeriksa tabungannya dan sadar bahwa setelah membayar SPP kuliah dan biaya praktikum, uangnya sudah sangat menipis.
Setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil sepuluh tahun lalu, harta peninggalan ayahnya yang dikelola oleh pamannya berkurang dengan sangat cepat. Bahkan ketika Vega lulus SMP, tahu-tahu pamannya lepas tangan dan kabur membiarkan Vega sendirian di rumah peninggalan orang tuanya yang digadaikan ke bank.
Kalau bukan karena bantuan Andi, sahabatnya dari SMP, Vega tidak mungkin dapat melanjutkan pendidikannya. Vega tidak pernah sesedih tanggal 1 Juli tiga tahun lalu, ketika pihak bank datang dan mengusirnya keluar, meninggalkan rumah yang penuh kenangan bersama ayah dan ibunya selama delapan tahun.
Andi yang membujuk orang tuanya untuk menampung Vega sementara mereka berusaha mencari pamannya yang tidak bertanggung jawab itu, dan semua saudara jauh yang bisa dimintai tolong. Akhirnya seorang kerabat yang selama ini tidak pernah ditemui Vega berhasil ditemukan dan ia bersedia agar namanya digunakan untuk segala keperluan menjadi wali Vega.
Andi pula yang menggalang dana dari teman-teman sekolah mereka agar Vega dapat mendaftar ke SMA dan sekolah bersamanya. Selama setahun pertama SMA, Vega tinggal bersama Andi, tetapi di tahun kedua ia merasa terlalu malu telah merepotkan orang lain, ia lalu mencari pekerjaan sambilan dan pindah ke kamar kost di dekat sekolah.
Demikianlah, sejak umur 16 tahun Vega telah hidup mandiri dan mengurus dirinya sendiri. Ia bekerja di toko milik teman sekelasnya sepanjang sore dan malam hari sambil membawa buku pelajarannya dan di akhir pekan ia kadang-kadang ikut Kak Anna, kakak Andi untuk menjadi SPG.
Dengan hidup sangat hemat, ia berhasil mengumpulkan uang selama dua tahun untuk biaya kuliahnya. Walaupun masuk universitas negeri biayanya tidak semahal swasta, namun tetap saja, untuk seorang gadis miskin berusia belum 18 tahun, itu adalah pengeluaran yang mengambil semua tabungan hidupnya.
Vega memaksakan diri untuk kuliah karena ia tahu bila ia belajar keras dan menjadi siswa berprestasi ia bisa mengajukan beasiswa. Sayangnya, ia baru bisa mengajukan beasiswa di semester dua, karena menunggu hasil nilai-nilai semester 1 keluar.
Sementara itu... bagaimana ia bisa bertahan selama semester pertama ini...?
Ia sadar pekerjaan menjaga toko tidak akan cukup untuk membiayai ongkosnya pulang-pergi ke kampus, biaya makan, modul kuliah, dan lain-lain.
Dengan sedih ia menutup aplikasi mobile-bankingnya. Tidak mau berlama-lama melihat angka 120.000 yang ada di sana. Kalaupun ia mau menarik uang dari ATM, ia harus meninggalkan saldo minimal, sehingga yang bisa diambilnya hanya 50rb saja.
Di dompetnya sekarang hanya tersisa uang 40 ribu. Sementara gajinya dari toko baru akan diperolehnya akhir minggu depan. Itu juga akan dipotong cukup banyak karena ia sakit demam berdarah dua minggu dan tidak bisa masuk kerja. Berarti selama 12 hari ini ia harus bisa bertahan dengan total uang tidak sampai seratus ribu.
"Hei... Vega, lagi melamun apa?" tegur Rara yang berlari mendekati Vega. Ia melihat wajah gadis itu yang tampak lesu.
Vega hanya menggeleng lemah. "Tidak ada apa-apa. Sesudah ini kita ada kuliah umum satu lagi. Kira-kira dosennya masuk nggak ya?"
"Barusan dikabari mahasiswa sebelah, dosennya nggak masuk. Jadi kita jam bebas. Ke kantin yuk!!"
Vega menelan ludah. Ia sih mau saja ke kantin, tetapi selama ini, walaupun ia sudah berusaha tidak membeli apa-apa, rasanya selalu canggung kalau ia duduk dan mengobrol di antara teman-temannya tanpa setidaknya meminum sesuatu.
Ia sudah belajar untuk membawa gula kemana-mana, sehingga bila mereka memesan minuman ia bisa memesan teh panas tawar yang paling murah seharga dua ribu rupiah dan menambahkan sendiri gula ke dalamnya. Ini lebih baik dibandingkan memesan es teh manis seharga lima ribu.
Tapi hari ini, setelah mengecek saldo tabungannya yang menyedihkan, bahkan untuk mengeluarkan uang dua ribu rupiah saja rasanya Vega tidak rela.
Ia mesti mencari alasan untuk menghindar.
"Uhm, aku mau ke perpustakaan saja ya. Ada bahan tugas yang mesti kucari," katanya mencari alasan. Setidaknya di perpustakaan ia bisa mencari sudut yang sepi dan tidur siang.
Karena tidak henti-hentinya kuliah dan kemudian bekerja, Vega sering merasa mengantuk di kelas. Tidurnya tidak pernah cukup. Subuh-subuh ia sudah harus meninggalkan kamar kost-nya di kota Bandung dan menuju kampus yang jaraknya dua jam perjalanan, lalu setelah kuliah, ia harus kembali pulang dan menempuh jarak yang sama, dilanjutkan dengan bekerja di toko hingga larut malam.
Seandainya ia dapat memperoleh pekerjaan part time di dekat kampus, mungkin ia akan pindah saja, agar tidak perlu menghabiskan sangat banyak waktu di jalan, sayangnya selama dua minggu ini mencari-cari info pekerjaan, ia tidak juga mendapatkan hasil.
"Hmm... nggak seru, deh. Kamu ngapain sih di perpustakaan?" Rara merengut. Ia menoleh ke arah kantin yang tampak sangat menggoda, lalu ke arah perpustakaan yang sunyi, berusaha menimbang pilihannya.
"Raaa... ke kantin yuk!" Rio yang baru datang melambai-lambaikan kunci mobilnya.
Ia beruntung mendapatkan parkir yang masih kosong di depan gedung kuliah. Biasanya jam segini, semua ruang parkir sudah penuh dan ia harus menaruh mobilnya di luar kompleks Fakultas Sastra. Wajahnya tampak senang sekali karena mendapatkan parkir di lokasi dalam fakultas rasanya sama seperti memenangkan perang bagi para mahasiswa.
Melihat Rio hendak ke kantin, Rara langsung dapat mengambil keputusan dan meninggalkan Vega.
"Oke, deh... aku sama Rio ke kantin yaaa.. Kita ketemu di kelas Comprehension sesudah jam makan siang," kata Rara sebelum menghampiri Rio.
"Bye," kata Vega pelan. Ia lalu berjalan menuju perpustakaan dan segera menyelinap ke bagian paling belakang dan paling sepi, di antara rak buku-buku kuno yang tidak pernah dilirik manusia.
Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa, Vega lalu menaruh sebuah buku jurnal yang sangat besar di meja, membukanya lebar-lebar dengan posisi berdiri, lalu membenamkan wajahnya di meja, ditutupi buku itu, dan menikmati tidur siang yang menyenangkan.
Kalau nanti pustakawan datang atau ada pengunjung perpustakaan yang memergokinya di sini, ia tidak langsung ketahuan sedang tidur.
Baru setengah jam Vega menikmati istirahat yang sangat dibutuhkannya, seorang pemuda masuk membawa jurnal besar ke sudut yang tersembunyi oleh rak buku-buku kuno itu. Langkahnya seketika terhenti ketika melihat seseorang telah mendahuluinya di sana.
Rune menyipitkan matanya melihat seseorang membuka sebuah jurnal mirip seperti yang dibawanya. Ketika ia mendekat, alangkah kagetnya dosen muda ini ketika melihat gadis yang mendahuluinya itu ternyata sama sekali tidak membaca, melainkan tidur.
Ish... pikirnya. Sesungguhnya sudut buku kuno ini juga merupakan tempat favoritnya untuk tidur sedari dulu. Ia selalu merasa aman dan dapat beristirahat di sini kapan pun ia suka karena rata-rata pengunjung tidak akan mendatangi area yang terlihat sangat membosankan ini.
Tetapi kini, bukan hanya area kesukaannya ini didatangi seorang pengunjung. Gadis itu malah dengan seenaknya mengambil spot ia biasa tidur!
Untuk beberapa lama Rune tampak berpikir, apa yang harus ia lakukan. Mengusir penyusup ini? Rasanya ia tidak berhak. Karena walaupun ia seorang dosen, tetapi perpustakaan adalah area milik umum.
Kembali ke kantor dosen? Bah... ia sedang malas bersosialisasi dengan sesama dosen. Lagipula... tempat ini cukup luas kok untuk digunakan berdua.
Akhirnya ia mengambil keputusan. Rune menaruh jurnal besarnya dalam posisi persis seperti jurnal Vega dan mengambil duduk di sampingnya. Dengan cuek ia lalu menaruh kepalanya di meja dan tidur mengikuti gadis itu.
Ia sudah memasang alarm selama 45 menit. Pukul 11 ia harus makan siang dan menyiapkan kelas berikutnya, tidak boleh bablas ketiduran.
***
Alarm Rune berbunyi tepat pukul 11.00 dan membangunkan kedua orang yang sedang asyik tidur di bagian koleksi buku langka itu.
"Astaga...! Bunyi apa itu??" cetus Vega sambil mengangkat kepalanya dari balik buku. Tanpa sengaja tangannya menyapu ke sekelilingnya, menjatuhkan buku yang menyembunyikannya sedari tadi, juga buku Rune, dan terakhir menampar pipi sang dosen muda yang baru mengangkat kepalanya.
"Eh... kenapa kamu pukul saya?" desis Rune sambil memegang pipinya yang barusan terkena tangan Vega.
Gadis itu seketika membeku di tempatnya.
"Astaga... Ba.. Bapak ngapain di sini?" serunya kaget.
"Bapak.. Bapak... kamu main pukul saja, ya.. nggak lihat-lihat sekeliling." Rune mengelus-elus pipinya dan kemudian membereskan buku jurnalnya dan menaruhnya di lemari. "Seharusnya saya yang tanya kamu ngapain di sini. Dari dulu ini tempat favorit saya untuk tidur."
"Oh... " Vega hanya bisa termangu mendengarnya. Ia sama sekali tak mengira Rune sering mencuri tidur di perpustakaan juga seperti dirinya. "Maafkan saya.. Saya nggak tahu Bapak sering ke sini. Nanti saya cari tempat lain deh..."
Ia buru-buru membereskan jurnalnya lalu membungkuk beberapa kali kepada Rune, kemudian kabur secepatnya dari perpustakaan.
Pfew...
Ya Tuhan, mimpi apa semalam, dipergoki tidur di perpustakaan oleh seorang dosen!
Vega mengomel-ngomel dalam hati dan tergesa-gesa mencari teman-temannya di kantin. Mata kuliah selanjutnya masih satu jam lagi dan ia sudah merasa tidak nyaman berlama-lama di perpustakaan, maka mau tidak mau ia terpaksa harus mengorbankan uang dua ribu rupiahnya dan membeli teh panas untuk ngobrol bersama teman-temannya.
BRUKK..!!
"Heiii.. ! Lihat-lihat dong kalau jalan.." tegur seorang pemuda yang barusan ditabrak Vega saat masuk lewat pintu kantin yang terbuka lebar. Pandangannya memang tidak fokus, berusaha menghitung sisa uangnya dan mencari teman-temannya.
"Eh.. aduh, maaf..." Vega memegangi pipinya yang sakit karena barusan kepalanya menghantam bahu kanan seorang pemuda tampan berpenampilan acak-acakan dan mengenakan anting di telinga kirinya. Ketika Vega mengangkat wajahnya, ia seketika terpaku di tempatnya. Ia telah mengenali Altair. Gadis itu ingat ia belum mengucapkan terima kasih dengan sepatutnya waktu itu. Ia akhirnya membungkuk sedikit. "Te... terima kasih waktu itu aku sudah boleh menebeng..."
Altair hendak menjawab sesuatu ketika tiba-tiba Felicity tiba di sampingnya.
"Terima kasih kenapa?" tanya gadis itu dengan nada mengejek. Vega menoleh ke arahnya dan seketika menjadi tidak enak. Ia mendengar bahwa Felicity adalah kekasih Altair. Tentu gadis itu akan cemburu kalau mendengar pacarnya membonceng gadis lain ke kampus.
"Uhm... tidak apa-apa..." Vega memandang Altair berusaha memohon maaf karena menimbulkan masalah antara pemuda itu dengan kekasihnya. "Aku permisi."
"Heiii!! Vega!! Ke sini, dong!! Rio ulang tahun nih, dia mau traktir semua orang makan siang!!" jerit Rara dengan tidak tahu malu, menggemparkan seisi kantin.
"Eh.. iya, sebentar, aku ke sana!" Vega melambai ke arah Rara di sudut kantin dan merasa lega karena ia bisa melepaskan diri dari situasi canggung antara dirinya dan Altair dan Felicity.
"Vega?" Felicity mengerutkan keningnya dan menatap Altair dengan pandangan menyelidik ketika Vega sudah berlari meninggalkan mereka.
Altair mengangkat bahu dan berjalan pergi dengan tangan di saku. Felicity berlari mengejarnya dan menarik tangan Altair.
"Altair... kamu tahu dia Vega? Apakah Vega yang itu?" tanya Felicity dengan nada suara mendesak.
Altair tidak menjawab. Ia juga tidak melepaskan gandengan tangan Felicity pada lengannya. Ia terlihat tidak peduli pada apa pun.
Vega hanya dapat menatap kedua orang itu dari jendela kantin dengan d**a bergemuruh. Ia tadi sangat terkejut saat menubruk tubuh Altair di depan pintu, tetapi di saat tubuh mereka bertemu itu, entah kenapa ia merasakan dadanya berdebar-debar.
Apakah... ini memang Altair-nya? Ini adalah pertanyaan yang terus menerus ia ajukan kepada dirinya sendiri selama beberapa minggu terakhir ini.
Jauh sebelum mereka bertemu Vega telah menyimpan khayalan tentang sosok pemuda itu. Ia telah melihat foto ayah Altair sewaktu muda dan ia mengerti kenapa ibunya jatuh cinta kepada pria itu. Kalau seandainya pria yang dicintai ibunya memang mempunyai seorang anak lelaki, tentu ia akan setampan ayahnya.
Vega telah jatuh cinta pada sosok Altair bahkan sebelum mereka bertemu, bahkan sebelum ia mengetahui bila Altair memang sungguh-sungguh ada. Dan kini, saat mengetahui bahwa ada seorang pemuda di kampus yang memiliki nama Altair, dan ia terlihat mirip dengan sosok pria yang dicintai ibunya, Vega mulai merasa resah.
Bagaimana bila itu memang Altair-nya?
Pemuda itu sangat populer, sementara Vega bukanlah siapa-siapa...
Dan sepertinya Altair juga sudah mempunyai pacar yang luar biasa cantik dan berasal dari kalangan berada.
Vega hanya bisa menggigit bibir dan berusaha melupakan sosok Altair dan Felicity yang berjalan bergandengan menuju mobilnya.