Act 10-5

1160 Words
Ari "Hoi! Ayo maju! Masuk kita!" Suara Ayah dari ujung lorong. Aku dan Baron segera berdiri, lalu keluar ruangan. Arfan dan Ayah sudah bersiap di kedua sisi lorong, mereka pun masuk lebih dahulu ketika kami mendekati ujung lorong. (Bunyi tembakan bertubi-tubi) Asap putih pekat disertai bau gosong yang menyengat langsung menyelimutiku sesaat setelah melangkah masuk ke ruangan ini. Delapan mayat polisi bergeletakan di seluruh ruangan, mereka tampak telah terluka dan hanya menggenggam pistol. Ayah baru saja membantai polisi-polisi yang terluka akibat pertempuran. "KELUAR! TANGAN DI ATAS!" perintah Ayah. "Anjing! Mati aja kalian teroris!" Maki seseorang dari balik tumpukan karung beras. Ruangan aula seukuran kelas di sekolah ini, rupanya tempat menyimpan makanan serta senjata, dan kami baru saja meledakannya. "Hei! Hei! Jangan tembak! Teman saya terluka!" Sahut sosok lain di sisi kanan bangunan. "b*****t lo Nu! Pengkhianat!" Jawab polisi di sisi kiri. "Udah selesai Jar!" Kita kalah! Hidup atau mati!" "Hidup terhina, atau mati terhormat!" Polisi di sebelah kiri tiba-tiba berdiri dari balik tumpukan karung beras, dengan senapan yang diarahkan ke kami. "TEMBAK! TEMBAK!" Jerit Baron panik, ia tak memegang senjata api. (Bunyi  rentetan tembakan bersamaan) Polisi itu terdorong ke belakang hingga terpaku di dinding, peluru demi peluru dari tiga AK-101 menghujani tubuhnya. Senjatanya terpicu dan menembaki langit-langit ketika ia menerima hantaman peluru-peluru kami, karung beras di depannya pecah dan menghamburkan butiran-butiran beras. Dar! Dar! Dar! Ayah lanjut menembaki dua sosok lain yang bersembunyi juga di sisi kanan bangunan. "HEI! HEI! TOLONG! BERHENTI!" jeritnya. Ayah kehabisan peluru, ia lalu meminta magasin ke Arfan untuk mengisi ulang senjata. Aku dan Baron dengan cepat menghampiri sosok itu tanpa menembak, sebelum mereka dibunuh Ayah. "BERDIRI! TANGAN TERLEBIH DAHULU!" Perintahku dengan suara sekencang mungkin. Kupingku kembali berdering akibat ledakan bom pipa dan tembak-menembak tadi, kemungkinan besar merekapun begitu. "OKE! OKE! JANGAN TEMBAK! KITA KELUAR PERLAHAN," balasnya. Kedua sosok itu mengeluarkan tangannya, dan salah satunya perlahan-lahan berdiri. "Tolong... Saya terluka. Gak bisa berdiri," Ujar salah satu dari mereka. "Sely..,." Ujar polisi yang tak terluka sambil menatap Ayah, Ayah yang penasaran mendengarnya segera menghampirinya. "Anda... Ayahnya Sely bukan?" tanyanya. Ayah tampak bingung  memikirkan sesuatu, ia menatap ke langit-langit sambil memutar balikkan tubuhnya. "Jakarta..." Ucap Ayah tiba-tiba, lalu membalikkan kembali tubuhnya menghadap kedua polisi tadi. "Kamu yang kasih kita senjata? Dan ransum?" "I... Iya Pak. Wisnu." balasnya. "Lah... Iya ya?" ujar Baron. "Wisnu.. Yang dua hari lalu berhentiin insiden di gerbang kan?" Wisnu menatap Baron, lalu menatapku, alisnya mengerut, tampak berusaha mengingat. "Ooh iya. Kamu yang dipukulin di mobil kan?" kenang Wisnu. "Iya." "Berarti Mas ini juga yang janji bakal datengin kita siang, atau sore dong? Kenapa gak muncul-muncul, Mas?" Tanyaku, teringat pada Wisnu dan janjinya menemui kami. "Gak boleh... Perwira kita gak ada yang setuju. Mereka lebih suka kita jadi penguasa daripada orang baik," elak Wisnu. "Kalau ada cara buat saya kasih tau kalian bahwa saya gak bisa bantu, saya udah coba! Mereka menahan saya buat tugas di dalam sini, bukan jaga gerbang lagi. Mereka gak pengen kita-kita yang gak cukup jahat ada di luar. Mereka pengen ada kericuhan, pengen ada dalih buat pengurangan populasi. Tiap ada kericuhan, mereka punya alasan buat menembaki kalian... Makanya, yang ditugaskan keluar itu selalu yang gak bisa nentang mereka. Kalian nyerbu masuk dan bantai kita di dalam sini tuh, lebih banyak bunuh anggota yang bakal rela lindungin kalian, daripada yang mau bunuh kalian." "Kenapa begitu?" tanyaku. "Sebagian besar loyalis para perwira dikirim keluar, waktu kalian mulai kericuhan dengan pembakaran tadi malam... Dari gelombang pertama yang kalian bantai, sama bala bantuannya. Mereka mungkin lagi ngejar keluarga kalian, membantai tanpa lihat umur dan gender. Kita yang gak suka sama dewan perwira, hampir semua ditahan di sini." "Sekarang dimana mereka?" tanya Ayah. "Perwira? Di gedung pusat, yang tiga lantai, di paling tengah. Pangkat paling tinggi ada Kombespol tiga orang, dan beberapa perwira di bawahnya. Palingan, sekarang mereka udah membentengi diri di lantai tiga. Kalau kalian habisi seisi markas juga, masih ada loyalis perwira dari gelombang bala bantuan di luar sana. Setelah ini, kalian kalau gak berhadapan sama polisi lagi, ya sama GEPAT." "Hah? G- E- P- A- T?" ejaku. "Iya–" "Udah. Gak ada waktu. Kalian kalau mau selamat, lepas semua atribut kalian, ikut kami." Ayah memotong pembicaraan, lalu mengajak kedua polisi pergi dari sini. "Sekarang, gimana?" celetuk Baron. "Cari lagi barang kita," balasku. "Cepet," potong Ayah, "Kita gak punya banyak waktu, bala bantuan mereka yang di luar sekarang pasti udah menyusun ulang kekuatan dan siap serbu balik benteng ini sekarang." "Amunisi, makanan, obat-obatan... Itu yang kita butuhin," Ujarku pada Arfan dan Baron. "Barang kalian..." sambung Wisnu. "Ransel, pistol, shotgun, saya tahu ada di mana. Biar saya ambil. Tapi tolong bantu teman saya ini lepas atribut sama seragamnya." Ayah mengangguk, Wisnu pun segera bergerak. "Ayo, bantuin saya bawa-bawanya." Ajak Wisnu padaku dan Baron, sementara Arfan dan Ayah membantu kawan Wisnu. Sepuluh menit sudah cukup bagi kami untuk mengumpulkan semua barang yang dicuri dari kami. Wisnu menunjukan di mana semua barang kami, terkecuali tas Reka dan Baron yang entah bagaimana terpisah sendiri, dan sudah ditemukan terlebih dahulu. Senapan D5 yang ditemukan Baron pun tak ada, menurut Wisnu ada polisi yang menyukainya lalu mengambil D5 Baron dan Reka. "Hmm... Ini... Buang aja lah. God damn Russian junk." (Sampah Rusia sialan.)–Aku meletakkan AK-101 jarahanku–"Gue cari senjata lain aja di luar." Ujarku pada Baron. "Kenapa emang?" tanya Baron. "Jammed mulu. Udah dua kali loh." "Itu bisa dari amunisinya jelek, atau emang larasnya gak bersih."–Wisnu menggendong tasnya, lalu membopong kawannya,–"Kalo mau, ambil aja itu di belakang, ada MCX tiga pucuk. Udah jelas kualitas SIG mah. Ambil sekalian hostler magasinnya, bawa magasin semuatnya." Aku dan Baron pun mengambil senjata yang dimaksud Wisnu, tiga pucuk SIG MCX yang menyerupai D5. Semuanya telah terkostumisasi dengan pegangan depan (grip) dan optik red dot, salah satunya bahkan telah mengenakan peredam. "Itu yang peredam punya saya," ujar kawan Wisnu. "Oh... Oke." Balasku tak jadi memiliki senapan berperedam. Kami memutuskan untuk tetap pada rencana setelah melihat kemungkinan besar polisi di benteng tak lama lagi akan terkalahkan, yaitu ambil barang-barang kita yang terampas, dan keluar dari benteng ini. Penyelesaian pertempuran bukan urusan kami, kami hanya ingin selamat. Kamipun keluar dari bangunan, Aldi sudah menunggu di pintu masuk sejak tadi. "Lama banget, buset!" keluh Aldi. "Ya maaf,"–Arfan mengoper tas milik Aldi–"Nih pake dulu. Abis itu bawa tas Dinda. Lo kan gak pegang senapan," pinta Arfan. "Keberuntungan kita masih banyak kan?" Tanya Arfan, sementara kami mundur untuk pergi meninggalkan benteng. "Semua ini? Dan ga ada luka kena peluru sedikit pun? I'd say we've just used our very last luck card," (Menurut gue kita baru saja make kartu keberuntungan terakhir kita," balas Baron. "Udahlah, beruntung gak beruntung... Sekarang kita fokus cari yang lain," pangkas Ayah. "Mungkin kita ga harus cari-cari mereka kalau sejak awal kita kasih tau harus kumpul dimana." Balasku sarkas,  Ayah lalu memandangku sekejap. Aku rasa kita terlalu ceroboh dan terburu-buru tadi, sampai-sampai tak memberitahu Ibu dan Sely harus kemana.  "Semoga mereka baik-baik saja," harapku. Kami meninggalkan benteng ini ketika pertempuran merebut bangunan terakhir para polisi sedang menyalak, matahari sudah berada di ujung timur, dedaunan di luar benteng terlihat hijau kembali. Briptu Wisnu sang penyelamat Sely dan kawannya, Bripda Roman ikut bersama kami. Semua atribut termasuk rompi dan helm mereka, dilepaskan agar tak dihadang massa ketika kami keluar.  Masing-masing dari kami keluar membopong ransel yang berisi makanan, obat-obatan, dan beberapa pucuk senjata api. Kini persenjataan kami meliput tiga pucuk MCX, dua pucuk AK-101, dua pistol milik pamanku, sepucuk Remington 870 dengan sisa munisi yang kritis, serta lima pistol MAG4 yang baru. Dengan persenjataan demikian lengkap, aku yakin halangan apapun dalam menuju Sukabumi dapat kami langkahi. Kecuali, jika ratusan ribu mayat hidup ada di hadapan kami.                                                                                         *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD