Act 20-4

1714 Words
Sely Matias memandangi Aldi dan Arfan, kedua pergelangan tangannya bersandar di sisi-sisi pinggangnya. "Kompor kalian menyala juga, kah?" tanya Matias. "Air kan bisa dipanasin pakai barang elektronik juga, Pak," jawab Aldi. "Iya, kan anda sudah tau kita punya listrik? Ini tuh termos elektrik, dan dari tempat anda berdiri bisa keliatan jelas kok." Sambung Arfan, dengan nada sinis. "Halah, kompor mereka juga nyala Lang." Sahut seorang anggota Matias padanya, ia baru kembali dari dapur. "Ada empat tabung LPG 3 kilo tuh di dapur, mereka udah stok begitu. Punya segalanya mereka, kenapa gak kita ambil aja? Masa karena dia,"–Ia menunjuk Ari–"Kita jadi tiba-tiba baik sama mereka?" sambungnya. "Eits, jangan mulai... Kau mau mempertanyakan keputusan aku lae? Tau kah, aku paling benci diragukan?" balas Matias. Anggotanya pun tampak kesal, Matias lalu melambaikan tangan dan menyuruhnya pergi. "Jadi, anda mau apa dari kita Pak?" timbrung Baron. Ia dan Ari duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Matias yang juga menikmati empuknya sofa kami. "Baiklah, karena kalian semua juga sudah berkumpul di sini... Mari kita mulai," kata Matias. Aku dan yang lain pun saling tatap menatap, kami seperti sudah tersambung dalam satu wadah kegelisahan. Lima anggota Matias berdiri di belakangnya, dengan senjata api yang tertenteng di tangan mereka. Rasanya kami sedang menjadi tawanan, hanya saja kami tawanan bersenjata. "Sebetulnya tak ada cara lain yang lebih imbal untuk membayar nyawa. Lex Talionis... Pernah dengar?" tutur Matias. "Mata... Dibalas mata?" jawab Arfan. "Ya! Betul. Nyawa, dibalas nyawa. Itulah keadilan yang saya, dan orang-orang saya tuntut dari kalian. Tapi buat saya, bayaran nyawa itu jadi impas saat nyawa saya tak jadi melayang..." ujar Matias. "Jadi, kami bisa bebas?" tanya Ari. "Tentu, tentu... Kalian boleh bebas. Setelah kontrak kalian berakhir dengan kami," kata Matias. "Apa-apaan? Kami gak pernah setuju buat terlibat kontrak sama kalian... Bisnis kita sebelumnya, itu terbatas di barter barang-barang esensial saja," balas Ari. "Ya, memang. Tapi setelah kekacauan yang kalian hasilkan, kalian automatis punya kontrak dengan kami; Malaikat Maut, di masing-masing kepala kalian." tutur Matias. "Tunggu, anda bilang gak akan ada kekerasan lagi ke kami?" Ujar Baron, ia berdiri dan menggenggam senapannya. Suasana tiba-tiba menegang, Ari, Reka, Aldi, Arfan, dan Dinda ikut berdiri dan mengeram senjata mereka masing-masing. Sementara itu, lima anggota Matias yang berdiri di belakangnya pun mulai menaikan ujung laras mereka. "Whoa-whoa... Tenang. Tenang! Kalian sepertinya salah persepsi." Seru Matias, yang ikut berdiri juga. "Saya barusan bukan mengancam kalian, tapi memperkenalkan diri kami semua. Kami adalah Malaikat Maut, atau kalau mau singkatnya... Sebut saja MaMa, hehehe," terang Matias. "Jadi, itu sebutan untuk gerombolan anda?" ucap Ari. "Gerombolan? Kami bukan gerombolan, ya! Kami ini orang-orang beradab, saya susah payah mendirikan dan menjaga etika untuk semua orang saya," balas Matias. "Orang beradab apa yang dateng bawa pasukan, dan bersenjata lengkap?" sahut Aldi. "Orang beradab yang mau tuntut keadilan, lah! Kalau kalian gak macam-macam dengan kami, kalian tak akan melihat kami mengepung rumah kalian dengan senjata sebanyak ini. Kau ini masih kecil lae, masih muda. Jangan bicara kaya kau lebih tau aja." Omel Matias pada Aldi. "Oke, oke cukup. Kontrak barusan, apa itu? Bisa jelaskan apa yang anda mau, Pak?" ujar Baron. "Bisa, tapi kita tenang dulu... Duduk dulu, oke?" pinta Matias. Baron dan Ari pun kembali duduk bersamaan dengan Matias, menurunkan suasana tegang. "I swear I'm gonna kick their boomer asses." (Sumpah gue bakal hajar para boomer ini.) Bisik Aldi pada Arfan, sementara mereka kembali duduk. "Gue juga pengen, dasar tukang ngatur sok berkuasa... Kita bisa lawan mereka pas mereka lengah. Bentar lagi kan hujan, dan mereka semua terpisah. Kalau cukup bisa koordinasi cepet, we might be able to pull this off." (Kita mungkin bisa lakukan itu.) Balas Arfan yang juga berbisik. "Terus apa? Kejebak di dalem sini sampe kiamat? Jangan macem-macem dulu deh, kita bisa tunggu momen kok." Sahutku pada Aldi dan Arfan. "Iya, kita tunggu aja mereka maunya apa. Kalau keterlaluan, I'm in." (Gue ikut.) Timbrung Dinda. Ari (Bunyi guntur dari luar) "Saya mau kalian bekerja untuk MaMa." Ujar Matias, sesaat setelah kami duduk. "Kalian akan berguna untuk tim pengepul kami. Tugas kalian hanya mencari dan mengepul barang-barang penting, demi mendukung kehidupan puluhan orang anggota MaMa. Jumlah dan jenis barang apa yang kami pinta, bisa jadi selalu berbeda. Nanti kalian akan diberitahu," terangnya. "Jadi kalian mau memperbudak kami?" potongku. "Mempekerjakan. Beda, ya. Kalian dapat tetap menentukan sendiri apa yang harus kalian lakukan hari demi hari... Tetapi kalian punya kewajiban setoran apa yang kami pinta, setiap empat hari sekali, dan wajib melapor pada kami bila kalian bertemu dengan kelompok penyintas lain. Kalau dalam konteks negara, kalian dapat yang namanya autonomi. Sebagian pendapatan kalian diserahkan ke pusat, dan komunikasi ke dunia luar harus melalui pusat. Pusat kalian adalah kami, MaMa,"  tutur Matias. "Anda bilang tadi kontrak... Ini gak terdengar kaya kontrak, tapi okupasi," ujar Baron. "Oh, ini kontrak kok." Kata Matias. "Kapan berakhirnya?" balas Baron. Matias menoleh ke belakang, saling bertatap dengan ketiga kerabat lelaki yang tewas di tangan Ayah. "Biar anak saya yang tentukan... Namanya Rendi, dia calon penerus MaMa kalau saya mati barusan," ujar Matias. Menerka dari wajahnya, Rendi sepertinya berumur sekitar tigapuluh tahun. Tubuhnya atletis, dengan rambut keriting yang mengembang, dan kulit sawo matang.  "Lelaki yang dia bunuh,"–Rendi menunjuk Ayah–"Umurnya tigapuluh empat tahun. Teman baik saya dari sejak sekolah, dan saudara kandung si Eko ini." Terang Rendi, sambil memegang pundak lelaki di sebelahnya. "Orang kau ini, bunuh dia demi hal yang gak begitu berharga. Kalau mau setidak-tidaknya pantas membayar kesalahan kalian, kami perlu kalian melakukan setoran sebanyak umur lelaki yang kalian bunuh," sambung Rendi. "Dan setiap setoran, wajib ada bir yang kalian curi minimal sepuluh kaleng. Saudara saya mati karena itu, saya gak mau tahu kalian harus bayar lebih banyak dari yang kalian curi!" Tambah Eko, yang berada di sebelah Rendi. "Itu mereka yang minta ya... Bisa kan kalian penuhi? Karenea saya sih udah gak bisa ganggu kemauan mereka," sahut Matias. "Jadi, tigapuluh empat kali setoran dan total tigaratus empatpuluh kaleng bir? Itu hampir mustahil buat dipenuhin, dan kalian bakal menahan kami selama empat bulan lebih juga... Sementara kami selalu berpindah tempat," balas Baron. "Ya itu baru bukan urusan saya... Kalian bisa cari ke mana saja, kalau perlu ke sukabumi sana. He he," kata Matias. "Bagaimana kalau, kita menuntut kemerdekaan?" ujarku. "... Maka berarti, ada dua pilihan... Kembali ke rencana awal kami, atau coba mempertahankan nyawa kalian dalam perang melawan pemerintah pusat," balas Matias. "Nah, supaya kalian gak mencoba hal membahayakan, seperti yang sedang kau pikirkan,"–Matias menunjukku–"Kami akan menyita semua amunisi kalian," pintanya. "Loh? Gak bisa dong Pak!" timbrung Ibu. "Anda tahu kami gak akan setuju dengan itu, Pak..." ujar Baron. "Gimana kami mau mempertahankan diri, cari barang-barang yang kalian tuntut, kalau gak ada senjata?" sahut Reka. "Anda kayaknya mau bunuh kita perlahan-lahan, ya?" ucapku. "Satu magasin." Ucap Matias, sambil membuka kacamata hitamnya. "Kami sisakan satu magasin untuk tiap senjata api kalian, dan sisanya kami bawa. Kalian bisa mempertahankan diri dengan itu, serta senjata tajam toh? Tak perlu banyak alasan lagi... Lagipula, saya gak memohon juga. Ini bukan negosiasi." "Lalu harus apa kami kalau pelurunya habis?" tanya Ibu. "Datang ke saya, jika butuh tambahan amunisi. Syaratnya? Harus habis total terlebih dahulu." Jawab Matias. "Datang ke mana? Saya tahu tempat kalian yang sebenarnya, bukan di tempat yang biasa kami kunjungi untuk barter. Itu terlalu kecil buat tampung pasukan sebanyak ini." Terka Baron, mencoba menggali. "Ya, memang betul... MaMa tersebar di seluruh kota ini. Yang kalian kunjungi, dan buat kekacauan kemarin, adalah salah satu pos kami," jelas Matias. "Kantor pusat MaMa bisa kalian temui di bekas bangunan sekolah, kau bisa temui saya di sana. Nanti Rendi akan beritahu lokasinya. Untuk saat ini, kita rehat saja dulu. Kontrak telah dibuat, dan kalian tak punya pilihan selain deal. Setelah hujan reda, kita akan mulai kontrak ini."  Matias meninggalkan ruang tamu, dan ke halaman rumah bersama tiga anggotanya. Sementara itu, hujan mulai mengguyur kota ini dengan intensitas tinggi. Angin kencang meniup kain-kain gorden, sesekali membanting pintu rumah yang terbuka, gemuruh guntur terus menggema tiap beberapa puluh detik sekali. Aku dan Baron berpindah duduk ke lantai di depan televisi 40 Inchi, dan bergabung bersama yang lain. Dua anggota MaMa masih berjaga di depan pintu rumah, mengawasi gerak-gerik kami. "What do we do now?" (Harus apa kita sekarang?) tanya Sely. Mengulang pertanyaan yang sama dari dua minggu yang lalu. "Kita jelas gak bisa lawan mereka, apalagi kalau peluru diambilin," kata Baron. "Bisa gak, kita sembunyiin beberapa magasin? Kalau gak bisa yang senapan, seenggaknya pistol," saran Aldi. "Bisa tuh! Lebih kecil, lebih gampang diumpetin walaupun mereka awasin melulu ruang senjata kita," balas Arfan. "Ya bisa... Tapi pistol gak bisa apa-apa, kalau mau lawan mereka. Apalagi kalau cuma tiga sampai empat pucuk, dengan magasin maksimal dua doang," sahutku. "Mereka udah punya daya gempur, dan ditambah amunisi dari kita ya makin kuat," sambung Baron. "Kalau kita mau lawan, kita gak bisa gegabah..." saran Reka. "Iya, langkah demi langkah. Kita mainin pakai otak, pakai kecerdasan. Kalau pakai otot aja, gak mungkin menang lawan mereka," ujar Ibu. "Jadi kita ikutin cara main mereka dulu aja? Mau sampai kapan?" kata Sely. "Sampai kita punya rencana mateng..." jawab Ibu. "Kayaknya, empat hari lagi adalah hari setoran pertama kita nih. Jadi, kita coba observe dulu mereka... Pelajarin bagaimana mereka bekerja, strategi mereka gimana," sambung Reka. "Dan kalau udah cukup pelajarin, kita make a move?" (Bergerak?) timbrung Dinda. "Dua kali setoran aja cukup gak ya?" kata Aldi. "Sabar dulu... Kalau punya ide, simpan dulu. Belom tentu cocok dipake lawan mereka dalam seminggu ke depan," balas Baron. "Apapun rencana kita nanti, pilihan kita juga bakal tetap cuma dua kalau udah berontak. Kita habisin mereka sampai gak bisa organisasi kekuatan macam ini lagi, atau kita kasih pukulan yang cukup buat kita bisa kabur dari kota ini, tanpa mereka buru." Tuturku, menyadari kami akan tetap berkutat pada dua pilihan saja.  Aku sangat berharap, kami bisa keluar dari lubang kotoran ini. Hidup dikendalikan dengan ketat oleh orang asing, bagiku merupakan salah satu resep untuk celaka di era yang mati... Belajar dari apa yang terjadi di Jatiluhur. "Let's say... We do fight them and we lost, where do we run?" (Mari bayangkan... Kita lawan mereka dan kalah, mau lari kemana kita?) Ujar Sely, yang lalu dipandangi semua orang. "Maaf, bukannya pesimis... Tapi kita perlu skenario terburuk juga, kan?" "Bagaimana kalau... Bandung?" jawab Reka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD