Act 14-1

1186 Words
                                                                                As Death Passes By Ari "Formasi macem apa yang bakal efektif hadapin recs sebanyak ini?" Tanyaku dengan ragu. "Entahlah, yang penting kita usaha bikin penghalang dulu. Rubuhkan sebanyak mungkin!" seru Dade. Ia baru saja mencetus sebuah rencana yang sebenarnya gambling, saat ajal tampak di depan mata. "Sebarin tembakan seluas-luasnya, jangan terfokus di depan kita aja. Kalo sama-sama, kita pasti bisa!" Ucap Wisnu menyemangati, seraya ratusan recs di hadapan kami mendekat, dan ribuan lainnya menyusul. Semua moncong senjata yang tersedia kini mengarah ke gerombolan recs, 14 orang dari kelompokku dan Dade berbaris memanjang. Tidak termasuk empat lain, yaitu Ibu, Arfan, Fitri, dan istri Dade yang berlindung di balik barisan. Sementara aku hanya melihat dua kelompok penyintas lain yang memilih bertahan melawan gerombolan recs, sisanya kabur menjemput ajal di tangan GEPAT. Dar! Tembakan pertama keluar, segera disusul dengan tembakan dari seluruh senjata lain. Tembakan pertamaku meleset, aku mencoba mensejajarkan titik merah pada optik red dot ke salah satu kepala recs sekali lagi. Dar! Meleset lagi, peluru menyasar ke recs di belakangnya. "The hell?" Gumamku, sambil menatap senapan MCX yang digadang akurat ini. Aku mencabut optik red dot secepat mungkin, lalu menaikan pisir dan pejera bawaan MCX yang terlipat. Dar!  Tembakanku kali ini merubuhkan recs yang terbidik. Tembakan-tembakan selanjutnya pun tepat sasaran. Klik!  Bunyi kamar peluru yang terkosongkan, aku segera mengganti magasin. Puluhan... Mungkin mendekati ratusan recs telah kami rubuhkan dalam kurang dari lima menit. Sebuah penghalang yang terbentuk dari puluhan mayat di tanah, menjatuhkan dan memperlambat gerak recs di depan kami. "Samping! Samping ketembus!" seru salah seorang keluarga Dade. "It's not working...." (Ini gak berhasil...) Ucap Sely yang berdiri di sebelahku. Gelombang recs yang mendekati kami dari sisi kiri dan kanan tak terbendung, meski untuk sesaat rencana ini tampak berhasil menghadang gelombang recs di depan kami. Aku bergerak ke sisi kanan, anggota keluarga Dade sepertinya sama sekali belum biasa menggunakan senjata api. Tangan mereka bergetar, mengganti magasin saja memakan waktu yang terlalu lama. Ratusan recs di sisi kanan telah melalui garis pertahanan kami, dan mendekat dari sisi kanan. Dar-Dar-Dar! Dar-Dar! Tembakan bertubi dari MCX-ku merubuhkan beberapa recs di sisi kanan. Tembakanku mulai tak terarah, aku mulai mempercepat tempo menekan pelatuk. Yang penting arahkan laras setinggi kepala, entah kepala recs mana yang akan kena. Da-da-da-da-da-da-da-da-dar! Tembakan automatis menyalak di belakangku, Ayah sepertinya mulai frustasi dan mengosongkan magasin AK-nya dalam mode tembak automatis. "AAAAH! GAK ABIS-ABIS!" bentaknya. DUAR! Bunyi tembakan keras. Ayah menjatuhkan AK-nya, lalu kembali menggunakan shotgun yang pelurunya tersisa 2 boks isi 10 butir lagi. "Pah? Gimana ini!" tanya istri Dade. Dade berhenti menembak, dan memutar otaknya untuk mencari ide lain. "Apapun yang bapak pikirin, keluarkan aja Pak! Secepatnya!" ucap Wisnu. Sementara kian banyak recs yang berusaha mendekat dari tiga sisi, menghamburkan separuh stok peluru yang kami punya. Tekanan semakin kuat, rasanya aku ingin menyerah dan menembak kepala sendiri sebelum digerogoti mayat lapar. "Intestines..." ucap Dade. "Apa? Organ dalam?" sahut Sely yang berada di dekat Dade. "Iya, organ dalam! Kita ambil mayat di depan, robek perutnya! Ingat, mereka berburu mengandalkan suara, pengelihatan, DAN AROMA," ujar Dade. "Lindungi saya, saya mau tarik satu atau dua mayat!" Ucapnya, sambil mendekati tumpukan mayat di depan kami. Sely menatapku dengan bibir yang mengecap "Hah?", kedua alis yang saling mendekat, dan kepala yang sedikit melenggang. Aku mengangkat pundakku, tak mengerti apa yang terlintas di benak dokter Dade. "Keluarin usus besarnya, organ dalamnya, apapun. Tapi akan bau banget. Baiknya tutup dulu hidung kalian dengan kapas." Perintah Dade, sambil membedah perut mayat yang baru ia seret, dari atas ke bawah. "Jangan bengong! Tetap fokus, oi! Bentak Baron, kala perhatian kami teralih sekejap pada Dade. "Wraargh! Argh!" Gerung recs yang menerkamku. "Anj–" Aku menahan dadanya dengan laras MCX. (Bunyi tembakan disertai desis peluru) Brug! Sely menembak Recs yang menerkamku, tubuhnya rubuh ke samping. Aku segera mengosongkan sisa peluru dalam magasin, kembali merubuhkan recs yang berdatangan dari segala sisi. Kini, kami benar-benar telah berada di dalam gerombolan recs. Tanpa sadar, bagian terdepan dari gerombolan besar recs ini sudah tak terlihat lagi, melewati posisi kami dan memasuki wilayah GEPAT. Formasi kami yang semula baris memanjang, kini berbentuk lingkaran; formasi andalan kami sejak tiba di tempat ini. "Semuanya, dengarkan saya!" panggil Dade. "Mata kalian tetap fokus pada recs, tapi dengarkan saya." Ucapnya, aku yang sempat menoleh ke belakang kembali meluruskan pandangan. "Berhenti pakai senapan api sekarang, alihkan ke senjata tajam! Kita terapkan teknik kamuflase. Saya gak tau ini akan berhasil atau tidak, tapi ini satu-satunya pilihan kita!" terang Dade. "Gimana caranya, dok?" tanya Ibu. "Kalian semua punya jaket kan? Usus yang tadi dikeluarkan, kita lilit ke tubuh kita. Dari kepala, sampai perut. Biarkan darahnya bercecer di tubuh kita, semakin bau, semakin besar kemungkinan ini berhasil!" terang Dade. Dug. Tiga recs terjatuh di hadapanku karena berusaha melangkahi tumpukan mayat. Pada tubuh salah satu recs terdapat sebuah palu berkepala besi besar yang menancap di punggungnya. Aku menginjak leher recs itu, lalu menarik palu yang tertancap. Potongan kecil daging melekat pada bagian kepala palu yang tajam. Tanpa meratapinya, aku segera mengayungkan kepala palu dengan tangan kanan. Prak! Bunyi tengkorak belakang yang retak, mematikan salah satu recs. Dua kali ayungan berikutnya kuarahkan pada kepala dua recs lain, mematikan ketiganya. "Huaah! Argh!" hembus nafasku. Kepala palu kuayungkan berkali-kali dari samping, menghantam bagian samping lima recs lain yang mendekat. Pukulan palu dari samping tak cukup untuk membunuh tiga dari lima recs, tapi cukup untuk menjatuhkan mereka dan membiarkan mereka tertumpuk tanpa bisa kembali berdiri. "Oke, saya akan tarik dua mayat lain. Mari kita lihat ini berfungsi apa tidak," kata Dade. Aku mengintip sekejap, ia telah mengenakan jaket bomber, usus besar manusia melilit tubuhnya layaknya Rambo melilit gesper peluru pada tubuhnya. Rambut Dade ditutupi sehelai kain handuk yang dinodai darah hitam. Tiga recs lain baru saja kuhantam dengan palu, rasa penasaranku mendorong mata ke arah Dade. Ia sedang menarik dua mayat lain, tanpa diincar oleh recs yang berada di depannya. "Unbelievable," pikirku. "Urrgh. Roaar!"  Salah satu mayat yang baru kujatuhkan mengerang sambil berusaha bangun. Duag! "Stay down!" (Jangan bangun lagi!) Ucapku, pasca menghancurkan kepala belakangnya. "Me-mereka gak ngincer Papah...." Kata salah satu keluarga Dade, harapan samar terdengar dari nada bicaranya. "Berhasil ini... Hahahah! Berhasil!" Seru gembira Dade, menyadari ide hipotetikalnya berhasil. "Ayo sini kalian bergantian pasang kamuflase. Siapkan jaket, dan kapas untuk hidung kalian. 4 orang sekali, yang lain tetap fokus jaga! Ayo, sekarang!" perintah Dade. "Sel!" panggilku. Ia menoleh, aku mengayun kepala ke arah Dade. 4 orang pertama yang maju untuk mendapat gelar usus busuk, adalah Ibu, Sely, Istri Dade, dan Fitri. ****** "Ugh. Bau banget... Hoek!" Keluh Reka, ia hampir memuntahkan isi perutnya. Kini giliran aku, Reka, Baron, dan Wisnu untuk melilit tubuh dengan kenajisan. "Can you belive this tho...." (Lo percaya gak sih...) Ujar Baron, dengan kapas yang menyumbat kedua lubang hidungnya. "Dok, anda cerdik banget!" Imbuhnya kagum. Selain kami berempat, dan Dade, semua orang berdiri mengelilingi kami, dengan tubuh yang sedikit membungkuk. Kepala mereka semua tertutup topi, sobekan baju, handuk, maupun hoodie yang dinodai darah dan potongan kecil bagian dalam tubuh mayat. Usus besar yang telah menghitam melilit tubuh hingga tas mereka, tangan mereka menggenggam senjata tajam. Mereka telah berdiri lebih dari lima menit, dan recs yang melintasi kami sama sekali tak menyentuh mereka, meski pandangan recs masih mengincar kami yang belum terkamuflase. "Ya ampun... Baunya!" pikirku. Kapas tak dapat menghentikan bau busuk yang menyengat, aku berusaha sebisa mungkin bernafas melalui mulut, dengan bibir yang dibuka sekecil mungkin sebagai penyaring. "Oke. Selesai." Kata Dade, yang baru selesai melilitkan usus pada tubuh Reka. Wajah Reka nampak berjuang keras menahan bau, dan isi lambungnya yang ingin keluar. Pipinya sedikit mengembang, sambil berusaha menarik nafas lewat mulut. Ekspresi Baron pun serupa dengan wajahku, berusaha tenang meski tersiksa.Kami bergabung dalam lingkaran, berhadap-hadapan dengan ribuan recs yang lewat. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD