Act 23-3

1874 Words
Ari “Here we are.” (Inilah dia.) Sambut Reka, sambil melambaikan tangannya ke depan. Ia membawaku ke sebuah toko oleh-oleh, kacanya telah pecah meski pintunya masih terkunci rapat. “Pilihan bagus...” Pujiku sambil melangkahi pecahan kaca. “Masih sisa pula makanannya… Lumayan sih ini kalo bisa kita bawa semua.” “Iya dong… Kacang-kacangan sama manisan jagung tuh yang bakal paling berguna, lumayan buat lengkapin nutrisi. Tapi gak sempet bawa sebanyak-banyaknya barusan,” jelas Reka. “Srrk.” Aku membuka bungkus produk makaroni kering balado. “Dih, yakin mau makan gituan?” tanya Reka. “Santai, bawa minum 1,5 liter gue.” Jawabku, sambil menuang cairan pembersih tangan sebelum mencomot makanan. “Jangan bunyi lo ngunyahnya. Bisa gak?” kata Reka. Aku mengangkat kedua pundakku sambil memandangnya. Kami duduk bersebelahan di balik kasir, senter menyorot ke samping kami untuk memberi sedikit penerangan. Kami tak tahu akan berada di sini berapa lama, setidaknya recs yang berkeliaran tak bisa melihat kami di sini. “Jadi keinget sesuatu gue.” Ucap Reka, sambil mengintip ke luar. “Apa?” tanyaku. “Itu,”–Reka menunjuk ke gerai kafe donat di seberang toko–“Dulu gue pertama kali dating ketemuan sama lakinya di kafe itu,” kenang Reka. “Di situ banget?” balasku. “Ya enggak… Di kafe itu, tapi di mal Bandung.” “Pas kuliah?” “Enggak, eh… Iya kali? Pokoknya tahun 2017 akhir. Udah selesai sekolah dan tinggal tunggu ujian masuk perguruan tinggi pokoknya,” terang Reka. “Bentar, pertama kali dating? Emang pas SMA gak pernah?” tanyaku. “Enggak. Abis gimana ya, laki di sekolah gue dulu rata-rata banget,”–Reka melirikku–“Bukan, bukan tampangnya atau gayanya. Tapi isi otaknya… Gak ada yang menarik. Ya udah gue pake aplikasi dating online gitu, hahaha. Tahun segitu kan lagi jamannya tuh,” tuturnya. “Terus, dapet dari situ?” “Iya. Dapet cowo cute, terus pinter banget kayak ensiklopedia berjalan. Lucu juga bercandaan dia gak kaya jamet gitu loh… Gimana gak kesemsem coba?” “Siapa namanya?” “Dena.” “Aesthetic name too huh? How did it go?” (Nama estetik juga ya? Terus gimana?) “He became my first boyfriend, and the first ex too. It goes horribly south after first two months,” (Dia jadi pacar pertamaku, dan mantan juga. Semua jadi kacau setelah dua bulan pertama,) kisah Reka. “Kenapa?” “Dia jadi mulai ngendaliin gue, larang ini, larang itu. Bahkan, waktu ikut penerimaan mahasiswa baru di kampus gue… Dia sering marah karena gue kenalan sama cowok. Cuman boleh kenalan sama cewek masa? Dan gue nurut-nurut aja pula. Tapi, makin lama dia makin ngendaliin semuanya. Sampai akun sosial media gue aja dilogin di hape dia. Gue harus nemuin dia kapanpun dia mau, sesibuk apapun, lagi sama siapapun gue, harus dahuluin dia, kalau enggak ngamuk. Amukannya bisa lewat spam chat, telepon, dan kata-katanya udah pasti kasar. Lebih kasar lagi, kalau dia tau gue ngobrol sama temen cowok… Ngobrol doang loh.” Reka mengenang masa lalunya. “Dude that’s very abusive,” (Itu sangat abusif,) ujarku. “Yaa! And he took my virginity too. God, bodoh banget gue kalau inget-inget dulu bisa luluh sama cowok manipulatif. Anjing.” (Dan dia mengambil keperawananku juga.) Umpat Reka, sambil melempar satu persatu biang gula yang sedang ia cemili ke tembok. “Gak apa-apa, lo belom ngerti ini-itu juga kan dulu? Wajar lebih gampang kemanipulasi orang kayak begitu. Orang yang berpengalaman sama orang manipulatif, . Udah gak ngebebanin lo kan ini?” tuturku. “Iya dulu emang masih bego gue. Jadi ya, gak begitu terbebani lagi sih setelah sekian tahun. Tapi suka menyesali aja, kehidupan gue sebagai mahasiswa baru dulu suram banget gara-gara dia. Udah lepas dari dia, pas tahun kedua langsung meroket gue. Ikut organisasi, ikut acara ini itu… Dan di sinilah gue sekarang, jadi wartawan magang yang gak akan dapet sertifikasi karena udah gak ada dunia buat diwarta. Kayaknya sekarang, itu penyesalan baru gue. Kalo gak terima penugasan di Jakarta dan milih pulang, gue mungkin lagi di Bandung, sama keluarga gue.” “Hey! Senggaknya karena lo pilih penugasan, kita semua jadi ketemu. Gue ketemu orang keren macem lo dan Baron… Kalo enggak, ini grup bakal lebih suram tanpa kalian pasti.” Reka tersenyum, lalu melirikku. “Itu nilai plusnya buat lo kayaknya ya, bukan buat gue. Hahah,” ejek Reka. “Gak deng. I’m glad we met you guys too. Tapi tetep aja….” (Gue bersyukur kami bertemu kalian juga.) “Apaan?” tanyaku. “Gue pengen lihat mereka lagi, Ri. Keluarga gue. Yang paling penting, Bapak sama Ibu.” “Should we go there?” (Apa kita ke sana aja?) Tanyaku, saling menatap dengan Reka. “I know you miss them.” (Gue tahu lo kangen mereka.) “Would you?” (Lo mau?) tanya Reka. “Ayo. Daripada di shithole ini, berurusan sama klub orang-orang aneh. Begini deh, kalo kita berhasil lepas dari jeratan MaMa… Gue bantu yakinin yang lain buat ke Bandung,” tawarku. “Tapi, saudara-suadaranya Aldi… Mereka gak punya tujuan ke sana sama sekali,” balas Reka. “Tetap selamat bareng kita, bisa jadi tujuan kan?” kataku. “Kalau mereka gak mau tinggalin tempat Ari dikubur nanti, gimana?” “Let’s make sure they wont?” (Mari yakini biar gak begitu?) ajakku. Reka mengangguk, lalu menyandarkan pundak dan kepalanya padaku. “Thank you,” ucapnya. “No problem. Sekarang, tinggal pikirkan cara buat lepas dari MaMa sih. Mumpung gabut di sini, kita bisa cari ide.” “Kriiiing!” Suara bel berdering dengan nyaring dari arah lobi utara. Aku mengintip dari balik kasir, beberapa recs yang berkeliaran di depan bergerak serentak mengikuti suara. “What the hell?” ucapku. “Itu mereka bukan?” tebak Reka. “Gak tau… Emang bisa nyalain alarm dari luar sana?” balasku. Kami keluar dari toko itu, setelah tak ada lagi recs yang lewat di depan. “Ri, itu ada orang!” Ujar Reka sambil menepuk lenganku, lalu menundukkan badan. “I-Itu orang yang tadi dikejar kayaknya anjir.” Terangku, sambil mengintip-intip gerak-geriknya dari kejauhan. Lelaki itu sedang berjalan menuju kami, membawa dus yang sama. “Stay down, matiin senter!” Perintahku, lalu berbaring di lantai. Kami bertiarap di samping pagar pembatas, pandangan tak lepas sedetik pun dari lelaki itu. “Mau ke mana dia ya?” bisik Reka. “Itu mau turun ke arah pintu timur loh dia.” Ujarku, sementara lelaki itu hendak menuruni eskalator ke arah lobi timur. “Pas dia udah turun, kita nyelinap lewat eskalator di depan dan cegat dia. Mau gak?” “Ayo. Dia udah turun tuh!” kata Reka. Kami pun bangun, lalu menuju eskalator yang kami taiki sejak pertama datang. Sementara lelaki itu berjalan di bawah, aku dan Reka menuruni anak tangga dengan senyap. (Bunyi langkah kaki mendekat) Lelaki itu melintas tepat di sebelah kanan eskalator yang aku pijak. Ia menengok ke atas, wajahnya terkejut. “Brug!” Bunyi tubuh kami beradu, aku melompat dari eskalator dan menimpanya dari ketinggian 1,5 meter. “Aaah!” Desahnya kesakitan, sementara dus dan seisinya berserakan. Aku segera bangun, menindih tubuhnya, lalu menarik kerah bajunya. Tangan kananku meraih senapan MCX yang kugendong, menempelkan laras senjata ke dagunya. “Kenapa anda nyerang kita!” Bentakku, sementara alarm masih berbunyi di latar. “Sa-Saya.…” Ucapnya terbata-bata. “Saya apa? Anda tau gak teman saya mati gara-gara recs yang anda lepas? Hah!” Omelku, sambil menarik-narik bajunya. Ia terkejut mendengar ucapanku, lalu berkata “Kalian… Kalian kejar saya, jadi saya….” “KITA KEJAR ANDA KARENA DILEMPAR TOMBAK DULUAN, BERENGSEK!” Teriakku, lalu menekan laras senapan MCX lebih dalam ke rahangnya. “Ari!” panggil Reka. “A-ampun! Ampun! Saya minta maaf!” mohon lelaki itu. “Maaf lo gak bisa balikin nyawa. Kasih satu alasan kenapa saya gak harus tembak anda sekarang juga?” gertakku. “Ri!” Panggil Reka lagi, aku pun menengok ke sebelah. Reka menunjuk ke lantai, di mana s**u bubuk dan biskuit untuk anak berserakan, beserta berbagai macam makanan dan botol mineral. “Ampun, mas… Ampun! Saya gak mau berurusan sama kalian lagi!” ujar lelaki itu. “Lagi?” pikirku. “Ngomong apa sih anda? Kita belum pernah berurusan, sampai anda lempar tombak dan buat celaka teman saya. Enak aja habis itu pengen gak ada urusan,” balasku. “A- apa?” ucap si lelaki. “Tunggu dulu… Anda pikir kami siapa?” timbrung Reka. Aku menengok ke Reka saat ia bicara, lalu kembali menatap si lelaki. Ia tampak seumuran dengan Ayah, tubuhnya kurus, kumis dan janggutnya tumbuh tak terawat. “Kalian… Kalian bukan… Malaikat maut?” tanyanya. “Bukan,” balas Reka. “Sa- Saya pikir… Kalian anggota MaMa, karena se-senjata kalian. Makanya saya lempar tombak tanpa pikir-pikir,” terang si lelaki. “Harusnya anda pikir-pikir berarti, berengsek,” umpatku. “Maaf… Saya minta maaf sebesar-besarnya. Saya pikir kalian–“ “Gak berguna. Jawab pertanyaan kami lebih berguna. Sedang apa anda di sini?” potongku. “Saya… Biasa jarah di sini. Ini tempat paling aman yang anggota MaMa gak berani masuk sini. Saya cari makanan tiap hari di sini, untuk istri saya, anak-anak saya.” Kisahnya. “Di mana mereka?” tanyaku. “A- ada… Di suatu tempat, tersembunyi. Mereka menunggu kedatangan saya, makanan dari saya. Anak saya yang paling kecil butuh s**u, makannya saya ambil itu,” –Si lelaki menunjuk barang jarahannya yang terserak–“Buat anak saya. Mereka butuh makan,” aku si lelaki. “Jangan bohong anda ya! Kami gak akan bisa ditipu pakai iba,” ancamku. “Eng- Enggak bohong mas. Saya gak bohong, berani sumpah!” ujarnya. “Kalau begitu, tunjukkin kita mereka. Sekaligus kasih liat bagaimana cara anda menyelinap masuk dan keluar mal ini, melalui recs sebanyak itu,” cetus Reka. “Recs? A-apa itu?” Tanyanya, membuatku dan Reka saling melirik. “Mayat hidup. Kami sebut mereka recs,” jawab Reka. “Oh. Ba- baik, dengar… Sebentar lagi alarmnya mati, ini satu-satunya jalan keluar kita. Setelah itu, bakal sulit,” kata si lelaki. “Kalau begitu, tunjukkan rute keluar-masuk anda, dan bawa kami ke keluarga anda untuk buktikan.” Pintaku, lalu melepas genggaman dan todonganku darinya. “Saya mohon jangan sakiti mereka… Ini kesalahan saya.” Ujar si lelaki, sambil merangkak dan merapihkan barang jarahannya. “Enggak, anda bisa pegang janji kami. Buktikan omongan anda, tunjukkan rute keluar dan masuk mal, setelah itu kami pergi,” kata Reka. Lelaki itu mengangguk, lalu berdiri dan mengangkat dusnya. (Suara raungan recs) Alarm baru saja berhenti, raungan recs kembali menjadi suara dominan di dalam mal ini. Kami pun pergi melalui pintu lobi timur yang telah tak berkaca, mengekori lelaki itu. “Saya simpan mobil di depan.” Ujarnya sambil berlari. “He better not be toying us, or I’ll kill him for sure.” (Jangan sampe dia permainin kita, atau gue bunuh dia.) Ucapku pada Reka, seraya ratusan recs di halaman timur menyadari tiga makanan hidup sedang berlari melintasi kerumunan. Kami mempercepat gerakan kaki, menghindari kejaran gerombolan recs.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD