Act 2-1

1283 Words
                                                                                Worst Day of My Life BRAK! Roarrrrrrr! Wraaaaggghhh! Dzing! Dar! Dar! Kupingku berdenging karena benturan. Suara aneh, disertai bunyi desing peluru dan letusan tembakan secara bersamaan ditangkap indra pendengaranku. Pundak hingga pergelangan tangan kananku terasa sakit, tubuhku terasa terjebak di antara dua bangku yang empuk. Aku membuka mata. Wajah-wajah orang mati, adalah hal pertama yang kulihat di balik semua jendela. Aku terperosok di ruang antara jok depan dan belakang, akibat benturan tadi. "Astaga, zombie... Bener-bener ada," pikirku. Pintu kanan mobil yang tadi terbuka tertutup rapat, sementara kaca depan, kedua pintu di kiri, serta belakang mobil pecah. Tangan makhluk-makhluk itu menjulur ke dalam, berusaha meraih aku dan Ayah. Rasanya, detak jantungku lebih cepat dari cahaya. Seluruh tubuhku berkeringat dingin, mungkin sebentar lagi aku pingsan dan buang air di celana. "Yah! Ayah! Gimana ini!" pekikku. Ayah terpaku di atas jok pengemudi, tak berusaha menghindar dari tangan-tangan mayat itu. Ia diam seribu bahasa, dengan raut wajah bercampur murka, sedih, menyesal. Dar! Dar! Dar! BLAR! Ratatatatat! Dentuman tembakan tanpa henti terdengar di sekitar kami, saling menyahut antara satu dan lain. Artinya, masih ada perlawanan di sini, dan masih ada harapan untukku keluar. Aku mulai menggerakan badan untuk mencari penembak terdekat dari kami. Aku mendekat ke pintu kanan, menelaah atap-atap bangunan di sebelah kanan mobil. Beruntung, aku melihat ada tiga orang bersenjata yang sedang memberondong tembakan ke arah mayat hidup di bawah mereka. "Yah! Yah!" panggil ku. "Itu ada tentara!" "AH!" jeritku. Salah satu mayat hidup menarik rambut panjangku dari belakang, kepalanya berusaha masuk melalui kaca belakang yang hancur. "YAH!" Aku memanggil ayah sambil menendangi joknya dari belakang. Tangan kananku menggenggam pangkal rambut belakangku, bersentuhan dengan tangan mayat yang menggenggam ujung rambutku. Sementara aku berusaha meraih jok yang diduduki ayah dengan tangan kiri, ia tetap memaku tak membantu. Kulit rambut ini terasa sedang dibakar, sensasi tegang mulai terasa di otot leher. Tangan kiriku berhasil menggenggam jok, aku menyandarkan punggung ke dudukan jok untuk menjauhkan kepala dari kaca belakang. Tangan mayat ini masih tidak mau melepaskan genggamannya. "YAH!" bentakku. "Bunyiin klakson! S-O-S!" Ayah tak merespon, tak bersuara, ia menoleh ke kanan dan memperhatikan aparat di atap bangunan yang sedang menembak. Aku mulai geram dan membentak Ayah. "Yah!" Panggilku dengan suara tinggi, lalu menendang kencang joknya. "Bangsat." Umpatku dalam hati. Aku memutuskan untuk berusaha sendiri, dimulai dengan memiringkan badan ke kanan, lalu menaruh telapak kaki kanan di laci tengah mobil sebagai pijakan. Kaki kiri kurentangkan, berusaha meraih stir mobil. "Mana lagi..."-Telapak kaki kiriku meraba-raba stir-"Aha! Dapet." Monolog dalam benakku. Aku berusaha sendiri, sambil dijambak non-stop oleh mayat hidup. Kaki kiriku mencoba menekan tombol klakson pada stir mobil, sementara Ayah tak kunjung membantu. Beep! Klakson berhasil kubunyikan dengan telapak kaki.  Aku segera membunyikan ulang dengan nada SOS, tiga kali nada pendek, diikuti tiga kali nada panjang, ditutup tiga nada pendek lagi. Dzt! Dar! Dzing! Dar! Dar! Suara desis peluru yang keras nyaris mengalahkan bunyi tembakan, satu per satu mayat di belakang mobil rubuh. Aparat bersenjata di atap tadi menangkap tanda minta bantuanku itu. Aku mengulang-ulang sinyal SOS itu, sambil sekuat tenaga menahan kepala sejauh mungkin dari jendela selama lima menit, tanpa bantuan Ayah sekecilpun. Sepertinya dia tak masalah, jika aku ikut mati dimakan mayat-mayat ini. Dzt! Tak! Bunyi desis kembali berdering bersamaan dengan bunyi peluru yang menghantam mobil. Darah tercecer ke jok belakang, tarikan mayat yang menggenggamku terhenti. Kepala mayat itu putus, dan menggelinding ke dalam mobil. Aku reflek menarik lalu melipat kakiku, memojokkan sekujur tubuh ke sisi kanan mobil. Sebuah kepala tergeletak di jok belakang sebelah kiri, tepat di sebelahku. Matanya masih terbuka, pupilnya telah berubah menjadi abu-abu, nyaris menyaru dengan warna putih mata, rahangnya masih bergerak-gerak seperti sedang mengunyah. "G-Gak m-ma-ti?" aku tertegun. Aku menoleh ke belakang, dan tersadar tangan mayat ini belum lepas dari rambutku. Aku melepas genggamannya, lalu melambungkan tangannya sekuat tenaga hingga tubuh mayat itu terjatuh dari atas bagasi mobil. Duar! Ledakan dari persimpangan terdengar nyaring saat aku melempar tangan mayat tadi. Suara keras mengalihkan perhatian mayat hidup di sekitar mobil, mereka bergerak menjauhi mobil kami. Aku melihat keadaan sekitar, dua orang berseragam polisi muncul dari dalam bangunan di seberang. Salah satu dari mereka menggeser pagar bangunan kantor itu, satu lagi memberi memberi gestur tangan untuk menghampiri mereka. "Yah! Polisi! Ayo keluar!" ajakku. Entah jin apa yang merasukinya, tiba-tiba ia mau bergerak kembali. Aku membuka pintu dan keluar, disusul Ayah beberapa detik kemudian. Beberapa mayat menyadari kami keluar dari mobil, lalu membalikan badan mereka. Kedua polisi di pagar, memberondong mayat yang menengok dengan timah panas. Mayat-mayat berjatuhan ketika berlari mendekati kami. Beberapa tersungkur dua meter di depan ku dan Ayah. Saat kami hendak melangkahinya, mereka berusaha bangkit lagi. "Bener-bener mayat hidup," pikirku. Ayah menendang dua mayat hidup yang berusaha bangkit dan menghalangi jalan, tapi mayat yang ketiga sudah kembali berdiri. Dar! Dar! Dua tembakan di kaki dari senapan polisi merobohkan kembali mayat itu, dengkulnya meletus ke depan. Kami menghindarinya, sekaligus menyingkir dari arah tembakan kedua polisi. Aku berlari kencang menghampiri polisi, lalu menoleh ke belakang, menyaksikan mayat itu masih mencoba berdiri. Dar! Dar! Dar! Salah satu polisi menembaki mayat itu lagi, darah dan pecahan daging terpental dari bagian d**a dan pundak makhluk itu. Dar! Tembakan kelima mengenai tepat di kepalanya, memecahkan tengkorak makhluk itu dan secara instan merubuhkannya. "Ayo ikut kita, kalian aman sama kita! Ikuti perintah kita aja pokoknya, jangan bertindak sendiri sampai tiba di rumah aman," perintah polisi. Mereka mengenakan helm dan rompi anti peluru hitam, aku tidak bisa melihat tanda nama mereka. Kedua polisi segera menutup rapat gerbang, seraya puluhan mayat hidup yang tadi terdistraksi berlarian menghampiri, berusaha merubuhkan pagar. Aku melihat sekali lagi ke belakang, dan mayat yang tadi tertembak di kepala benar-benar tak bangun lagi. Kami berjalan kaki menuju tempat yang mereka bilang posko darurat, aku harap Ibu dan Ari pergi ke tempat itu juga. Aku dan Ayah bergabung denyan penyintas lain yang diselamatkan aparat keamanan. Kami berbaris panjang, ada beberapa anggota TNI juga yang mengawal para penyintas di regu ini. Kami menempuh perjalanan melalui jalan-jalan perkampungan yang aman dari mayat hidup, mereka melindungi kami di sepanjang jalan. Aku teringat sesuatu... Kedua tanganku meraba-raba kantong celana jeans, dan hoodie abu-abu yang aku pakai. Salah satu polisi yang menyelamatkanku tadi berada di samping, ia menyadari gelagatku. "Kenapa Mbak? Ada yang hilang?" tanyanya. "Eh"-aku menjawab dengan canggung plus bingung-"I-I... Ya... Kayanya handphone saya hilang," Polisi itu menoleh ke belakang, memeriksa apakah ada ponsel yang tergeletak di tanah. "Gak keliatan ada yang jatuh," ujarnya. "Iya, gak jatuh..."-Aku memukul-mukul dahiku pelan-"Baru inget saya, ketinggalan di mobil." Ingatku, meninggalkan ponsel yang terletak di gagang pintu mobil Ayah, sejak kami memasuki jalan tol. "Bego banget bego."  Omelku dalam hati.  Tujuan awal diletakkan di sana untuk menghemat baterai, tapi malah aku tinggal. Entah Ayah masih memegang ponselnya atau tidak, aku tak dapat menghubungi Ari atau Ibu, tapi aku tak mau bertanya pada Ayah juga. "SOS hah?"-Seorang polisi lain yang menyelamatkan kami menyapa- "Pinter juga." "Iya hehe, untung Bapak-bapak denger. Terima kasih ya, Pak." Aku membalas disertai senyuman. "Jangan panggil Pak, belom ada yang Bapak-bapak di regu kita." Balas polisi itu sambil saling menatap dengan polisi lain, mereka tertawa kecil. "Ooh, iya siap Mas," koreksiku. "Kita udah sampai! Bapak-bapak, Ibu-ibu, tolong nanti bergantian menyebrangnya ya.” Ujar salah seorang tentara yang memimpin regu ini. "Biarin orang-orang kita duluan, amankan jalanan dulu. Takutnya ada mayat-mayat," imbuhnya. Beberapa anggota polisi dan tentara menyusuri jalan besar yang dipenuhi mobil terbengkalai. "Lah? Posko apanya? Inisih kompleks sekolah Inter-nya Korea." Gumamku, menyadari kami diarahkan ke sebuah kompleks sekolah internasional di seberang jalan. Ekspresiku mungkin terbaca lagi oleh polisi tadi. "Kenapa? Ngiranya tempat evakuasi yang wah gitu ya?" tanyanya. "Engga, ini posko penampungan korban selamat sementara. Kita ga akan lama di sini, nanti bakal ada evakuasi." "Jadi kita masih bakal pindah lagi dari sini? Evakuasi lewat apa?" balasku. "Entah... Truk? Helikopter?" Jawabnya ragu, sembari menuntun kami menyebrangi dua jalur jalan, masing-masing tiga lajur. Kami memasuki gedung sekolah, pintu masuknya dijaga ketat dengan blokade mobil polisi, kawat berduri, dan polisi berkostum PHH dengan senjata lengkap. Alat pengendali huru-hara pada atap truk penyemprot air, diganti dengan senapan mesin.                                                                                             *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD