Act 23-1

1260 Words
                                                                                      Hitam Putih                         Sely “Gaak, gak! Gak bisa gini, Di! Aku gak bisa tanpa! Kakak ku cuma satu… Jangan kaya begini.” Tangis Dinda yang memeluk erat tubuh tak bernyawa Aldi, kedua matanya terpejam, pipi dan ujung bibirnya tertarik ke pinggir wajah, menamapakkan gigi di rahang atasnya. Sementara itu, recs masih terus berjatuhan dalam ruang shaft elevator. “Mikir apa sih, Mas? Mikir apa!” Bentak Dinda pada Ayah. “Ta-tadi, ada laki-laki yang… Yang kita kejar. Dia lagi jalan di ujung sana,”–Ayah menunjuk ke sisi lain mal–“Makanya gua tembak… Tapi la-lari dia.” Tutur Ayah terbata-bata. “Bukan itu intinya, Mas!” Balas Wisnu, sambil menepuk keningnya. “Kenapa harus ngedahuluin barang-barang daripada orang? Padahal abis tembak-tembak. Aduh kacau dah.” Ayah tak membalas, ia mondar-mandir tak karuan. Wajahnya memancarkan aura tak menenangkan dalam kondisi macam itu. “He killed him…” (Dia membunuh Aldi…) ucap Dinda. “LO YANG BUNUH KAKAK GUE!” Jerit Dinda, kedua matanya menatap Ayah. “Ssh! Ssh.” Desisku, segera merangkulnya dari belakang. Ari yang masih kaku dalam posisi duduknya, merangkak menuju kami. “I’m sorry… So sorry.” (Maafkan aku… Maaf banget.) Ucap Ari pada Dinda, ia menawarkan tangannya untuk merangkul. Dinda kembali menangis kejer, lalu mendekatkan kepalanya ke lengan Ari. Kami memeluk Dinda, yang tangannya masih mengusap-usap rambut Aldi. “We… We need to take him down,” (Kita… Kita mesti buat dia gak bangun lagi,) ujarku. Dinda mengangguk, tapi tak ada apapun yang keluar darinya kecuali air mata. “Gak apa-apa, kalau gak kuat… Gak harus kuat kok, Dind. Biar gue aja,” saran Ari. “Eng- Enggak. Gue bisa…” tolak Dinda. “Oh sial… Gerombolannya ke sini semua!” Seru Baron yang berdiri di pagar pembatas, sambil menunjuk ke bawah. “Kita harus pergi.” Kata Reka, sambil meraih pundak Dinda. “Ba-bantuin gue… Angkat badannya,” mohon Dinda. “Iya, iya pasti,” balasku. Ari membuka sweater yang ia kenakan, lalu merobeknya menjadi dua. “Tutupin dulu ini lukanya.” Ujar Ari, sambil membalut paha Aldi yang terpotong dan masih mengucurkan darah segar. “Aduh… Permisi, Di. I’m so sorry man.” (Maafkan aku kawan.) “Biar, sama gue aja bawahnya.” Anjur Baron, lalu menggenggam pinggang Aldi. “Lo kuat angkat badan atasnya kan, Dind?” “I-iya, kuat.” Balas Dinda, memunggungi Baron, lalu melingkari d**a Aldi dengan tangan kanannya. “Satu, dua, Hap!” Ucap Baron, lalu mengangkat tubuh Aldi bersama Dinda. “Baik, ayo pergi!” Ajak Wisnu, lalu mengangkat oven di tangan kirinya. Sementara Ayah membawa kompor, sebuah kotak minuman yang tertutup, dan… kursi lipat? Kami berjalan menuju lobi timur kembali, Wisnu dan Ari memimpin di depan. Aku melihat meleka berbincang, tapi suara mereka tak terdengar sampai ke telingaku. Aku berada di paling belakang, melindungi Baron dan Dinda yang mengangkut jenazah Aldi. “Fuckin’ s**t!” (Sial!) Umpat Baron sesaat setelah kami tiba di depan eskalator. Kerumunan recs menghalangi jalan satu-satunya kami menuju eskalator, mayat-mayat itu tengah berjalan menuju kami. “Ah, persetan!” Teriak Wisnu, lalu melempar ovennya ke kepala salah satu recs di depan kami. “Tsk! Tsk-Tsk-Tsk!” Empat dari belasan recs tumbang diterjang peluru Wisnu. “Opening!” (Celah!) Seru Ari saat mendapat celah untuk bergerak maju. “Srak, dug.” Satu recs ditikam dan ditendangnya, kepala mayat itu membentur lantai dengan keras. “Maju aja Sel. Kita aman di belakang,” kata Baron. Aku pun berlari ke depan, bergabung dengan Ari, Reka, dan Wisnu yang menikam satu demi satu recs. “Huaah!” Gertakku saat menyeruduk salah satu recs. Tubuh mayat itu terdorong ke belakang, ikut menjatuhan tiga recs lain bersamanya bagai pin boling. Recs yang kudorong tadi hendak bangun, tapi pisauku terlanjur menancap di ubun-ubunnya. “Not so fast.” (Tak semudah itu.) Gumamku, menginjak leher recs kedua yang berupaya bangun. “Satu. Dua.” Ucapku, saat menikam kepala dua recs lain. Mereka berdua tak bisa bangun, lantaran tertindih satu recs mati, dan satu recs yang kuinjak. “Tiga.” Pisauku menembus telinga recs yang kuinjak. Mayat remaja lelaki itu tampak berumur lebih muda dariku dengan tubuh yang lebih pendek, tak heran tenaga kakiku cukup untuk menahannya terbaring. Kami berhasil melalui kerumunan recs, dan kini menuruni anak tangga pada eskalator. Melihat ke depan, kerumunan recs masih menumpuk di balik pintu kaca lobi. Tangan mereka tak henti-hentinya menggedor kaca, yang anehnya masih utuh. (Bunyi pintu bak terbuka) “Naik dulu aja.” Kata Wisnu pada Dinda, lalu mengambil alih bagian tubuh atas Aldi. Ia dan Baron menaikan jenazah Aldi ke atas bak, lalu segera masuk ke kabin kemudi. Ayah menyusul Wisnu ke dalam kabin setelah menaruh bawaannya di bak, mesin mobil pun dinyalakan. “Ari, nunggu apa?” Panggil Reka, yang masih berada di tengah eskalator. Aku menoleh ke sana, Ari masih berdiri di lantai dua. “Ri? Ngapain!” tanyaku. “Go! Gue nyusul!” jawab Ari. “What the hell is he doing?” (Dia mau apa?) ujar Baron. “Sely, Reka! Cepet naik, gak ada waktu!” perintah Wisnu. Reka menoleh ke arah kami, berpindah menatap Ari, lalu pada kami lagi. Ia membalikan badannya, dan naik menyusul Ari. “Jangan sampe gak jemput gue lo pada! Pergi sana, cepet!” Kata Reka menengok ke belakang, sambil mendaki anak tangga. “Sely, naik cepet!” omel Wisnu. “Crap.” (Sial.) Umpat Baron, lalu menjulurkan tangannya padaku. Sesaat aku naik ke atas bak, mobil langsung bergerak maju. “Hati-hati woi! Kita bakal kembali!” Seru Baron pada Ari dan Reka. Keduanya lalu meninggalkan eskalator, seraya Wisnu memutar balik mobil. “Brrm.” Wisnu menggeber mesin mobil, yang kini telah menghadap ke pintu lobi. “Pegangan erat, dan ngumpet di belakang kabin!” ujar Wisnu. “Dor-dor! Dor! Dor-dor!” Letusan tembakan yang sedikit bernada dari tengah mal menggema hingga lobi timur. Sebagian besar yang tadi sedang mendekati b****g mobil bak ini, tetiba memutar tubuh mereka ke arah suara. (Bunyi mesin mobil dipacu) “AAAH!” Jeritku, melihat mobil kami kian mendekat ke pintu kaca dengan kecepatan yang kian bertambah. “Gumprang!” Pecahan kaca berterbangan, beberapa mendarat dan berserak di atas bak. “Brug! Srrrt.” Bunyi tubuh-tubuh recs yang ditabrak Wisnu, beserta ban mobil yang menggilas beberapa mayat. Pandanganku menghilang untuk sesaat, pupilku tak siap mengadaptasi perubahan intensitas cahaya. Sepulihnya pengelihatan, aku menengok ke arah utara. Gerombolan besar recs tadi sudah terpecah dua, sebagian berusaha merubuhkan pagar pembatas mal, sebagian lain menjalar masuk ke dalam mal. “Gimana cara kita masuk lagi nanti?” Tanya Baron pada Wisnu, seraya mobil kami melewati gerbang timur. “Dengan cara yang sama kayak pas masuk,” jawab Wisnu. “Hah? Yakin masih berfungsi? Ini kan gerombolannya udah kepecah,” kata Baron. “Gua gak kepikiran ide baru. Kita regroup sama Mbak Melani, Arfan, sama Fitri dulu aja… Cari ide lain,” balas Wisnu. “Srak.” Bunyi pisau menembus tulang. Aku dan Baron sontak menoleh pada Dinda. Ia baru mencabut belati dari kepala Aldi, lalu melepas pisau dari genggamannya. Air matanya tak terbendung lagi, tetes tangisnya mengalir dalam diam. “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” (Sesungguhnya kami milik tuhan, dan kepada-Nya lah kami kembali.) Ucap Dinda, lalu mengusap wajah kakaknya dari atas ke bawah. “Sampai ketemu lagi nanti, Kak.” Aku merangkak mendekati Dinda, seraya mobil masih berpacu dalam kecepatan sedang. Tangan kiriku merangkul pundaknya, ia pun bersandar di bahuku setelah melepaskan tangannya dari tubuh Aldi.                                                                                                           ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD