The Funeral

1232 Words
"Sarah!" Caroline Johnson, perempuan tua bertubuh gempal itu memekik tertahan. Dia telah bekerja untuk Thomas Queen sejak muda belia dan tidak pernah berhasrat untuk meninggalkan rumah itu. Rumor di kalangan para pelayan mengatakan dia adalah simpanan Thomas dan penyebab kematian Ariana yang meninggal karena depresi berkepanjangan. Tapi Sarah tidak pernah tertarik untuk membicarakan gosip berlarut-larut. Ia hanya ingin konsentrasi bekerja menghasilkan uang banyak, sehingga suatu saat nanti ia bisa melanjutkan kuliahnya. "Aku di sini, Caroline. Ada apa?" tanya Sarah tergopoh menghampiri setelah menyimpan mantel Mr. Wilde, seorang kurator terkenal sahabat Thomas Queen. "Aku butuh bantuanmu. Segera!" "Ya, tapi apa? Bukankah sejak pagi aku sudah melakukan banyak hal?" "Oke, oke. Tapi kali ini kau harus ke dapur dan bawa pergi lelaki mabuk itu keluar dari sini kalau kau tidak bisa membuatnya segera sadar!" "Si—siapa yang kau maksud, Carol?" "Siapa lagi? Tentu saja si Matthew sinting itu!" Mata Caroline membesar dan memandang tajam, membuat bulu kuduk Sarah berdiri. Dia membungkam mulutnya karena tahu, Caroline akan terus merepet dan mengeluarkan semua u*****n-u*****n kasar yang dia punya bila mendengar banyak pertanyaan lainnya. Di dapur, tukang masak dan pelayan berusaha menyibukkan diri. Mereka tidak mau terlibat dengan laki-laki menjelang lima puluh tahun. yang kerap bertingkah seperti remaja. Sarah melihat Matthew dengan tatapan jijik. Bagaimana mungkin, seorang anggota Queen, berstatus direktur perusahaan, bersikap seperti gelandangan di hari kematian ayahnya sendiri! Pintu belakang terbuka lebar, angin kencang berembus dari arah Danau Washington. Warna langit sedikit gelap. Tadi pagi, penyiar radio memberi info akan ada badai Pasifik dalam beberapa hari ke depan. Sarah menimbang-nimbang, bila laki-laki mabuk itu dia bawa ke kamarnya di lantai atas, akankah mempercepat kedatangan badai? Badai khusus di Queen Manor yang angkuh ini? Sarah menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Teringat suhu ruangan di dalam sudah cukup hangat karena permainan panas Brian di ruang kerja kakeknya. Tidak perlu ditambah dengan kehebohan lelaki berbau busuk itu. Sambil menahan napas, Sarah berusaha mengalungkan tangan Matthew ke pundaknya, menarik laki-laki itu agar mau berdiri tegak dan melangkahkan kakinya. "Ayo, Tuan Matthew! Kita ke pondok belakang. Kau bisa beristirahat di sana tanpa mengganggu kami di sini!" Bobot lelaki itu mungkin dua kali bobot tubuh Sarah. Tapi perempuan yang tampaknya kurus dan ringkih itu terbiasa bekerja keras. Kekuatannya sudah teruji selama lima tahun terakhir. Memapah Thomas Queen yang mengalami kelumpuhan tubuh bagian bawah, pada kecelakaan yang juga menewaskan putranya. Setelah membaringkan Matthew di atas ranjang tua di pondok kayu, Sarah menyalakan penghangat ruang elektrik. Ia membuka gordyn agar ruangan sedikit lebih terang. Lalu ditinggalkannya Matthew yang sudah mendengkur kencang. Kelelahan membuat punggung Sarah tidak bisa menopang tegak tubuhnya. Bahunya menjadi agak melorot, lingkaran gelap muncul di sekitar matanya. "Tuhan, aku ingin semua ini segera berakhir," desahnya. Sebulan terakhir adalah masa-masa terberat bagi Sarah. Ia menyakinkan dirinya setiap hari untuk terus bertahan. Demi masa depan yang diimpikannya juga demi Thomas Queen majikannya. Tapi tak lama lagi semuanya akan berakhir. Ia tinggal menghitung mundur. Beberapa jam lagi. Ia akan kembali sendiri, lalu memikirkan langkah-langkah selanjutnya yang harus diambil. Sendirian. Hanya dirinya sendiri dan masa depannya. Memikirkan hal itu membuat Sarah bergidik, takut tapi sekaligus gembira. Sejak kecil ia terbiasa hidup sendiri, dan itu menakutkan. Ia tidak suka sendirian. Caroline telah mengatur mobil-mobil hitam yang akan membawa mereka ke pemakaman. Peti jenazah berada di urutan pertama, ditandai dengan karangan bunga besar yang diikat di bagian belakang mobil. Patricia memasuki mobil di urutan kedua. Ia melangkah anggun tanpa pernah melepas kacamata hitamnya. Duduk menyamping di kursi belakang, saat pintu mobil masih terbuka, baru kemudian ia mengangkat kedua kakinya yang ramping masuk ke dalam mobil. Setelah ia duduk sempurna, pelayan dengan sopan akan menutup pintu penumpang. Sopir mengemudikan mobil dengan kecepatan pelan keluar dari Queen Manor. John dan Diana Queen mendapat urutan ketiga. Diana sepertinya telah menguasai keadaan. Walau sesekali masih mengusap air mata dengan sapu tangan putihnya, ia melangkah dengan anggun dan masuk ke dalam mobil dengan cara yang sama seperti Patricia. Sebaliknya, langkah kaki John tampak gontai memasuki mobil melalui sisi lainnya. Mungkin hanya Brian yang tampak ceria. Tentu saja, bukankah dia baru saja mendapat penghiburan khusus? Senyumnya mengembang lebar tatkala memasuki mobil hitam di belakang mobil kedua orangtuanya. Melihat mobil berikutnya kosong, Caroline menatap Sarah dengan wajah penuh tanya. Sarah hanya mengedip dari jauh, sebagai isyarat kalau penumpangnya memilih tidur mendengkur ketimbang mengantar ayahnya ke tempat peristirahatan terakhir. Tentu saja, perempuan paruh baya itu tampak kesal. Ia mengharapkan Sarah mampu menyadarkan Matthew dan bersikap selayaknya anggota keluarga Queen yang terhormat. Namun Sarah berpura-pura tidak mengerti. Tugasnya adalah mengurus Thomas Queen selama hidupnya, dan bila harus mengurus bayi besar lainnya, itu berarti tambahan gaji. Tapi sejujurnya, Sarah akan menolak seberapa pun besar gaji yang akan ditawarkan. Matthew seharusnya mendapatkan perawatan rehabilitasi ketergantungan alkohol atau bantuan psikiater profesional, bukan perawat rumahan yang masih kuliah seperti dirinya. Setelah pendeta menyampaikan khutbahnya, secara bergantian para pelayat berusaha menunjukkan kedekatan mereka dengan almarhum Thomas Queen. Mereka memandang foto besar Thomas yang disangga dengan kaki segitiga di bagian depan liang lahat. Berbicara ke arah foto itu seolah menghadapi Thomas secara langsung. Memilih kenangan-kenang dan mengumbar kalimat-kalimat pujian tentang orang tua itu. "Thomas, orang hebat yang pernah kukenal…" "Sosok pelindung dan pengayom keluarga…" "Seorang suami setia dan ayah penyayang…" "Pemimpin yang mau mengajarkan banyak hal…" "Pemberi semangat…" "Murah hati…" "Dermawan…" "Telah melakukan banyak hal bagi umat manusia…" Dari sorot mata mereka, Sarah bisa mengenali harapan yang tersembunyi. Mereka ingin nama mereka diingat Thomas ketika ia menuliskan surat wasiat, sebelum kematiannya. Orang tua itu telah mengajarkan banyak hal pada Sarah. Pengalaman hidup hingga mendekati angka satu abad dirangkum selama lima tahun perjalanan karir Sarah merawat Thomas. Kening Sarah berkerut-kerut. Berada di manakah mereka ketika orang yang dermawan, murah hati, dan pelindung keluarga itu sekarat di beberapa bulan terakhir hidupnya? Mereka hanya datang bila ada keperluan yang menyangkut urusan bisnis atau kegiatan sosial. Selain ditemani Sarah dan Caroline, serta para pelayan, Thomas terlupakan dari kehidupan mereka semua, termasuk anak, menantu, dan cucunya. Terbaring lemah dalam Queen Manor yang luas di atas bukit. Selalu menolak bila Sarah ingin memesan kamar terbaik di rumah sakit dengan peralatan tercanggih untuk menopang hidupnya. "Biarkan aku di rumahku sendiri, Sarah. Aku tidak menginginkan jarum-jarum suntik memasuki tubuhku." Kalimat yang selalu diucapkan Thomas kala itu. Satu persatu hadirin melemparkan bunga lily ke atas peti jenazah, lalu mereka menyalami keluarga, disertai tepukan, pelukan, serta gumaman simpati yang dibuat sangat lirih. Akhirnya mereka semua pergi meninggalkan lokasi pemakaman. Kini hanya tinggal keluarga dan beberapa staf rumah tangga termasuk Caroline dan Sarah yang masih berada di sana. Menunggu Thomas dikubur sepenuhnya oleh petugas pemakaman. Mereka kembali memenuhi tanah kuburan dengan bunga lily. Angin kencang kembali berembus. Melambai-lambaikan rok dan rambut mereka. Daun-daun peneduh di sekeliling Lakeview Cemetery berguguran. Di sudut lain pemakaman, tampak rombongan peziarah antre mengunjungi makam Bruce Lee dan putranya, Brandon. Aktor laga, instruktur seni beladiri, dan sekaligus legenda dunia, menjadikan kuburannya sebagai salah satu tempat wisata yang wajib dikunjungi pelancong dari luar Seattle. Keluarga Queen mulai meninggalkan kompleks pemakaman. Keluar dari area Capitol Hills menuju The Queen Manor. Sejumlah pengacara hebat dan konsultan hukum yang telah puluhan tahun menangani segala kebutuhan Thomas Queen, telah menanti kedatangan mereka. Urusan harta benda menjadi sangat krusial dan diutamakan, tanpa perlu menunggu masa berduka habis. Pada kenyataannya, itulah yang diharapkan semua orang. Tidak ada yang benar-benar berduka saat kesempatan menjadi kaya raya ada di depan mata. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD