The Choice

1092 Words
Seolah mendapatkan suatu kekuatan tak kasat mata membuat Sarah benar-benar melangkahkan kakinya meninggalkan ruang perpustakaan. Mata Brian mengekori langkahnya, memindai seluruh gerak-geriknya. Dan dalam jarak yang wajar, ia mengikuti gadis itu. Pada anak tangga pertama, Brian menggamit lengan Sarah. Gadis itu berjalan sedikit terhuyung, seolah embusan angin kencang menerpa tubuhnya. Dan itu tidak ada. Ia hanya masih terguncang dengan kenyataan yang baru didapatnya tadi.  Sedikit drama, berpura-pura kaget. Aktiknya begitu kentara. Dia pasti ingin segera tertawa-tawa dalam kamarnya di lantai atas, pikir Brian. Lelaki itu bertekad membongkar kedok gadis miskin yang kini membuat hidup keluarganya menjadi miskin.  "Tunggu Sarah!" Kaki panjang Brian melompat cepat pada anak tangga kedua, menghentikan langkah Sarah. "Kerjamu bagus. Sangat bagus. Selamat!"  Kening Sarah berkerut. "Kerjaku bagus? Bisa kau jelaskan apa maksud ucapanmu barusan, Tuan Brian?" Mata Brian memicing, senyum seringai sinis menghiasi wajah yang lebih sering muncul di koran dan majalah karena pemberitaan gosip dengan artis, selebriti, atau yang terbaru adalah politisi muda yang membuat pernyataan kontroversi terkait usulan kebijakan sertifikasi industri hiburan.  "Ya, kerjamu cukup bagus. Mendapatkan rumah ini beserta isinya, dan juga saham terbesar perusahaan," tuding Brian tanpa basa-basi. "Kurasa kau harus mengajariku, sedikit tips dan trik, tentang bagaimana cara meluluhkan hati Kakek. Mengubah cara pandangnya terhadap kami, keluarganya, yang telah ia kesampingkan. Demi berpaling padamu?" Dahi Sarah berkerut, ia tidak menyangka, Brian menghalangi jalannya hanya untuk omong kosong itu. Bagaimana mungkin ada orang yang tampak dari luar seorang lelaki sejati, penyayang, yang selama ini terkenal pintar bertutur kata sopan dan lemah lembut, yang mudah meluluhkan hati wanita, kini meluncurkan kalimat-kalimat sarkasme di depannya. Gadis itu merasa malu pada dirinya sendiri. Dirinya yang dulu sempat menyukai Brian. Jatuh hati pada pria perayu ulung itu dan berusaha untuk menarik hati lelaki b******k itu. "Oh… Tuan… Brian… yang terhormat!" Sarah merasakan darahnya mendidih di sekujur tubuhnya. Dadanya sesak menggelegak. Tangannya mengepal, namun tekadnya kuat menahan diri untuk tidak meninju wajah tampan bermulut sampah di hadapannya. "Kurasa, kau tak pantas mengucapkan kata-kata barusan padaku!" "Apa? Kenapa?" Brian memasang wajah tak berdosanya. Ia sudah sering berlatih melakukan hal ini pada para wanita yang ingin dia campakkan setelah kencan mereka mulai terasa hambar. "Semua yang aku katakan benar, kan? Kau telah melakukan hal itu pada almarhum kakekku." Mata Sarah yang semula melotot tiba-tiba meredup berselimut kaca-kaca air. Harga dirinya diinjak-injak. Ia sakit hati dan kecewa. Begitu mudahnya seorang yang punya kekayaan dan kekuasaan melecehkan orang lain hanya karena perbedaan status sosial. Sarah bahkan tak mampu membalas hinaan Brian barusan. "Oh, ayolah Sarah! Kau tak perlu merasa terhina dengan ucapanku. Justru seharusnya kau bangga! Aktingmu memang kurang memukau di mataku, tapi setidaknya itu berhasil untuk Kakek. Ini pujian yang kuberikan. Dan akh akan lebih menghargainya, bila kau bisa jujur pada kami semua. Kau mengakui perbuatanmu itu. Mungkin… yah, mungkin saja, orang tuaku, Paman Matt, Bibi Patricia, dan mungkin Robby, kami semua akan memaafkan dan memberimu pesangon lebih banyak dari yang seharusnya." Brian terus saja melontarkan ucapan omong kosong, bola matanya berputar-putar dan bibirnya menyeringai tanda mengejek, yang membuat hati Sarah semakin terluka. Sarah menghitung sampai sepuluh untuk membuat dirinya lebih tenang. "Dengar, Tuan Brian," desisnya. Ia menahan napas sebelum kembali berkata. "Aku menghormati keluarga ini karena Tuan Thomas. Aku bersabar demi dia. Menahan diri atas sikap kalian yang sering kali memberikan aku pekerjaan-pekerjaan lain di luar pekerjaanku yang seharusnya. Menjadikan aku seperti pelayan rumah ini. Aku bersabar karena Thomas menahanku pergi, dan aku melakukan apapun itu yang membuatnya bahagia. Itulah yang membuatnya sanggup menahan diri dari sara sakit yang dideritanya selama lima tahun terakhir ini. Dan karena kini Tuan Thomas sudah tidak ada, dan aku harus menerima kenyataannya. Jadi, sudah tidak ada lagi yang menahanku di sini." Gadis itu mendorong tubuh Brian ke samping agar ia bisa melewati anak tangga dengan mudah. Ia sudah tak sabar ingin segera angkat kaki dari rumah tempatnya bernaung selama lima tahun terakhir. Ia memang miskin, tapi tidak untuk dijadikan keset yang dibuang setelah dipakai membersihkan sepatu penuh lumpur. Hinaan Brian barusan, terlalu dalam mengoyak hatinya.  Lima tahun lamanya ia mencintai pekerjaannya di Queen Manor. Tuan Thomas yang terlalu baik, mengajarinya bermain catur, membaca ratusan buku di taman belakang, nasehat-nasehat kehidupan yang tidak pernah berhenti diberikan, pengetahuan tentang pandangan dan strategi bisnis yang tidak ia pahami, hadiah-hadiah kecil yang menyenangkan, dan lebih-lebih lagi, kasih sayang yang diberikan lelaki tua itu padanya. Sarah merasakan semuanya, seperti seorang kakek pada cucunya. Selalu membela, memberikan dukungan, mendidiknya untuk menjadi manusia yang lebih baik dari kemarin. Pengalaman itu yang mungkin tidak ia dapatkan bila bekerja di tempat lain. Hal itu pula yang selalu menjadi pertimbangannya bila hatinya merasa bimbang, antara ingin keluar dari pekerjaannya atau tetap lanjit mengurus Tuan Thomas Senior.  Mungkin di luar sana ratusan pekerjaan perawat menantinya dan menawarkan gaji yang lebih tinggi. Memberikan waktu yang lebih leluasa dan fleksibel sehingga ia dapat melanjutkan kuliahnya. Namun kebersamaannya dengan almarhum majikannya itu tidak bisa digantikan dengan uang sebanyak apapun. Sekalipun dengan warisan yang tadi sebutkan menjadi hak miliknya.  Aku tidak pernah menginginkan hal itu, tidak pernah! pekik Sarah dalam hati sambil menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menahan tumpahan air mata yang semakin sulit dibendung. Ketika Sarah telah berhasil mencapai tengah tangga, suara Brian kembali menyita perhatian dan membuatnya menghentikan langkahnya.  "Oh, jadi sekarang karena Kakek sudah meninggal, kau mau pergi begitu saja dan membawa semua uang yang berhasil kau rampok? Tertawa-tawa dalam perjalananmu keliar dari rumah ini sebagai perempuan kaya raya? Apa kau pikir kau bisa dihargai dengan uang haram? Apa kau kira kau bisa diterima masyarakat dengan kekayaan hasil rampasan? Sekali kau berada di kubangan, selamanya kau berada di sana, kau tahu!" "Cukup, Brian!" Gelegar suara Robby membuat semua keluar dari ruang perpustakaan. Bahkan Matthew Queen yang baru terbangun dari pondok belakang, berjalan terhuyung mengikuti naluri untuk berjuang hadir pada acara yang telah usai, terkesiap kaget lalu merapatkan dirinya ke tembok agar dapat menahan tubuhnya. "Apa? Apa yang kukatakan tadi salah? Jangan belagak menjadi pahlawan kesiangan, Robby! Kau tidak pernah membantu kami mengurus bisnis. Kau tidak pernah ada di sini ketika Kakek memarahi kami atas pembaruan bisnis yang kami lakukan. Kau—" "Cukup kataku!" Wajah Robby merah membara. Napasnya tersengal dan tangannya mengepal. Ia memang tidak pernah hadir di keluarganya, tapi juga tidak mau dituduh tidak membela keluarga. Namun, membuat Sarah terpojok dengan hinaan Brian barusan juga tindakan yang salah. Itu tidak adil.  "Kau tidak bisa seenaknya menuduh sembarangan seperti itu!" "Itu bukan tuduhan sama sekali. Itu kenyataan!" Teriak Brian garang. "Aku bicara berdasarkan fakta!" "Mana yang kau anggap sebagai fakta? Lihat, ucapan-ucapanmu tadi membuat perawat itu secepatnya ingin angkat kaki dari rumah ini. Kau tahu akibatnya, kan? Apa penjelasan Eddy tadi belum bisa dicerna oleh otak mesummu? Kalau sampai dia pergi—" Robby menunjuk Sarah dengan anggukan kepalanya. "—kalian, kita semua tidak akan mendapatkan apa-apa." *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD