Gus Ihsan Fatahillah

1457 Words
Mila terus menunduk, tidak berani mengangkat kepalanya. Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu rumah pak Yai dan bu Nyai untuk bertamu. Ya Allah ... kenapa dia sampai lupa? Bukankah Zahra selalu cerita, kalau ada panggilan khusus untuk sanak keluarga pak Yai.   Pak Yai : pimpinan pengurus Pondok Pesantren. Bu Nyai : istri dari pak Yai. Gus : panggilan untuk keluarga laki-laki. Ning : panggilan untuk keluarga perempuan.   Arfan tersenyum melihat Mila yang tertunduk, ia tahu kalau saat ini, gadis itu tengah merasa malu terhadapnya, padahal itu hal wajar. "Maaf Nona, saya permisi dulu. Bu Nyai masih menyelesaikan sesuatu dulu di dapur. Mohon ditunggu!" Arfan mengangguk sopan. Mila mengangguk pelan, "Te-terimakasih G-gus A-arfan," ucap Mila terbata. Setelah Arfan berlalu, Mila menghembuskan nafasnya. “Ya Allah, malu banget,” lirihnya menutup wajahnya. "Nek, aku mau papa pulang." Suara anak kecil terdengar sedang merengek. "Tapi Sayang, ayahmu gak bisa pulang cepat. Ada urusan buat satu minggu ke depan. Bukankah beliau sudah bilang ke kamu, jadi kamu harus anteng sama Nenek di sini!" Suara lembut seorang wanita terdengar menjawabnya. "Pokoknya aku mau papa, titik." "Sama Kakak aja, sini!" Terdengar suara wanita yang mungkin lebih muda dari yang tadi. "Assalamu'alaikum." Mila mendongakkan kepalanya, ketika ada suara yang menyapanya. Terlihat seorang wanita muda yang mungkin lebih muda setengah tahun darinya, sedang menghampirinya, lalu duduk tak jauh dari tempatnya duduk. "Wa'alaikumussalaam," jawab Mila sambil tersenyum. "Hai, Mbak, Kenalkan! Saya Rifa, putrinya bu Nyai di sini," ucap wanita muda itu sambil mengulurkan tangannya ke arah Mila. Mila menyambut uluran tangan tersebut, "Kamila, salam kenal juga, Ning Rifa." "Uminya masih ada urusan, mohon ditunggu, ya!" "Baik, Ning Rifa, tidak papa." "Mbak dari mana asalnya?" "Dari Jakarta, Ning," jawab Mila lembut. "Saya dengar mbak temennya kak Zahra, ya?" Mila mengangguk, "Ning Rifa kenal dengan Zahra?" Rifa menatap Mila sebelum dirinya mengangguk sambil tersenyum. "Kak Zahra juga mengaji di sini, sebelum pergi ke Jakarta." Mila mengangguk faham. "Tapi, kenapa gus Arfan tidak mengenal Zahra, ya?" Rifa menautkan alisnya. "Mas Arfan gak mengenal kak Zahra?" "Benar. Soalnya, pas tadi saya diinterogasi dan saya mengatakan tentang Zahra, beliau malah meminta nomor teleponnya Zahra." Rifa termenung, dalam hati ia bertanya-tanya, 'apa maksudnya Mas Arfan berpura-pura tidak mengenal kak Zahra?' "Emmn, Mbak ke sini sendirian?" Rifa bertanya. Karna merasa agak tak biasa, ada calon santri baru datang sendirian. Biasanya kan, kalau santri baru itu suka diantar oleh keluarganya. 'Apa mungkin ini hanya keinginannya sendiri? Sedang keluarganya, tidak mengizinkan mbak Mila untuk pergi mengaji? Kalau memang benar seperti itu, sungguh kasian mbak Mila.' Rifa terus berbicara dalam hatinya, 'Padahal kalau dilihat, mbak Mila sangatlah cantik, dan seperti wanita yang baik pula.' "Nek! Fatah biar Dina aja yang urus, di depan ada tamu yang bermaksud menjadi santri baru di sini." "Ya udah, Nenek titip dia ya, Din!" "Ya, Nek." Percakapan itu kembali terdengar dari arah ruang belakang, kemungkinan adalah ruang dapur. Suara langkah terdengar semakin mendekat. "Assalamu'alaikum." Mila menoleh ke arah asal suara yang sedang menyapa. Sosok wanita berparas cantik, meski wajahnya sudah terlihat tak muda lagi, mungkin usianya menginjak 55 tahunan, tersenyum lembut ke arahnya, menatap Mila penuh kasih sayang. Mila yakin, kalau wanita itu adalah bu Nyai, istri dari pak Yai di sini. "Wa'alaikumussalaam, Bu Nyai," jawab Mila sambil mencium tangan bu Nyai. Ketika bu Nyai hendak duduk tepat di hadapannya, berbarengan muncul sosok pak Yai dari arah depan. Beliau ikut duduk berdampingan dengan bu Nyai. "Ada tamu rupanya," ucap pak Yai. Mila membungkuk sedikit tanda kesopanan, tangannya ia rapatkan dan meletakkannya di depan d**a, "Assalamu'alaikum, Pak Yai," sapanya sopan. "Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," jawab pak Yai fasih. "Pak, ini adalah nak Kamila. Nak Kamila ini, adalah temannya ning Zahra sewaktu di UI. Jakarta. Tujuan nak Kamila ke sini, adalah untuk ikut menuntut ilmu di sini. Menjadi keluarga kita, bersama-sama berusaha mencari ke-Ridhaan Allah." Bu Nyai membeberkan tujuan Mila datang ke PonPes Al Zamil ini. Pak Kyai mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nak!" Pak Yai memanggil Mila. Mila mendongak menatap Pak Yai sebentar, lalu mengangguk. "Dari mana asal kamu?" tanya Pak Yai. "Jakarta, Pak Yai," jawab Mila. Pak Yai menatap Mila agak lama, seperti sedang menimang sesuatu, dan itu membuat Mila semakin tak tenang. "Orangtuamu?" Tubuh Mila menegang, tangannya mendadak gemetar. “Apakah pak Yai ini tahu, bahwa aku tengah kabur dari rumah? Apakah setelah ini, dia tak diizinkan mengaji di sini?” racau Mila dalam hati. "Siapa kakekmu, Nak?" Mila semakin gemetar mendengar kata 'kakek' dalam pertanyaan pak Yai. Meski pertanyaan pak Yai ber-inotasi lembut dan tak terkesan menginterogasi. Tapi, diterima oleh telinga Mila yang masih takut dengan perjodohan kakeknya, bagaikan sebuah vonis akan sebuah penyakit berstadium akhir. "Ka-ka-kakek s-s-saya adalah ...." Mila tak mampu menyelesaikan ucapannya. "Adalah?" tanya pak Yai kembali, yang seperti sebuah tekanan di telinga Mila. "A-a-a-adalah ... a-a-a-adalah ... emmm, ayah dari ayah atau ibu S-s-s-saya, Pak Yai." "Haaaaah?" Rifa yang mendengar jawaban Mila melongo. Entah dirinya yang gagal faham atas jawaban Mila, atau justru Mila yang gagal faham atas pertanyaan ayahnya. Yang jelas, dia merasa otaknya buntu seketika. Bukankah memang benar bahwa kakek adalah ayah dari ayah atau ibu. Atau kakek adalah ayahnya ayah atau ayahnya ibu. Aaah terserah, puyeng. "Hihihi," terdengar suara tawa kecil bu Nyai. Sedangkan Pak Kyai hanya tersenyum, melihat wajah Mila, ia menjadi teringat akan wajah teman lamanya. Kakak senior pak Yai sewaktu menuntut ilmu di Cairo. Mesir. Pak Yai faham bahwa gadis di hadapannya ini, sedang tidak ingin membuka jati dirinya. Mila semakin tertunduk, dia meremas gamisnya sendiri, matanya terpejam, seolah pasrah akan kehendak Allah pada tujuannya saat ini. "Kalau begitu, selamat datang di Pon-Pes Al Zamil, semoga kita bisa bersama-sama menemukan jati diri kita menjadi seorang hamba Allah yang diridhoi-Nya, menjadi Umat Baginda kita Rasulullah yang selalu mencintai beliau," ucap pak Yai. Mila seketika mendongak, apakah dia telah diterima? "Marhaban biqudumikum. Selamat datang di keluarga kami." Mila menoleh ke arah bu Nyai. Seketika airmatanya jatuh, merasa terharu. "T-terima kasih, Bu Nyai, terima kasih," ucap Mila tersendat. Rifa yang melihat itu, langsung memeluk Mila. "Selamat datang, Saudariku." Airmata Mila semakin berjatuhan kala mendengar perkataan indah nan lembutnya dari suara orang yang tengah memeluknya hangat. Kehangatan yang didapat dari tubuh Rifa, membuatnya mengingat dan merindukan pelukan sang ibu dan seluruh keluarganya. Tak bisa dipungkiri, selama dua tahun ini, dirinya sangat merindukan kehangatan dari keluarganya. "Terima kasih, Ning," jawabnya lirih. Jangan lupakan suara seraknya karena sedang menangis. "Astagfirullah. Dek FATAAAH." "HUWAAAAAAA, PANAAAAS." Suasana haru menjadi sangat tegang, kala mendengar jeritan perempuan dan tangisan keras anak laki-laki. Mereka semakin tercengang kala melihat seorang anak laki-laki berusia enam tahun berlari ke arah bu Nyai, dengan tangan yang hampir melepuh kulitnya. Semaunya panik, termasuk Mila. Matanya sedang mencari-cari sesuatu yang bisa membantunya saat darurat seperti ini. "Astagfirullah, Gus Ihsan." Pekikan seorang Santriwati yang hendak masuk sambil membawa sesuatu di dalam kantong keresek. Mila melihatnya, setelah diyakini apa yang dibawa Santriwati itu, tanpa berfikir panjang, Mila berlari ke arah Santriwati itu, merebut sesuatu yang digenggamnya, dan detik itu pula .... 'Dag' 'Dig' 'Dug' …. "HAI KAU, KENAPA KAU MELEMPARKAN TEPUNG TERIGU KE BADAN SAYA?!" murka anak kecil sambil menunjuk tepat ke arah Mila. Semua orang sangat terkejut dengan kejadian yang berlangsung singkat itu, terlebih Mila, yang tanpa sadar melakukan aksi lempar tepung ke arah anak kecil yang kelihatan sangat galak sekali. "NONA ... SAYA KASIH TAHU YA, HARI INI BUKAN HARI ULANG TAHUN SAYA," ucap anak kecil itu kembali mengaum. Semua orang menatap ke arah Mila bersamaan. Tangan Mila bergerak ke sana-ke mari. Kadang dilambaikan, kadang digigit, sangat gugup dan ketakutan. "M-m-m-maafkan S-s-saya, Gus! S-s-s-saya refleks melakukannya, m-m-m-melihat t-t-t-tangan Gus, sepertinya kerkena air pa-panas, jadi S-s-saya berinisiatif u-u-untuk melakukan p-p-p-pertolongan pertama, a-a-a-agar kulitnya tak melepuh." Bu Nyai dan yang ada di sana, bernafas lega. Ternyata tindakan Mila adalah berniat untuk menolong pangeran kecil keluarga Pon-Pes. "Nek, badan Fatah jadi kotor." Lah? Kemana kosa kata formalnya itu? Sungguh berbeda dengan kosa kata yang diucapkan anak kecil itu pada Mila. Manja. "Gak papa, Sayang. Ayok! Nenek bantu bersihkan." "Tunggu!" Semua orang kembali menatap Mila. "Ma-maaf! S-s-s-sebaiknya jangan dibasuh dulu! Tunggu lima belas menit, agar kulitnya tidak terasa perih. Biarkan tepung itu mengering dan kulitnya merasa dingin dulu! Semua orang mengangguk angguk mengerti, kecuali .... "Nona! Saya ingatkan, bahwa anda belum mencampurkan telur dan fermentasi (ragi/semacam bahan pengembang makanan) ke tubuh saya, jika anda bermaksud menjadikan saya kue donat," ucap anak kecil tersebut dengan nada sinis dan tajam. “Enak saja! Emangnya aku adonan roti apa? Sampai harus menunggu 15 menit segala,” dumel anak kecil itu dalam hatinya. "Yaa?" "Hah?" Mendengar penuturan anak kecil itu semua berekspresi sama, bingung. Namun sedetik kemudian diganti suara tawa dari setiap bibir orang yang ada di sana, kecuali Mila yang masih gagal faham. Mereka menggelengkan kepalanya, sangat salut dan terpukau dengan kecerdasan yang diturunkan dari gen sang ayah itu.  Gus Ihsan Fatahillah Al-Ghifari, sang pangeran kecil PonPes Al Zamil.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD