2. Teror di Sekolah

2175 Words
**** Anandeya Permana, gadis itu memiliki sifat yang sederhana, sesederhana pemikirannya. Tidak ada yang tahu bahwa ia mendapatkan penawaran khusus lagi menarik dari seorang pengusaha kaya hanya untuk membuatkan secangkir kopi Vanilla Latte setiap hari. Deya tidak berpikir panjang, ia menolak karena ia memang tidak membutuhkan apapun selain nilai terbaik untuk mata pelajaran kewirausahaan di kelasnya. Pagi itu suasana sekolah masih sepi, beberapa siswa terlihat baru berdatangan dari arah parkir sekolah yang terletak di samping sekolah yang berhalaman luas dan memang diperuntukkan untuk tempat parkir kendaraan para warga sekolah. Dengan langkah malas, Deya berjalan menuju ke kelasnya yang terletak paling ujung dari delapan deretan kelas. Wajah gadis itu terlihat lelah, ia masih memakai jaketnya yang berwarna abu-abu dan bergambar mini mouse. Langkah gadis berambut panjang itu sedikit diseret, rasa lelah yang menyerang akibat menunggu sang nenek di rumah sakit semalaman. Suara kicauan burung pipit yang tinggal diantara celah ranting pohon flamboyan masih sayup-sayup terdengar, menandakan memang hari masih terlalu pagi untuk datang ke sekolah. Deya mendengkus, ia memasuki kelas lalu duduk di kursi tempat biasanya ia duduk dan menikmati ilmu yang dibagikan oleh sang guru. Melepas jaketnya dengan sedikit malas, hawa dingin tiba-tiba menyerang sel saraf kulitnya. Pagi itu terasa sangat dingin, kaca jendela kelas masih terlihat lembab dan berembun. Suasana kelas pun masih terlihat sepi, hanya ada beberapa anak yang memang rajin datang terlalu pagi. Ketika Deya masih sibuk melipat jaketnya di atas meja, seseorang yang Deya kenal datang masuk ke dalam kelas dengan wajah tak kalah serius. "Kau mendapat masalah pagi ini, Deya." Rheina datang sambil bersedekap. Tas gendong masih setia melekat di punggung mungilnya. Deya tak menjawab, ia mengalihkan pandang dari jaket mini mouse di meja ke wajah Rheina yang ayu dan begitu segar. "Ada apa?" "Pak Kepala Sekolah memanggilmu," jawab Rheina tanpa basa-basi. Kali ini jawaban Rheina membuat dahi Deya berkerut. Ada apa sebenarnya? Tak biasanya Pak Joko, kepsek mereka memanggil Deya. Terlebih Deya adalah murid teladan, selama tiga tahun bersekolah di sana, ia sama sekali tidak pernah berlangganan guru BP atau melakukan kesalahan fatal. "Ada apa?" Lagi-lagi Deya bertanya, mengekspresikan pikirannya yang tengah bingung dengan situasi saat ini. Rheina mengendikkan bahu, ia berjalan menuju bangkunya lalu melepas tas gendong kecil yang ia pakai. "Entahlah. Daripada kau mendapatkan masalah yang lebih besar lagi, sebaiknya kau segera pergi ke ruangannya. Kau tahu, Pak Joko orang yang begitu ambisius. Beliau tidak suka menunggu," ucap Rheina memelankan suaranya hingga terdengar begitu misterius. Benar. Deya lalu bangkit dari kursinya dan beranjak pergi ke ruang kepala sekolah. Lagi-lagi gadis berambut panjang dengan dikuncir ekor kuda itu mendengkus, ia berjalan cepat melewati beberapa kelas guna mencapai ruangan kepala sekolah. Seperti yang dikatakan Rheina, kepala sekolahnya memang ambisius. Pak Joko begitu berdedikasi dengan jabatannya, beliau bahkan datang jauh lebih awal ke sekolah hanya demi mengecek beberapa kelas dan sarana lain sebelum akhirnya ia duduk di kursi empuk di ruangannya dengan tenang. Langkah Deya terhenti ketika sampai di sebuah pintu yang terbuat dari kayu jati. Mendadak irama jantungnya berdegup jauh lebih keras dari sebelumnya. Menelan ludah, Deya membulatkan niat sebelum ia mengetuk pintu itu dan masuk ke dalam ruangan. Biasanya jika ia memiliki perasaan semacam jantung berdebar-debar, perasaan gelisah, dan mulai mual maka sugestinya akan berbicara bahwa ini adalah pertanda buruk. Menarik napas dalam-dalam lalu membaca basmalah, Deya mulai mengetuk pintu itu sedikit pelan. Berharap Pak Joko tidak mendengar dan ia bisa kembali ke kelasnya tanpa harus bertatap muka dengan sang kepala sekolah. "Masuk!" Ah, harapan Deya sirna. Rupanya telinga beliau jauh lebih tajam dari telinga seekor rubah. Meskipun Deya mengetuk pelan, pria paruh baya dengan kacamata tebal itu masih mampu mendengarnya dengan sangat jelas. Sungguh, kenapa sekolah ini memiliki sosok yabg menakutkan seperti ini?! Deya kembali menelan ludah dan memberanikan diri untuk membuka pintu. Sebuah pemandangan yang tak disangka pagi itu benar-benar terjadi. Ketika pintu jati itu berderit dan terbuka, Deya langsung bertatapan dengan sosok yang begitu familiar dengannya. Ya, Dhante Shie Widjaya. Deya mendengkus pelan, kebat-kebit dalam hati ketika ia menjumpai sosok tersebut. Pertanda yang ia tafsirkan kini terjadi sudah. "Deya, duduklah!" Pak Joko mempersilakan Deya seraya membetulkan letak kaca matanya yang sedikit melorot turun ke hidung. Deya mengangguk, melirik sejenak ke arah Bos Dhante, lalu duduk di kursi sebelahnya. Pak Joko mengamati Deya sejenak, ada pesan yang ingin ia sampaikan dibalik wajahnya yang masam. Deya mulai berfirasat dalam hati mengenai pria ini. Benarkah Tuan Dhante melakukan ancamannya tempo hari? Terlebih setelah tawaran itu, Deya memilih absen tidak magang dengan alasan pura-pura sakit. Ah, benarkah si bos ini punya waktu luang untuk menelusurinya hingga ke sekolah? Kenapa dia begitu posesif hanya karena keinginannya ditolak? "Deya, Bapak rasa kamu sudah tahu apa yang akan Bapak sampaikan ke kamu. Kamu pasti juga tahu siapa bapak ini, iya 'kan?" Pak Joko memulai ceramahnya di hadapan Deya. Gadis berwajah manis hanya mengangguk, tak berani menoleh pada pria parlente yang duduk di sebelahnya. "Bapak kecewa karena kamu bolos dari tempat magang tanpa alasan." Deya terkejut, napasnya seakan terhenti di tenggorokan ketika mendengar ucapan sang kepala sekolah. Rasa nyeri menjalar dengan cepat di lehernya, rasa tidak nyaman itu terasa mencekik begitu tiba-tiba. "Tapi Pak, saya tidak bolos magang. Saya sudah mengirimkan surat ijin tidak masuk magang karena sakit." Semua terdiam, suasana ruangan kepala sekolah yang luas lagi nyaman mendadak terasa begitu sesak dan pengap dalam pikiran Deya. Gadis itu terdiam, menatap tajam ke arah Pak Joko yang menatapnya dengan bidikan aneh. Deya tersadar, ia terlalu sehat untuk pura-pura sakit. Akhirnya Deya pura-pura batuk dan menekan-nekan dadanya layaknya orang sakit napas. Membuat tatapan aneh Pak Joko berakhir dan menatap ke arah Tuan Dhante. Dhante melebarkan mata, ia tahu kini tatapan sang kepsek tertuju padanya dengan tatapan penuh curiga. "Iya, saya tahu dia tidak masuk karena sakit. Tapi di tempat kerja kami, surat biasa tidak berlaku. Bagi siapapun yang bekerja di caffe baik magang atau karyawan tetap, jika mereka sakit, mereka harus membuat surat keterangan dokter dan itupun harus ada tanda materainya." Dhante berkilah, meloloskan diri dari tatapan mengerikan dari kepala sekolah. "Seharusnya saudari Deya ini bertanya dulu mengenai peraturan yang berlaku di tempat kami. Jika sudah begini, saya bisa mengeluarkan dia dari tempat magang karena saya merasa kecewa. Dia masih magang loh, coba kalau sudah jadi karyawan, mungkin dia akan berbuat sesuka hatinya." Deya terbungkam, matanya menyipit ke arah Dhante. Pria ini sungguh tidak main-main dengan ancamannya. Kenapa hanya karena ia tidak masuk magang saja, ia harus dilaporkan ke kepala sekolah? Dia hanya anak magang, kenapa bos besar ini harus repot-repot mengurusnya? Pak Joko menghela napas, ia bersandar ke kursi empuknya seraya melepas kaca mata tebal yang selalu menghiasi wajahnya dengan raut wajah bertambah masam. "Baiklah, sekarang hanya tinggal Deya bagaimana. Apakah kau bersedia meminta maaf pada bos magangmu ini atau tidak? Jika kau bersikeras bahwa kau benar maka dengan terpaksa kau akan mendapatkan nilai buruk untuk kewirausahaanmu. Kau tahu 'kan Deya, mapel kewirausahaan sangat penting kaitannya dengan masa depanmu kelak. Mapel ini mengajarkan etika saat kamu bekerja kelak, jika kamu bersikap demikian maka bisa dipastikan kelak kau juga akan kesulitan dalam mencari pekerjaan." Deya terdiam, ia benar-benar terjebak kali ini. Tertunduk dengan hati yang terus saja dongkol, Deya akhirnya memilih untuk meminta maaf dan mengakhiri masalah dengan cepat. "Baik Pak, sa-saya minta maaf karena—" "Pak Kepsek, biarkan kami berbicara berdua di kantin pagi ini sebelum jam pelajaran dimulai. Saya rasa saya akan bernegoisasi dengannya mengenai perbuatannya yang tidak baik ini. Bagaimanapun saya perlu tahu dan memberi dia wejangan mengenai peraturan kami agar kedepannya dia bisa bekerja jauh lebih baik lagi. "Dhante menyela ucapan Deya seraya tersenyum ramah kepada Pak Joko. Deya kembali kesal namun ia tidak bisa berbuat apa-apa setelah Pak Joko menganggukkan kepala dan menyetujui ucapan Dhante. Setelah keputusan itu, baik Dhante maupun Deya keluar dari ruangan kepala sekolah secara bersamaan. Dhante tersenyum puas, ia menatap Deya penuh kemenangan. "Mari kita bicara di kantin sebentar, aku rasa aku perlu meralat penawaranku kemarin." *** Deya mulai malas tapi ia tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti ucapan Dhante yang memintanya untuk datang ke kantin sekolah. Bagi Dhante mencari letak kantin sekolah tidaklah sulit. Letak kantin yang terbuka di belakang sekolah membuat siapa saja bisa tahu dan datang ke sana kapanpun mereka mau. Dhante tersenyum, ia duduk dengan gagah seraya membetulkan jas hitam yang ia pakai. "Jadi—" "Pak, berhentilah menyusahkan saya. Saya tahu Anda kesal karena saya menolak Anda tapi itu bukanlah alasan bagi Anda untuk datang ke sekolah dan mencari masalah untuk saya. Pak, hidup saya sudah terlalu rumit, saya tidak ingin menambah beban dan masalah lagi." Dhante terdiam, ia memperhatikan wajah gadis itu dengan seksama. Setiap kali ia menatap Deya, jujur saja Dhante seolah melihat sosok Davia melekat di wajah itu. Sungguh, Dhante merasa gemas dan ingin memeluknya dengan erat. "Apa kau tengah mengeluh tentang hidupmu?" timpal Dhante pelan, membuat Deya menatapnya sekilas lalu membuang pandangan. "Aku sudah menawarkan hal terbaik yang aku punya tapi kau justru menolak dan seolah tidak membutuhkan. Padahal apa susahnya membuat secangkir kopi vanilla latte di rumahku? Aku hanya menyuruhmu membuat kopi dan tidak menyuruhmu mencuci baju atau mengurusku. Seharusnya kau memikirkan penawaran itu dan mempertimbangkannya. Aku bisa menanggung seluruh kebutuhan finansialmu selama kau membuatku puas dan tidak pernah melawan akan perintahku." Deya terdiam, ia tertunduk dengan wajah masam. Dhante menaikkan alisnya sebelah, sepertinya akan sulit baginya untuk membujuk gadis itu agar mau bekerjasama dengannya. Suasana kembali hening, kantin sekolah mulai ramai oleh para siswa yang mampir untuk sarapan pagi. Tak sedikit dari mereka saling berbisik sambil sesekali melirik ke arah Deya dan juga Dhante. Sepertinya mereka sudah memiliki bahan gosip kali ini. Kesunyian diantara mereka pecah seketika tatkala petugas kantin tiba-tiba datang membawa sepiring nasi goreng lengkap omellet telur di atasnya. Deya terbengong ketika nasi goreng itu diletakkan di hadapannya lengkap dengan segelap s**u cokelat hangat. Dhante tersenyum, ia bisa membaca wajah bodoh yang Deya tampilkan saat ini. Melihat ekspresi gadis itu, jujur saja Dhante ingin tertawa sepuasnya. "Makanlah! Kau butuh nutrisi pagi ini. Menunggu orang sakit itu membutuhkan kekuatan lebih," ucap Dhante kemudian, pria itu menjulurkan tangan lalu menepuk kepala Deya dengan pelan. Beberapa siswa yang memperhatikan kembali berbisik dengan wajah heboh. Ah, apa yang mereka tahu kecuali gosip murahan yang sebentsr lagi akan menghiasi mading sekolahan. Deya tak menjawab, ia seolah tersihir oleh kebaikan pria itu. Entah kenapa mendadak hati kecilnya menghangat dan tersentuh. Mungkin karena ia tidak dibesarkan oleh belaian sang ayah, itulah kenapa Deya mendadak terharu oleh kebaikan lawan jenisnya. "Ingat, pikirkan kembali tawaranku. Jika kau berubah pikiran, kau bisa menghubungiku lewat kartu nama ini." Dhante berkata serius seraya mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam dompet bermerk yang ia punya. Pria itu menyodorkan kartu nama ke hadapan Deya sebelum akhirnya ia beranjak berdiri. "Aku menunggu jawabanmu dan aku berharap kau tidak menolaknya kali ini. Ingat, satu cangkir kopi satu kali gaji." Dhante lalu beranjak pergi, meninggalkan Deya seorang diri bersama sarapannya dan juga sebuah kartu nama. Deya mengambil kartu nama itu, mengamatinya dengan malas lalu memasukkannya ke saku seragam. Kini apa yang harus ia lakukan pada nasi goreng tersebut? Menatap nasi goreng yang menggugah selera, perut Deya berdendang. Niat semula untuk membuang nasi goreng gratis itu kini sirna sudah. Deya menarik napas, sepertinya ia memang butuh sarapan kali ini. Tapi, darimana pria itu tahu jika Deya menunggu neneknya di rumah sakit semalaman? Apakah dia memiliki mata-mata? Mengendikkan bahu, Deya bersikap bodoh amat. Ia harus segera sarapan dan memulai pelajaran pagi ini. Ketika ia mulai menyuapi mulutnya dengan sesendok nasi, Deya terkejut dengan adanya sebuah kertas yang menyembul diantara gundukan nasi. Karena penasaran, Deya mengambil kertas itu dan membaca tulisan yang tersemat di dalamnya. 'Keep fighting'. Dan Deya mendadak tersenyum oleh tulisan tersebut. Konyol memang tapi ... Ah sudahlah, Deya seharusnya tidak memikirkan hal itu. Ia harus fokus sarapan dan— Bunyi nada pesan masuk ke kotak pesan di ponsel membuat perhatian Deya teralih. Ia meletakkan sendok lalu merogoh saku rok seragam guna mengambil ponsel jadulnya. "Nenekmu butuh dioperasi dengan segera. Setelah pulang sekolah, datanglah ke rumah sakit untuk tanda tangan persetujuan. Jangan lupa untuk menebus obat yang sudah diresepkan." Pesan singkat dari perawat Alina membuyarkan selera makannya. Deya meletakkan ponsel di meja, wajahnya mendadak kusut. Darimana ia akan mendapatkan uang lagi? Pengobatan kemarin hanya berbekal beberapa perhiasan sang nenek yang tersisa dan sekarang .... Menatap nasi goreng yang masih utuh, Deya mengedipkan bola matanya beberapa kali. Haruskah ia menghubungi Dante dan bekerja untuknya? Lalu bagaimana dengan egonya yang telanjur menolak kala itu? Tapi nenek— Deya mengeluarkan kartu nama itu dari saku sekali lagi, ia menatapnya dengan wajah bingung. Haruskah ia menghubungi Dante dan tiba-tiba mengiyakan penawarannya? Lalu bagaimana jika pria itu justru bersikap 'Diberi hati malah meminta jantung'? Deya menarik napas ketika membayangkan kemungkinan hal itu. Melirik ponselnya sekali lagi, Deya membayangkan kondisi neneknya yang lemah. Hanya beliau satu-satunya anggota keluarga yang ia punya. Kali ini Deya harus benar-benar berkorban. Ya, keputusannya sudah bulat. Ia harus bekerja pada Dhante, pada pria pemaksa dan posesif itu demi neneknya. Ingat, satu cangkir kopi satu kali gaji. Sepertinya Deya tidak akan rugi 'kan? ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD