Part 3. Shabaga Husein

1278 Words
Pria 56 tahun itu masih terduduk di kursi kerjanya. Matanya membaca baris demi baris kalimat yang tertulis dalam sebuah diari usang milik seorang wanita bernama Shameeta Yusuf. Perempuan yang sangat dibencinya. Satu fakta yang baru saja diketahuinya. Wanita itu ternyata membohonginya. Dia melahirkan bayi itu. Bayi yang tentu saja tidak diinginkannya. Selama 30 tahun dia hidup dengan tenang dan Bahagia bersama wanita yang dia cintai, Alina Maya Swastika Husein. Wanita yang menjadi kekasih dan cinta pertamanya. Bersama dengan Alin, Shaba memiliki tiga orang putri. Si Sulung, Aqila Maura Husein 28 tahun, Yaseira Shaba Husein 25 tahun, serta si bungsu Mikaela Faradila Husein 19 th. Lalu sekarang setelah 30 tahun ia hidup tenang, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang mengaku sebagai darah daging Shameeta. Ia tidak habis pikir, selama ini ia bahkan tidak pernah mendengar berita apapun tentang wanita itu. Ia menghilang bak ditelan bumi. Bagaimana bisa tiba-tiba ia harus kembali bersinggungan dengan masa lalu yang sudah dikuburnya ?. Satu baris kalimat membuatnya terpaku. ‘ Aku bersumpah tidak akan pernah menjadikannya sosok seorang ayah untuk putraku’ Shaba manatap tulisan tangan itu. Ingatannya Kembali ke masa mudanya, ketika tragedi itu terjadi. 1989 Setelah dari kantor, Shaba melajukan mobilnya menuju sebuah rumah sederhana yang sudah satu tahun dibelinya. Rumah yang ia berikan kepada kekasihnya, Alina. Rumah yang lebih sering ia singgahi, dibanding rumah besar yang selama ini diketahui orang sebagai rumahnya. Hanya butuh waktu 20 menit, ia sudah tiba didepan rumah berlantai satu itu. Seorang wanita cantik membuka pintu rumah. Tersenyum menyambut kedatangannya. Shaba segera turun dari mobil dan menghampiri kekasihnya. Memberikan kecupan sayang di kening wanita itu. “ Capek ?” Saba mengangguk. Alin mengambil tas kerja Shaba, mengandeng lengan pria itu masuk ke dalam rumah. “ Mandi dulu, aku siapin makan malam.” Shaba tersenyum, kakinya melangkah meninggalkan sang pujaan hati, sementara Alin melangkah menuju dapur setelah meletakkan tas kerja kekasihnya di ruang kerja pria itu. Shaba menghampiri Alin di meja makan setelah 15 menit. Alin tersenyum. “ Aku bikin spaghetti. Nggak apa-apa kan ?” tentu saja Shaba mengangguk. Apapun yang Alin masak, ia pasti akan memakannya. Shaba dengan lahap memakan makan malamnya ditemani sang kekasih. “ Kapan kamu menceraikan istri kamu?” pertanyaan Alin membuat Shaba mendongak, menatap kekasihnya. Ia meletakkan garpunya. “ Aku sedang berusaha mengembalikan uang orang tua wanita itu. Tolong bersabar.” “ Tapi ini sudah hampir dua tahun Shaba. Aku sudah sangat bersabar, membiarkanmu bersama wanita lain.” “ Dia hanya pajangan di rumahku.” “ Tapi dia cantik. Bagaimana kalau kamu jatuh cinta dengannya?” Shaba meraih telapak tangan kekasihnya. Mengusapnya lembut. “ Aku hanya mencintaimu. Sampai kapanpun … kamu tahu itu.” “ Tapi aku juga ingin kita menikah. Aku tidak mau hanya menjadi pelacurmu saja.” Shaba tersentak, menatap tak percaya kekasihnya. Apa yang baru saja didengarnya ? “ Kamu kekasihku, bukan pelacurku. Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu ?” “ Kenyataannya memang seperti itu.” Alin menatap tajam mata Shaba. “ Wanita itu punya status istri sah mu. Tinggal di rumah mewahmu. Tapi aku ?” Alin menunjuk dadanya sendiri. “ Aku tinggal di rumah kecil ini, tidak punya status sebagai istri, tapi aku memuaskanmu setiap malam. Apa itu namanya kalau bukan p*****r ?” Matanya sudah berair. Sudah cukup kesabarannya menunggu sang kekasih yang berjanji akan menikahi namun hal itu tak kunjung terwujud. Rahang Shaba mengeras. Ia sudah berusaha keras, bekerja dari pagi hingga malam setiap hari. Berusaha semaksimal mungkin untuk bisa segera membayar hutang perusahaan kepada mertuanya. Hanya dengan cara itu ia bisa menceraikan Shameeta. Tapi kekasihnya membuat ia kesal. Alin seharusnya tahu seberapa besar Shaba mencintainya. Ia bahkan tidak pernah menganggap keberadaan wanita yang berstatus sebagai istrinya. “ Atau jangan-jangan kamu sudah tidur dengannya ?itu sebabnya kamu tidak mau menceraikannya. Benar begitu kah ?” Shaba menggebrak meja. Ia berdiri, menatap tajam kekasihnya. “ Seharusnya kamu tahu sebesar apa aku mencintaimu. Wanita itu … aku tidak pernah menyentuhnya seujung kuku pun.” Tekan Shaba. “ Kalau kamu memang mencintaiku sebesar itu, ceraikan istrimu sekarang juga !!!. Aku tidak mau menunggu lagi.” Alin berteriak kencang. Air mata sudah menetes. Shaba mendorong mundur kursinya, lalu berbalik. “ Kita akan bicara lagi kalau kamu sudah tenang.” Ia melangkah pergi. Mengambil kunci mobil di kamarnya dan melesat keluar dari rumah itu. Sementara itu Alin menangis tergugu. Ia sangat mencintai Shaba. Ia sudah menyerahkan dirinya seutuhnya pada pria itu. Wajar kan kalau dia ingin pria itu segera menikahinya ? Meeta duduk di sofa ruang tamu. Seperti biasa ia menghabiskan hari-harinya dengan membaca. Keinginannya untuk kembali melanjutkan kuliah yang tertunda membuatnya belajar keras. Ia akan kembali ke Cambrige setelah bercarai dari Shaba. Tapi kapan ? ia belum tahu. Dia sudah merasa kebas dengan perlakuan suaminya. Mereka hanya dua orang asing yang terperangkap di dalam satu rumah. Sudah satu tahun belakangan, ia bahkan jarang melihat pria itu ada di rumah. Ia bisa menebak di mana pria itu berada. Di rumah kekasihnya. Ia menajamkan pendengarannya saat telinganya menangkap deru suara mesin mobil. Dilihatnya jam di dinding. Pukul 11 malam. Ia segera berdiri, lalu berjalan kearah pintu. Ia menatap tak percaya pria yang baru turun dari mobilnya. Jalan pria itu bahkan tidak bisa lurus. Meeta menggelengkan kepala. Pria itu mabuk. Beruntung sekali pria itu bisa mengendarai mobil selamat sampai ke rumah. Kenapa tidak kecelakaan saja di jalan, batin Meeta. Shaba berjalan terhuyung menuju pintu rumah yang sudah terbuka. Senyumnya terbit saat melihat seorang wanita sudah menunggunya di sana. Merasa senang karena berpikir Alin sudah tidak marah lagi. “ Kamu mabuk ?” tanya Shameeta begitu Shaba tiba didepannya. “ Aku mencintaimu “ gumam Shaba sebelum tubuhnya terhuyung kedepan. Meeta menahan tubuh Shaba yang menimpanya. Ia berdecak. “ Kenapa mabuk malah pulang ke sini. Menyusahkan saja.” Kesalnya. Namun tak urung ia tetap memapah pria itu. Berjalan terseok membawa orang mabuk itu ke lantai dua. Ia merutuki rumah Shaba yang besar, hingga ia kelelahan menahan tubuh besar pria itu sampai ke kamarnya. Ia segera mendorong tubuh Shaba ke ranjang begitu memasuki kamar pria itu. Nafasnya terengah. Untuk pertama kalinya Meeta memasuki kamar yang terlarang untuknya. Dengan menggerutu, Meeta melepaskan sepatu dan kaos kaki Shaba, menaikkan kaki Panjang itu ke atas ranjang. Mengambil selimut, lalu menutup tubuh pria itu. Tangannya tertahan saat ia hendak beranjak pergi. Ia menatap mata yang tadinya tertutup sekarang sudah terbuka. Bibir pria itu mengulas senyum, membuat Meeta bertanya-tanya. Apa yang sedang dipikirkan Shaba. “ Jangan pergi.” Meeta mengerutkan keningnya. “ Bukannya kamu bilang kamarmu ini terlarang untukku ?” Shaba menggeleng. “ Tidak lagi. Temani aku. Kita bersenang-senang malam ini.” Mata Meeta membelalak. Ia berusaha menarik tangannya, namun cekalan Shaba terlalu kencang. “ Lepas Shaba. Kamu mabuk. Aku Shameeta, bukan kekasihmu.” Kening Shaba terlihat berkerut. Ia memperhatikan Meeta. Meeta menarik nafas lega, sepertinya pria itu mulai sadar siapa yang ada didepannya. Namun tebakannya meleset, saat tiba-tiba tubuhnya tersentak, jatuh diatas tubuh suaminya. Waktu seakan berjalan terlalu cepat, ketika Meeta sudah berada dibawah kungkungan Shaba. Ia meronta, meminta Shaba melepaskannya. “ Lepas Shaba. Aku Meeta. Lepaskan atau kamu akan menyesalinya.” Namun Shaba hanya tersenyum. Matanya menatap dalam wajah wanita dibawahnya. Meeta masih mencoba melepaskan diri. Shaba mendekatkan wajahnya, meraup bibir wanita dibawahnya dengan rakus. Hasrat sudah menguasainya. Ia akan segera menceraikan istrinya, dan menikahi wanita yang dicintainya. *** Suara ketukan menyadarkan Shaba dari lamunannya. Pria tua itu mendesah, kala ingatannya kembali ke masa lalu. Ia jelas tahu, pria yang baru saja menemuinya adalah darah dagingnya sendiri. “ Masuk.” Perintahnya pada si pengetuk pintu.  Wajah asistennya, Haris muncul dari balik pintu. “ Sudah ditunggu di ruang meeting Pak.” Shaba mengangguk. Menutup buku diari lusuh itu, kemudian memasukkannya ke dalam laci meja, sebelum beranjak keluar ruangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD