Cintaku Adalah Kamu

1087 Words
Rose menendang Falsettonya ke sembarangan tempat, masuk ke dalam rumah dengan bertelanjang kaki, menikmati dinginnya lantai keramik di telapak kakinya. "Sesuai ekspektasi, aku harus memberi mereka tip tambahan." Rose mendesah sembari menatap keseluruhan interior rumahnya yang begitu memuaskan. Dia kemudian menyeret gaunnya dan berjalan ke dapur, membuka kulkas dan menuangkan air dingin untuk dirinya sendiri lalu kembali ke ruang tamu. Menegak habis air minumnya, Rose lalu merebahkan punggungnya ke sofa panjang, mengamati chandelier kristal besar yang menghiasi langit-langit. Dengan hati yang masih berdecak kagum, dia meraih ponselnya dan mengirim sejumlah uang ke perusahaan interior yang menghias rumahnya. Senyumnya masih terus membayang di bibir ketika Rose memejamkan mata dan perlahan jatuh tertidur, menyelami lautan mimpi yang tentu lebih indah dari kenyataan. Rose baru terbangun ketika mendengar suara bantingan pintu. Karena dia tertidur dari siang hari hingga malam hari, lampu yang menyala di rumah itu hanyalah lampu di ruang tamu. Dari balik lengan sofa, Rose melihat Dion masuk dengan wajah yang tak kalah masam dari raut wajahnya siang tadi. "Oh, kau pulang?" Rose bangkit untuk merenggangkan otot-ototnya, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Dia mengangkat alis, dan menoleh kepada pria yang baru saja selesai melepas sepatunya. "Kupikir kau akan pulang pukul 12 malam." Dion mendengus. "Seharusnya aku tidak perlu pulang," ujarnya, tanpa menoleh pada Rose, dia beranjak ke dapur, menyalakan lampu dan menuangkan air untuk dirinya sendiri. Jika bukan karena ayahnya yang menelpon dengan marah dan menyuruhnya pulang, Dion benar-benar berencana untuk menginap saja di kediaman kekasihnya. "Bagaimana keadaan Laura?" Rose mengikuti dan berdiri di hadapan Dion, menatapnya dengan mata membulat penasaran. "Apakah dia menangis?" Dion meletakkan gelas ke meja dengan kasar. "Menurutmu? Apakah dia harus senang aku menikahimu?" Rose menahan senyumnya di bawah tatapan tajam Dion. "Ini hanya dua tahun, dia seharusnya bisa sedikit lebih sabar." "Bersabar?" Dion menatap tak percaya. "Jangankan dua tahun, sehari saja kau melihat orang yang kau cintai bersanding dengan orang lain, rasanya sangat tak bertahankan. Dan kau menginginkannya bersabar? Kau bahkan tidak tahu bagaimana terlukanya perasaanya sekarang." Rose menggembungkan pipi. "Aku tahu." ujarnya pelan. "Apa yang kau tahu?" "Aku tahu perasaannya." Dion mendengus. "Omong kosong. Apa kau bahkan punya perasaan cinta?" Rose diam, namun matanya masih terus menatap ke arah Dion selagi hatinya terus membisikkan kata cinta untuk pria di hadapannya itu. 'Cintaku adalah kamu' Dion menyeringai. "Lihatlah, kau tidak bisa menjawab kan?" Rose mengangkat bahu tidak peduli lalu mengulurkan tangan untuk meraih gelas yang tergeletak di atas meja. Namun Dion meraihnya lebih dulu dan menjauhkannya dari tangan Rose. "Mau kau apakan gelasku?" Mata Rose berkedip-kedip. "Aku juga mau minum." "Pakai gelas lain, aku sudah memakai yang ini." Dion meletakkan gelas itu ke wastafel. "Apa salahnya? Dan itu gelasku, aku yang membelinya." "Aku tidak suka berbagi barang dengan orang asing," ujar Dion. Rose mengangkat alis dan bersedekap. "Kita bukan orang asing, kita adalah suami istri." "Persetan, bagiku kau bukan siapa-siapa." Dion berbalik, menatap tajam. "Salah satu persyaratan yang aku tulis di perjanjian adalah merahasiakan pernikahan ini dari publik, jadi jaga mulutmu." "Aku tahu." Rose menopang tubuhnya pada meja makan. "Kau sudah makan?" "Hn." "Aku belum." "Bukan urusanku." Dion beranjak dan keluar dari dapur. Rose tersenyum tipis. "Cih perkataannya semakin kasar saja." Dia melongokkan kepalanya dan melihat Dion naik ke lantai dua. "Dion, kamar kita adalah kamar pertama di sebelah kanan! Mandilah dulu dan tunggu aku!" Dia berteriak. Dion tidak menjawab apa-apa, namun dapat dilihat bahwa emosinya cukup tersulut dengan langkah kakinya yang semakin cepat. Alih-alih berbelok ke kanan sesuai instruksi Rose, Dion justru belok ke sebelah kiri. Rose tidak terlalu terkejut dengan itu, dia tahu bahwa Dion tentu saja tidak akan mau tidur sekamar dengannya. Kruuukk... Rose menunduk dan menatap perutnya yang rata. "Aku lapar." bisiknya lalu menuangkan segelas air di gelas yang baru dan meminumnya, namun tentu saja itu tidak berpengaruh. Setelah menjual mension peninggalan ibunya, Rose memang memberhentikan puluhan pelayannya sedangkan sisanya dia kirim untuk mengurusi villanya yang berada di kaki gunung. Satu-satunya yang tersisa hanyalah Bibi Daisy, kepala pelayan yang juga merangkap menjadi pengasuhnya sejak kecil. Namun beberapa hari ini, wanita paruh baya itu sedang pulang kampung untuk menjenguk saudaranya yang sakit. Alhasil Rose yang sama sekali tidak tahu caranya menyalakan kompor hanya bisa makan makanan cepat saji atau hanya memesan makanan melalui jasa pesan antar. Rose baru saja akan keluar untuk memesan makanan ketika jantungnya tiba-tiba saja menjadi sakit, rasa nyeri itu menusuk hingga membuat nafasnya mulai tercekat dan kesulitan untuk di tarik. Rose meremas dadanya, berjalan susah payah ke ruang tamu dengan bertumpu ke beberapa perabot rumah maupun dinding. Dengan tangan bergetar, dia membuka laci pertama dari meja yang terletak di sisi sofa, mengeluarkan kotak obat kecil yang di dalamnya terdapat delapan jenis slot dengan isi obat berbeda warna. Rose langsung menegak delapan butir dan, menelannya begitu saja tanpa ragu. Efek obatnya tidak datang secara instan, karena itulah Rose masih harus menanggung rasa sakit itu selama beberapa menit. Dia mendudukkan diri ke lantai, mengatur pernapasannya yang masih sesak hingga mengeluarkan bunyi mengi yang samar. Dia menyandarkan dahinya ke meja, memejamkan mata dan menahan rasa sakit yang seharusnya telah terbiasa dia rasakan. Ketika akhirnya rasa nyeri itu perlahan menghilang, Rose tidak lagi memiliki selera untuk makan apa apa. Dia hanya meraih ponselnya lalu naik ke lantai atas dengan langkah yang tertatih. Mengambil arah yang berlawanan dengan kamar yang dipilih Dion dan masuk ke kamar pertama yang dia temukan. Kamar itu banyak dihiasi oleh bunga Mawar, bahkan kelopak cantik bunga itu masih menyebar rapi di atas ranjang. Rose hanya meliriknya sekilas lalu menyeret langkahnya ke kamar mandi. "s**t, gaun ini sangat sulit di lepaskan." Rose berusaha untuk membuka resleting gaunnya yang terletak di punggung, namun masih kesulitan menggapainya. Karena gaun pengantinnya memang dengan model off shoulder, Rose dengan kasar menariknya turun hingga di beberapa bagian terdengar suara sobekan. Setelah lebih mudah menggapai resletingnya, gaun itu akhirnya meluncur turun dari tubuhnya dan menumpuk di lantai. Rose meninggalkannya di sana lalu masuk ke bilik kaca untuk mandi. membilas semua rasa penat yang dia rasakan di untuk hari ini. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, Rose kemudian keluar dari kamar, berjalan menuju studionya yang hanya berjarak beberapa langkah dari kamarnya. Studio itu sangat luas, lebih luas dari kamar utama di rumah itu. Bercat putih bersih dengan beberapa lukisan yang menggantung di dindingnya. Di sudut ruangan terdapat easel yang berdiri tegak, menyangga sebuah canvas kosong. Sedangkan sebuah meja besar terletak di sisinya dengan berbagai alat lukis yang tertata rapi di atasnya. Rose masuk dan menutup pintu, meraih celemek yang tergantung di samping pintu dan berjalan menuju dunia yang paling dia gemari. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD