2. Closeness

745 Words
Memang Akira adalah salah satu sahabatnya yang berjenis kelamin perempuan. Menjadi satu-satunya perempuan di persahabatan itu membuat Akira dijadikan seperti putri. Padahal Akira sendirian mempunyai teman yang bernama Cyra. Perempuan modis yang baru saja membuat dirinya kesal. Terbiasa diutamakan membuat Akira kesal dengan perlakuan Cyra. Tak bisakah perempuan itu mengerti bahwa Akira juga ingin mengerjakan tugas. Namun, saat ini ini memang salah dirinya juga yang tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi, apa salahnya tidak timbal balik. Cyra saja jika tertinggal tugas pasti akan Akira pinjamkan bukunya untuk di salin. Namun, bukan timbal balik yang Akira dapatkan, hanya sebuah perlakuan kasar yang berkedok dengan nama TEMAN. "Gue punya film baru, Ra. Mau nonton enggak?" Ken tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan menatap Akira sambil menaik-turunkan alis tebalnya. Mata Akira berbinar kala mendengar sebuah film baru yang ia yakin itu akan menjadi film yang menyenangkan. Apalagi tipe mereka sama, suka action dan horror. Sangat pas jika dilakukan bersama. "Mana? Mau nonton gue." Akira menggoyangkan tangan Ken. Sementara Devin nampak tenang dan tidak memperdulikan kedua sahabatnya itu. Karena yang paling dewasa diantara ketiganya hanya Devin. Jika Ken merupakan komplotan Akira, sangat berbeda dengan dirinya yang seperti mengurus bayi-bayi besar. Sama seperti seorang ayah yang menjaga anak-anaknya. "Oke." Ken mulai mengatur ponselnya agar dapat berdiri tegak. Namun, berkali-kali ponsel itu terjatuh dan membentur meja, tetapi Ken tidak mau menyerah. Dan meraih tas yang entah milik siapa. Akhirnya Akira mendapatkan posisi yang sangat pas dengan diampit Devin dan Ken. Sangat berani sekali mereka menonton film saat pelajaran berlangsung. Tetapi, Akira yakin. Dari kebanyakan siswa siswi di kelasnya tidak akan mungkin mengerjakan semua, pasti ada saja salah satu siswa yang berakhir di hukum dan kelas menjadi kosong tanpa guru. Benar saja. Setelah beberapa menit berlangsung dan Bu Dias telah menyelesaikan pekerjaannya yang mengoreksi tugas-tugas. Kini pandangannya mengitari seisi kelas. Terlihat dari beberapa anak menatap Bu Dias takut, termasuk Akira. Ia sadar dirinya tengah duduk di bangku yang bukan miliknya. "Ngapain itu duduk bertiga di belakang. Akira pindah ke tempat duduk kamu sendiri!" titah Bu Dias dengan suara lantang. Seketika Akira panik dan berusaha tenang sambil menyelipkan bajunya agar terlihat rapi. Ia lupa bahwa seragamnya ini tidak dimasukkan dengan sengaja. Semoga kali ini Bu Dias tidak benar-benar memperhatian dirinya. Perlahan Akira bangkit dan meninggalkan bangku milik Devin dan Ken. Ia berusaha berjalan dengan tenang agar bajunya tidak tiba-tiba mencuat keluar. Sejenak dirinya merasa bangku kedua dari pintu itu sangatlah jauh. Padahal tadi ia hanya duduk di bangku nomor lima, tetapi ingin kembali ke bangkunya sendiri saja terasa sangat jauh. Apa karena ia berjalan terlalu pelan? Setelah mendarat di bangku asli miliknya, Akira tersenyum singkat menatap Bu Dias sambil melipat kedua tangannya di atas meja. Pura-pura menjadi anak baik. Tanpa menoleh ke arah Cyra yang sejak tadi menatap kedatangan dirinya. "Yang tidak mengerjakan tugas kemarin Ibu minta kalian keluar!" bentak Bu Dias dengan suara yang amat lantang. Akira yang sejak tadi tidak memperhatikan pun terjengit kecil. Sambil mengelus-elus d**a ia menatap Bu Dias dengan bibir yang bergumam tidak jelas. Ia sungguh kesal dengan bumil ini. Tiada hari tanpa marah jika memasuki kelasnya. Satu per satu anak-anak kelas Akira meninggalkan bangkunya. Terlihat dari wajah-wajah mereka yang bersungut kesal. Bahkan ada yang terang-terangan mengumpati Bu Dias yang Akira yakin guru itu pasti mendengarnya. Setelah semuanya keluar, tinggallah segelintir orang yang ada di kelas. Termasuk Akira, Cyra, Devin, Ken, Bima, Anisa, dan Zack. Dan setelah dirasa cukup Bu Dias pun melenggang pergi tanpa memberi tugas apapun di kelas. Tentu hal itu membuat Akira senang bukan main. Dan langsung saja dirinya bangkit dan berlari kecil ke arah bangku milik kedua sahabat laki-lakinya itu. "Gila. Itu banyak banget tadi," ucap Akira menggebrak meja pelan. "Kayak lo enggak tahu aja anak kelas kita gimana. Yang rajin kan cuma Anisa sana Cyra. Lah yang lain?" sahut Ken sambil tertawa pelan. Devin menoyor kepala Ken sambil menjawab, "Masih untung lo tadi gue bilangin. Kalau enggak mungkin lo udah bernasib sama seperti mereka." Melihat Ken hendak membalas ucapan Devin, Akira langsung mengkodenya untuk diam. Dengan jari telunjuk yang berada di depan wajah Ken. "Jadi nonton enggak, nih?" "Oh ya, jadi dong." Bagai diaba-aba Devin dan Ken mengucapkannya berbarengan. Dan memposisikan diri dengan kompak. Sama-sama menghadapan ke depan. Sementara Akira hanya menggeleng pelan dan berusaha masuk ke dalam bangku, tanpa permisi pada Devin. Ia masuk dengan paksa membuat Devin menatap punggung mungil itu datar. Aroma parfum teh milik Akira tercium hingga ke hidungnya. Sama seperti beberapa tahun yang lalu. Akira gemar sekali memakai parfum pemberian darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD