1. Pertemuan Kembali

1846 Words
“Halo, Cantik!” Sapaan yang familier di telinga Kirana secara otomatis memperlambat langkahnya. Wanita berusia 22 tahun itu menoleh ke samping ke arah tangga. Arsenio yang mengenakan setelan jas abu-abu tampak sedang berjalan menuruni anak tangga. Satu tangannya memegang susuran tangga sementara tangan lainnya terkubur di saku celana. Senyuman pun terkembang dari bibirnya. “Butuh bantuan?” Kirana menggeleng. “Tidak. Terima kasih.” Kirana kembali mendorong troli makanan berisi beberapa piring canape dan beberapa botol wine. Namun, wanita berseragam hitam-putih khas pelayan itu kemudian dikejutkan oleh aksi Arsenio yang tiba-tiba turut berjalan di sampingnya. Tidak hanya itu, tangan kiri Arsenio pun ikut memegang handle troli. “Arsen, gue lagi kerja,” imbuh Kirana. “Gue lagi bantu cewek gue kerja,” balas Arsenio sambil cengengesan. “Jangan bercanda, Sen,” desis Kirana, “Kita tidak sedang di kampus dan gue bukan cewek lo.” Penyesalan terbit di benak Kirana karena mengambil pekerjaan sampingan sebagai pelayan sewaan. Tiga dari lima ART di rumah mewah berdesain eropa-modern itu sedang mudik sehingga mereka kekurangan pelayan untuk menjamu tamu di acara makan malam istimewa. Seandai saja dia tahu kalau Arsenio akan terus mengganggunya seperti ini, dia tidak akan mengambil pekerjaan yang ditawarkan restoran tempatnya bekerja. Troli berbelok ke ruang makan. Di sana sudah ada Santi, teman sekampus mereka, serta seorang pelayan lainnya. Santi pun mengambil pekerjaan sampingan sebagai pelayan restoran sama seperti Kirana. Dia hanya menggeleng-geleng melihat tingkah sang putra tuan rumah yang tanpa canggung berjalan berdampingan dengan seorang pelayan sewaan. “Bapak Arsenio Fajrial, dimohon untuk menunggu di ruang tamu. Kawasan ini belum bisa dimasuki yang punya hajat,” usir Santi dengan nada bercanda. “Biarkan kami, para pelayan, melakukan tugas kami dulu.” “Ngomong apa sih lo, San?” tepis Arsenio. Pria berkulit putih dan bermata sedikit sipit itu lalu membantu Kirana mengangkat piring-piring berisi makanan pembuka ke atas meja. “Yang harus nunggu di ruang tamu itu, ya tamu. Gue bukan tamu. Bukan juga yang punya acara,” lanjutnya. “Arsen, tolong jangan ikut-ikutan. Biar gue aja yang menatanya,” Kirana memprotes aksi Arsenio berikutnya yang turut serta menata apptizers khas Perancis di atas meja makan persegi bertaplak putih dan memiliki jumlah kursi dua belas. “Iya, Sen. Enggak enak tau dilihat ART lo. Nanti mereka pikir kita cewek-cewek penggoda,” imbuh Santi. Arsenio memajukan bibir bawahnya yang kemerahan. “Itu sih pikiran lo aja, San. Mereka enggak bakalan punya pikiran seperti itu. Mereka tahu kalau gue mau ngobrol sama orang lain, berarti orang itu orang yang gue kenal.” “Percaya deh. Arsenio Fajrial, gitu lho,” singgung Kirana dengan nada bercanda. Santi menyatukan kedua telapak tangan di depan d**a hingga terdengar suara ‘plak’. “Thank God. Akhirnya beres. Tinggal menunggu para tamu undangan masuk.” “Oke. Kalau begitu, gue balik ke pantri ya,” tutur Kirana. “Gue ikut.” Arsenio lebih dulu memegang handle troli yang akan dibawa kembali oleh Kirana. Kirana memberengut. “Ngapain sih ikut-ikut segala?” “Pokoknya ikut,” desak Arsenio sambil berlagak manja. “Terserah lo deh.” Sayangnya, niat Arsenio yang ingin turut serta membantu Kirana harus terjegal oleh panggilan seorang pria yang mengenakan pakaian batik. Pria yang merupakan petugas keamanan rumah tersebut memasuki ruang makan tanpa senyuman. Jutek. Namun, ia mendadak terlihat ramah ketika ia akan berbicara kepada Arsenio. “Mas Arsen, dipanggil Bapak. Mas diminta ke ruang tamu segera,” katanya. Kekecewaan tampak mewarnai wajah oriental Arsenio. “Bilang sama Papa, saya sedang sibuk.” “Kata Bapak, ini penting, Mas.” Arsenio berdecak kesal, lalu dia menoleh kepada Kirana. “Gue cabut dulu, ya.” “Iya. Good luck!” Sindiran halus yang mengarah ke candaan terlontar dari mulut Kirana. Kirana akhirnya bisa bernapas lega karena terbebas dari gangguan Arsenio untuk sementara waktu. Dia segera mengeluarkan troli makanan dari ruang makan. Terburu-buru ingin cepat mencapai pantri, Kirana tidak terlalu memperhatikan sekitarnya. Ditambah lagi dengan roda belakang troli yang tiba-tiba tersendat, Kirana hanya fokus pada usahanya untuk segera tiba di pantri yang berjarak sekitar tujuh sampai delapan meter dari ruang makan. Ruang makan yang luas dan keberadaan mini bar di samping ruang itu membuat ruang tempat penyimpanan makanan menjadi terlalu jauh dari yang seharusnya. Sedikit tergesa-gesa, Kirana tidak menyadari kalau ada seseorang yang tengah melintas persis di depan trolinya. Bagian depan troli pun membentur kaki orang tersebut. “Ough!” Begitu suara maskulin itu menggaungkan keterkejutannya, Mata Kirana sontak melebar. Secara otomatis pandangannya tertuju ke si pemilik suara dan tatapan mereka pun berserobok. Oh, tidak! Tiba-tiba saja d**a Kirana terasa seperti dihantam balok beton yang beratnya ratusan kilo. Rasa sakit, sedih, kecewa, dan marah secara bersamaan mengalir ke seluruh tubuh dan berdenyut di setiap nadinya. Sudah delapan tahun pria yang memiliki pahatan rahang sempurna itu tidak berubah. Mata cokelat keemasan di bawah alis tebalnya masih memancarkan sorot angkuh yang sama. Selama beberapa saat mereka hanya saling memandang dalam diam. “Pak Gala, Bapak sudah ditunggu di ruang makan.” Pemberitahuan pria berkemeja hitam yang mendadak datang memecah keheningan. Pria bertubuh tinggi atletis dalam setelan jas berwarna hitam itu mengangguk, tetapi pandangannya masih berlabuh pada Kirana. Tidak lama kemudian pria itu pergi bersama pria berkemeja hitam. Pundak Kirana melorot. Tubuhnya mendadak lemas. Beruntung kedua tangannya masih memegang handel troli sehingga dia tidak terjatuh. Dia ada di sini di rumah ini. Sambil menahan tangis, Kirana berusaha secepatnya mencapai pantri. Namun, sengatan rasa panas di matanya tak lagi bisa dibendung. Butir-butir air mata akhirnya jatuh membasahi pipi mulus Kirana. “Kok mukanya ditekuk begitu, Na?” tanya Yan, staf katering dari restoran tempat Kirana bekerja, ketika Kirana tiba di pantri. “Enggak apa-apa, Mas, cuma kesel doang sama roda troli yang macet. Tadi salah ambil troli.” Kirana beralasan, lalu tersenyum berusaha menyembunyikan perasaannya yang sedang kacau balau. “Sudah beres semua?” “Sudah. Tinggal nunggu tamunya makan aja, Mas.” Kirana kemudian menarik troli dan meletakkannya ke sudut ruangan agar tidak menghalangi jalan. “Ngomong-ngomong, boleh enggak Rana istirahat sebentar? Rana pengen menghirup udara di luar.” “Boleh, tapi jangan jauh-jauh. Takut Santi butuh apa-apa.” “Iya, Mas. Cuma mau ke bangku taman aja kok.” “Oke.” Kirana keluar dari pantri melalui pintu yang terakses langsung ke taman di pekarangan belakang. Seperti katanya pada Yan tadi, Kirana tak berminat pergi ke mana-mana selain duduk di bangku taman. Cahaya lampu taman membuatnya bisa sedikit menikmati indahnya warna-warna bunga yang bermekaran di sana. Sayangnya, Kirana malah teringat pertemuannya dengan pria angkuh tadi. Sungguh menyebalkan. “Woiii!” Tepukan di bahu Kirana membuat gadis itu terperanjat. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Arsenio tengah berdiri di belakang bangku. Arsenio kemudian mengitari bangku dan duduk di samping Kirana tanpa permisi. “Sedang apa di sini?” Tidak menjawab, Kirana justru balik bertanya, “Elo yang ngapain datang ke sini? Bukankah elo harusnya ada di dalam sama tamu-tamu dan keluarga lo?” “Males, ah. Obrolan mereka enggak nyambung sama gue. Terlalu retro.” “Ngomong-ngomong, boleh enggak kalau gue kepo sedikit?” Kirana melayangkan pertanyaan dengan sangat hati-hati. “Kalau ngepo-in gue sih boleh banget.” Arsenio menggerak-gerakkan alisnya ke atas berusaha menggoda Kirana. Kirana mencebik. “Enggak penting banget ngepo-in elo.” “Elo mau nanya apa? Gue siap jawab,” tantang Arsenio sambil merentangkan satu tangannya ke sandaran bangku persis di belakang punggung Kirana. “Acara makan malam ini untuk merayakan apa sih?” “Rencana awalnya, Papa akan membicarakan soal pernikahan Mbak Lula dan Mas Gala dengan Om Hariz.” Om Hariz. Tiba-tiba Kirana merasakan lagi sesak di dadanya. Namun, sebisa mungkin dia menyembunyikan kekalutan pikirannya. Dia pura-pura tenang. “Terus?” “Kayaknya enggak jadi, deh. Soalnya Mas Gala bilang, dia masih punya urusan penting yang harus diselesaikan. Entahlah, keputusan Mas Gala tiba-tiba berubah. Padahal, sebelumnya dia yakin banget mau menikah dengan Mbak Lula dalam waktu dekat. Maklumlah pengusaha sukses kadang-kadang lebih mementingkan pekerjaan daripada kehidupan pribadinya,” papar Arsenio. Oh. Kirana akhirnya tahu alasan Gala berada di rumah keluarga Fajrial. Dia kekasih kakaknya Arsenio. Ya, wanita mana sih yang tidak ingin bersanding dengan seorang Galaxy Aryaka yang merupakan pengusaha sukses dan berprestasi? Pikir Kirana. “Hei, kok ngelamun lagi sih?” Arsenio menjentikkan jari dan membuat Kirana mengerjap. “Siapa yang melamun?” tepis Kirana. “Mas Arsen, Mas! Mas Arsen di mana sih?” Suara si satpam yang menembus dinding dan terdengar sampai ke taman memangkas obrolan Kirana dan Arsenio. “Tuh, kan. Elo dicari lagi. Cepetan balik ke sana!” titah Kirana. Arsenio menyugar rambut hitamnya sambil berdecak kesal. “Ya, ampun! Baru keluar sebentar, udah dicari lagi.” Si satpam akhirnya menemukan keberadaan Arsenio dan menghampirinya sambil berlari kecil. Napasnya masih terengah-engah saat meminta Arsenio kembali ke dalam. “Mas, Bapak minta Mas—“ “Iya, iya.” Arsenio memotong pemberitahuan si satpam dengan nada geram. Ia kemudian bangkit dari duduknya lalu menatap Kirana. “Gue balik dulu ke dalam, ya.” Kirana mengangguk. “Iya.” Beberapa saat kemudian pandangan Kirana teralihkan oleh serangga yang terbang menuju lampu taman. Sampai serangga itu menghilang di kegelapan, mata Kirana masih saja tertuju ke cahaya lampu yang berpendar dan menerangi sekitarnya. Tahun-tahun suram telah dilaluinya dengan peluh dan air mata. Sedikit berharap menemukan seseorang yang bisa menerangi hidupnya mungkin tidak salah. Sedetik kemudian Kirana merasakan ada seseorang yang duduk di sampingnya. Desah kesal pun terembus dari mulutnya. Mau apa lagi sih dia? “Arsen ....” Ucapan Kirana mengambang di udara saat dia menoleh dan menemukan pria yang sangat tidak ingin dilihatnya. “Mas Gala.” Sengatan keterkejutan memicu Kirana bangkit dari duduk. Iris cokelatnya yang menggelap menatap tajam Gala. “Kirana, kita perlu bicara,” tutur Gala. Kirana menggeleng. “Tidak.” Memutuskan dengan cepat, Kirana berniat segera menghindar. Namun, langkahnya tertahan oleh Gala. Pria berusia 30 tahun itu berhasil meraih dan mencekal tangan Kirana. Kirana melemparkan tatapan marahnya pada Gala. “Apa Mas belum puas sudah mengambil semua hakku dan almarhum Mas Altair? Apa kematian Papa dan Mas Altair belum cukup? Aku tidak mau bicara lagi sama Mas. Tidak sekarang atau pun nanti.” Kirana menepis tangan Gala dari tangannya dengan kasar. Namun, Gala tetap menahan dan tidak melepaskan. “Mas!” Tatapan memperingatkan Kirana terlempar ke arah Gala. “Delapan tahun komunikasi kita mati. Aku hanya mau—“ “Kalau Mas mau minta maaf, sudah basi,” potong Kirana dengan ketus. “Aku dan Mama tidak akan memaafkan perbuatan Mas pada kami.” Gala berdiri. Tubuh tinggi atletisnya menjulang di hadapan Kirana sehingga Kirana harus sedikit mendongak untuk memandangnya. “Aku tidak akan pernah meminta maaf atas perbuatanku. Asal kamu tahu, aku hanya mengambil hakku. Papamu memang pantas mendapatkan hasil dari perbuatannya sendiri. Yang ingin kubicarakan denganmu tidak ada hubungannya dengan permintaan maaf atau pun papamu. Aku hanya ingin memenuhi janjiku pada Altair,” aku Gala seraya menunjukkan arogansi kekuasaannya. “Janji apa?” “Menjadikanmu istriku.” Apa??? Mata bening Kirana melebar. Denyut kaget yang menyulut rasa nyeri merayap ke punggung dan seluruh nadi. Seketika udara di sekitarnya menjadi terasa sangat dingin dan membekukan tubuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD