Bab2 -Berbohong

1900 Words
Tidak bisa menolak karna tidak ada pilihan selain mengikuti kemauan Va’as. Caca tak pulang karna Va’as tidak mengijinkannya. Va’as akan mengantar Caca jika urusan dengan maminya telah selesai. Dan sekarang di sini. Caca terdiam mengamati kaki Va’as yang dibalut kain kassa. Bentuk balutannya gede dan tentunya kurang rapi. Kening Caca sampai berlipat karna merasa ragu dengan kain kassa itu. ‘Ini dokternya dokter praktek? Masa’ balut kaki retak udah mirip mendoan kebanyakan tepung sih?’ batin Caca, tak beralih tatap dari kaki Va’as yang diselonjorkan di sofa. “Kenapa? Baru tau, kalau perbuatanmu itu merugikan orang lain?” Va’as menghela nafas dan menidurkan kepala ke badan sofa yang kecil. Caca tak berkomentar, dia menatap ke lain arah dengan kepala yang disandarkan di badan ranjang. ‘Empuk banget.’ Batin Caca saat menyadari jika ranjang yang dipakai ini begitu lebar dan kasurnya jauh berbeda dari kasur yang ada di kamarnya. “Tidurlah, besok pagi kamu harus sudah siap dengan tanggung jawabmu.” Va’as beranjak dari sofa. Melangkah keluar dari kamar besar ini setelah melirik Caca sekilas. Karna memang hanya berpura-pura, jadi Va’as berjalan pincang agar Caca memang percaya jika dia adalah korban yang terluka parah. Seperginya Va’as, Caca mulai memegangi saku jaket untuk mencari barang penting milik mama Tari. Wajahnya berubah khawatir karna barang dan sisa uangnya tak ada di saku jaket. Dia memejamkan kedua mata, mengingat kejadian sebelum dia pingsan. ‘Ya Allah, kalau aku dibawa ke sini, terus motorku gimana?’ batinnya setelah mengingat semua. Caca mulai menyibak selimut, menurunkan kaki dari ranjang. caca meringis ketika seluruh tubuhnya terasa nyeri dan sakit. Efek jatuh kan memang seperti ini. Dia menyibak gorden yang ada tak jauh dari ranjang, mendekik saat tau jika sekarang ini dia ada di gedung yang tinggi. ‘Jadi aku benar-benar ada di rumahnya pak Jalvar?’ tanyanya dalam hati. ** Pagi menyapa. Va’as keluar dari kamar dengan pakaian rapi. Seperti janjinya ke mami Iren, hari ini dia akan membawa pulang seorang kekasih. Va’as menatap pintu kamar yang ditempati Caca, melangkah mendekat dan mulai mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Tangannya baru akan mengetuk, tapi pintu bercat cokelat ini sudah dibuka dari dalam. Untuk beberapa detik keduanya saling bertatapan. Tak ada sapaan atau sepatah kata pun, hanya saling memerhatikan satu sama lain. Detik kemudian Va’as melengos, menatap ke lain arah dengan sentaan nafas kasar. “Sudah baikan?” Caca menganggukkan kepala karna memang merasa sudah lebih baik. “Yasudah, ayo berangkat,” ajaknya. Dia balik badan, mengambil kunci motor yang tergantung di samping tv dan melangkah lebih dulu. Kedua mata Caca melotot, awas menatap kedua kaki Va’as yang berjalan normal, tidak pincang seperti semalam. ‘Emang kaki retak bisa sembuh dalam semalam?’ tanyanya dalam hati. “Caca, Cepat!” Teriakan di ruang tamu sana membuat Caca terlonjak. Caca langsung melangkah lebar menyusul Va’as. ** Tepat di depan rumah besar bak istana Caca turun dari mobil sport hitam milik Va’as pribadi. Kedua mata tak kedip, bahkan sampai lupa bernafas melihat halaman luas yang tak bisa lagi diukur dengan jari. “Ayo masuk,” ajak Va’as. Dia melangkah lebih dulu menaiki undakan menuju jalanan berpaving merah tua yang di apit oleh tanaman bunga. Teras rumahnya masih ada di depan sana. “Hey!” Seruan yang membuat Caca terlonjak kaget. Dia langsung bergerak, mengikuti langkah Va’as. Berbeda dengan lelaki lain yang selalu membawa gadis pilihan terbaik dengan dandanan yang paling cantik. Va’as justru membelikan baju yang tak lagi hits di jaman sekarang. Penampilan Caca juga teramat biasa dan tanpa memakai make up. Rambut Caca yang berombak hanya diikat kuda dengan poni yang hampir menutup mata. “Mi,” sapa Va’as begitu masuk ke ruang tamu. Mami Iren tak begitu peduli dengan sapaan itu. Dia justru menatap fokus pada Caca yang muncul di belakang Va’as. Gadis itu tersenyum canggung dengan kepala yang sedikit membungkuk. Tatapan mami Iren meneliti, mulai dari ujung rambut sampai ujung sepatu flat yang Caca pakai. Dilihat dari penampilan ini, sudah cukup menunjukkan jika yang dipilih Va’as adalah gadis miskin dan tidak berpendidikan tinggi seperti pilihannya. “As,” seru mami Iren. Wajahnya masih terlihat syok. Va’as melirik Caca. “Uumm, dia … dia gadis yang aku maksud,” katanya dengan suara tertahan. Dengan tubuh yang gemetar karna merasa ciut nyali, Caca tetap berusaha untuk tersenyum manis. Tangan kanannya terulur mengajak mami Iren untuk berjabatan. “Nama saya Caca, tante.” Caca memperkenalkan diri dengan tangan yang gemetar. Menit berlalu karna tangan itu tak mendapatkan respon, Caca menariknya lagi dengan harga diri yang terasa tak lagi berharga. Dia menunduk memegangi tali tas lusuhnya. Va’as tersenyum dalam hati. Karna rencana untuk membuat maminya bungkam telah berhasil. “Apa aku bilang. Mami pasti tidak akan menyukai gadis pilihanku,” katanya dengan wajah dibuat sekecewa mungkin. “As,” seru mami Iren. Va’as meraih tangan Caca, menggenggamnya. “Aku hanya mau dia, tak mau yang lain. Kalau mami nggak menyetujuinya, jangan paksa aku untuk menerima pilihan mami. Karna jika tidak dengan dia, aku tidak akan mau menikah.” Tau jika memang ini hanya akting, jadi Caca tidak begitu peduli. Dia justru takut saat melihat wajah syok mami Iren yang seperti akan menemui ajal. “As ….” Mami Iren menggelengkan kepala dengan d**a yang bergerak naik turun. Va’as menatap ke lain arah. “Aku serius,” katanya lantang dengan begitu meyakinkan. Mami Iren memegangi lengan tangan anak lelakinya. “Pikirkan lagi, As. Kamu ini seorang pemilik perusahaan besar. Bisnis keluarga kita mendunia sampai ke luar negri. Apa kata orang kalau sampai kamu menikah dengan … dengan gadis sepertinya?” Va’as meneguk ludah sampai jangkunnya bergerak naik turun. Dia sendiri juga bingung akan bagaimana. Yang pasti dia tidak memiliki ketertarikan ketika melihat gadis-gadis yang dibawa maminya. Dan sampai saat ini dia belum bisa memiliki perasaan suka pada wanita, tapi bukan berarti dia menyukai pria. Karna dia juga masih bisa dibilang normal. “Va’as,” panggil mami Iren. Mami melirik Caca prihatin. Sungguh, tak ada yang menarik sama sekali. Bagaimana bisa anaknya menyukai gadis seperti ini? “Aku sudah pernah menidurinya, Mi.” “APA?!” “Ukuh! Uhuk! Uhuk!” reflek banget Caca terbatuk. Dia tersendak ludahnya sendiri. Satu tangannya menepuk d**a dengan wajah memerah. Dia melirik Va’as, kaya’ pengen protes tapi nggak bisa. Va’as balas melirik Caca yang mukanya memerah. Lalu mengulum bibir sembari memikirkan kalimat terakhir yang dia lontarkan tadi. ‘Apa yang itu terlalu berlebihan?’ batin Va’as. ‘Bukankah hanya menidurinya? Tidak membuatnya hamil, kan?’ “Astaga, anakku ….” Mami Iren memegangi kepala yang jadi berdenyut. Dia mundur, mendudukkan diri di sofa dengan kepala yang seperti tertimpa burung unta. Va’as melepaskan tangan Caca dari genggamannya. Dia mendekati maminya, jongkok di sebelah sofa sembari memerhatikan wajah sedih mami Iren. “Jangan paksa aku menikah dan memilih salah satu di antara anak teman-teman mami. Karna aku tidak akan memilih mereka. Aku tidak masalah jika mami tidak menyukai Caca. Tidak menikah pun tak masalah, yang terpenting mami tau kalau aku ini lelaki normal dan … dan sebenarnya juga punya pilihan.” Va’as menghela nafas setelah mengatakan kalimat panjangnya. Mami Iren tak menyahut. Dia memejamkan mata memikirkan nasib keluarga kedepannya. Tidak mengijinkan Va’as menikah dan terus-terusan meniduri anak gadis orang? Itu salah! “Yasudah, Mi. Aku sama Caca pamit. Aku mau antar dia pulang karna dia tidak pulang sejak kemarin.” “Tidak pulang bagaimana?” tanya mami Iren, menatap curiga ke Va’as. “Nginep di apartemenku.” Dengan begitu santai Va’as menjawabnya. “Astaga,” seru mami Iren. Dia membekap mulut untuk keterkejutan yang entah keberapa. Va’as tersenyum tanpa dosa. Tangannya bergerak menyentuh bahu maminya. “Sudah biasa, Mi. Uumm, makanya aku jarang pulang.” katanya, sok jujur. Dada mami Iren benar-benar dibuat melopat. Dia sampai tak bisa berkata-kata dengan kelakuan anaknya ini. Padahal sejauh ini mami Iren selalu mengawasi Va’as, tapi ternyata tetap tak bisa sepenuhnya menjaga anaknya agar tetap di jalan yang lurus. “Pamit, Mi.” Va’as beranjak, balik badan dan tersenyum penuh kemenangan ketika Caca menatapnya. Dia memberi kode ke Caca untuk keluar. Caca melirik ke arah mami Iren lebih dulu, lalu mulai melangkah keluar dengan rasa bersalahnya. Iya sih yang punya niat bohong si Va’as, tapi Caca juga turun andil dalam kebohongan ini. “Baik, mami akan mengurus pernikahan kalian.” “Hah?!” kali ini Va’as yang memekik dengan wajah terkejut luar biasa. Tak terkecuali Caca yang melotot dengan mulut mengaga. “Pernikahan?!” Va’as kembali mendekati mami Iren yang masih duduk di sofa. “Mami … mami serius?” tanyanya, tentu saja tak percaya. Mami Iren melirik ke arah Caca yang ada di ambang pintu sana. Lalu beranjak berdiri dan memegangi tangan Va’as. “Kaya’ yang mami bilang di telpon. Kalau kamu suka, mami akan berusaha menyukainya. Apa lagi … kamu sudah beberapa kali menidurinya. Bagaimana jika nanti ada cucu mami yang nyelip di dalam rahimnya, As?” Kali ini wajah Va’as berubah jadi frustasi. “Enggak akan ada yang menyelip, tante.” Caca yang menyahuti, karna dia sendiri tidak mau terjebak pernikahan dengan seorang boss seperti Va’as ini. Mami Iren menatap lekat wajah Caca yang jika dilihat, semakin lama semakin terlihat manis. “Kalian selalu memakai balon?” “Hah,” pekik Caca, dia meremas tali tas dengan wajah yang kebingungan. Tau sih maksudnya mami Iren adalah kon’dom itu, tapi … yang bener aja? Cckk, bohongnya si Va’as kelewatan! Mami Iren mengusap lembut lengan Va’as yang tertutup kemeja abu-abu. “Sudah, mami nggak masalah jika dia yang kamu pilih. Yang penting kamu bahagia, itu yang mami prioritaskan. Antarkan dia pulang, sekalian bilang ke keluarganya kalau rabu besok kita akan datang melamar.” Jantung Caca seperti berhenti berdetak. Dia tak kedip dengan mulut yang semakin mengaga. Takdir apa ini? Keluar malam untuk beli jarum sama benang jahit. Kenapa dapatnya malah calon suami? ** Di sepanjang perjalanan Va’as tak henti memukuli stir mobil. Dia terjebak oleh rencananya sendiri. Sungguh, dia belum tertarik dengan yang namanya wanita. Dia ingin menduduki puncak lalu melakukan apa pun yang dia mau tanpa adanya ikatan pernikahan yang pasti akan menjeratnya. Sengaja memilih Caca karna tau maminya tak menyukai kadis kampungan dan tidak modis begini. Tapi siapa sangka justru maminya menyetujui dan malah menginginkan pernikahan yang secepatnya. “Pak,” seru Caca, melirik Va’as yang fokus menatap jalanan dengan rahang mengeras. “Saya sudah melakukan seperti yang pak Jalvas katakan. Kalau akhirnya begini, saya harus bagaimana, Pak?” Va’as memejamkan mata sebentar. “Kita menikah saja.” “Hah?!” Caca benar-benar memekik, sangat terkejut. Va’as jadi menoleh, menatap wajah Caca yang terlihat tak setuju. “Kenapa?” Caca menggelengkan kepala. “Tidak. Saya tidak mau menjadi istri pak Jalvas.” Tolaknya tanpa ragu. Va’as langsung menghentikan mobil mendengar ada gadis yang menolaknya. Sangat beruntung karna jalanan sepi, jadi tidak mengganggu pengguna jalan yang lainnya. Lekat Va’as menatap wajah Caca. “Kenapa tak mau menikah denganku?” “Karna saya tidak mencintai pak Jalvas. Pak Jalvas itu bukan type lelaki yang saya sukai.” “Apa?!” jawaban yang benar-benar membuat rahang Va’as semakin mengeras. Gadis sejelek Caca menolaknya? Lebih parahnya Caca bilang kalau sesempurna dia bukan type cowoknya? Ini penghinaan. “Tak ada penolakan! Kamu akan tetap menikah denganku!” “Pak, saya tidak mau—” pekik Caca. “Aku akan membuangmu di hutan sss kalau sampai kamu menolakku!” tak peduli wajah Caca yang tetap akan protes, Va’as kembali menginjak gas dan melajukan mobil. Caca jadi menghela nafas dengan bibir mengerucut. Dia menjatuhkan kepala ke badan kursi menahan kesal yang tak bisa diungkapkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD