KB - TIGA

1043 Words
Hari Rafa dimulai sejak jam lima subuh. Setelah bangun, dia akan berjalan – jalan ke dermaga besar di dekat apartemennya. Menyambangi pasar sana. Menunggu diam. Siapa tahu ada yang membutuhkan tenaganya untuk sekedar sarapan atau malah untuk beberapa keping uang. Hari ini cuaca mendung, jadi tak banyak orang datang yang membutuhkan jasanya. Jika biasanya dia bisa mendapat lumayan, cukup untuk makan seminggu, maka kali ini, dia hanya mendapatkan cukup untuk makan seharian ini. Kesal, tapi dia bisa apa? “Bersyukur! Banyak yang lebih tak beruntung daripada dirimu.” Kata nyonya yang paling terakhir  menggunakan jasanya pagi ini. Bersyukur apanya! Mereka yang dibilang nyonya itu masih punya keluarga, kan? Masih punya orang yang disayang dan menyayangi mereka. Masih punya tempat yang mereka sebut rumah, Jadi di sini siapa yang lebih beruntung sebenarnya?! Terlebih, mereka nggak ada yang mengutuk, seperti dirinya! Rafa menyambar uang yang disodorkan oleh nyonya tersebut dan berlalu pergi. Membuat Nyonya paruh baya tersebut kaget dan memakinya. “Dasar anak muda nggak ada sopan santunnya! Sama orang tua nggak ada hormat – hormatnya. Hih, jadi bikin bete pagi – pagi!” Perbuatan kecil yang menular dan bisa membuat hari seseorang jadi hancur. Kindness. Rafa kehilangannya. Hatinya sudah mati karena kekecewaan, keputusasaan, dan kesedihan yang menghampirinya secara bertubi – tubi. Tak ada gairah, semangat serta tujuan yang membimbing langkahnya. Sekarang, tubuhnya hanya bergerak secara otomatis seperti robot. “Rafa, nggak sarapan dulu?!” Seorang wanita paruh baya penjual nasi campur yang setiap pagi menjajakan dagangannya dengan mengayuh sepeda menyapanya. Rafa adalah salah satu pelanggan tetapnya. Dulu. Rafa hampir setiap pagi menunggu wanita tersebut untuk membeli nasinya diam – diam. Ya, Amora tak suka dia memakan makanan seperti itu. Menurutnya, makanan itu adalah makanan orang susah.Sebagai gantinya, Amora menyiapkan sarapan berupa roti, kentang, mie, dan segala macamnya yang bagi Rafa sama sekali tak memenuhi syarat sebagai makanan yang bisa mengenyangkan perut. Baginya, itu semua seperti snack yang cepat dicerna dan membuatnya kembali lapar. Dia memiliki pekerjaan yang berat, jadi membutuhkan tenaga yang besar juga. Itu yang gagal dipahami oleh Amora. Tapi sudah seminggu belakangan Rafa tak lagi membeli nasi campur tersebut. Entahlah, tubuhnya tak terasa lapar. Makan bukanlah prioritas utamanya. Dia makan hanya sebagai syarat untuk bertahan hidup. Yang jika ditilik kembali, alasan tersebut pun sia – sia. Untuk apa dia hidup? “Ra…” “Adoh, cerewet! Nggak beli! Lagi nggak pengen!” Sentaknya saat wanita tersebut berusaha memanggil kembali karena panggilan pertamanya diabaikan begitu saja. Si wanita paruh baya penjual nasi campur itu pun tertunduk sedih. Di dalam kepalanya dia bertanya – Tanya. Apa yang membuat pelanggannya yang dulu gemar sekali makan nasi campurnya, sekarang hampir tak pernah lagi membeli? Apakah ada desas – desus tentang nasi campurnya yang dia tak tahu? Atau adakah rasanya yang sekarang mulai berbeda? Atau harganya? Padahal dia sudah tak menaikkan harganya selama dua tahun terakhir ini meskipun bahan – bahan untuk menyiapkan nasi campur semuanya naik di pasaran. Dia beranjak menuntun sepedanya pergi dari sana dengan wajah murung. *** Dari balik awan, Serafina melihat semuanya. Dia hanya bisa menggeleng pasrah. Ingin sekali dia membantu, tapi Bidadari Agung belum mengijinkan. Dia tau, Bidadari Agung melakukan ini demi kebaikannya. Energinya belum terisi kembali. Perlu sekitar sepuluh hingga lima belas hari waktu manusia untuk memulihkan tenaga Peri Bidadari. Dan perlu setidaknya sebulan untuk membuat semua energy terisi penuh dan dapat menggunakan kekuatannya secara maksimal. Dia baru saja pulang melaksanakan misi yang cukup berat. Kantong energinya tidak sampai habis. Tapi jelas terkuras hingga batasnya. “Nymph.” Panggilnya pada sahabatnya yang sedang memandangi cakrawala di ujung lain jendela rumah mungil mereka. “Hmm?” Temannya itu sedang agak sebal karena sedari tadi Serafina hanya sibuk menunduk memperhatikan dunia bawah. Agak jarang mereka bisa menghabiskan waktu berdua begini setelah mereka beranjak dewasa dan melakukan tugas mereka sebagai peri dengan seutuhnya. Seringnya, Nymphadora bertugas saat Serafina beristirahat, dan begitu pula sebaliknya. Momen jarang seperti ini, bukankah mereka seharusnya melakukan sesuatu bersama? Tapi yang dilakukan Serafina sedari tadi hanya memadangi dunia bawah dari lingkarang yang dibukanya terus – menerus. Tidakkah Serafina tahu bahwa hal kecil begitu pun bisa menyerap energinya walaupun tak banyak?! “Apa yang terjadi saat kau sedang bertugas dan tiba – tiba energimu habis di bawah sana?” Nymphadora tersentak. Kepalanya yang berwarba biru tosca terang itu menoleh cepat pada sahabatnya yang duduk di lantai sambil memeluk lututnya. “Kau serius tak tahu apa yang terjadi setelahnya?” Mata besar serafine yang dibalut bulu mata senada dengan rambutnya mengerjap pelan. “Nymph, jika aku tahu, aku tak akan bertanya tentu saja. Apa yang akan terjadi? Kau tak ingin bilang padaku, makanya kau hanya diam saja?” Astaga, demi Bidadari Agung yang penuh belas kasih. Bukan begitu maksud Nymph. Bukan dia tak ingin menceritakannya pada Serafina. Tapi, tidakkah sahabatnya itu tahu bahwa membicarakan hal itu dilarang di sini? Karena hanya akan menyebabkan ketakutan. Dan rasa takut dan sedih tak diperbolehkan di ada di sini. “Nymph? Aku menunggu.” Nymphadora menggeleng pelan. “Maaf, Serafina. Kurasa, kau harus mencaritahunya sendiri. Di sini kita dilarang membicarakan hal itu. Akan ada hukuman serius yang menunggu apabila kita melanggar. “Hukuman serius? Hukuman semacam apa?” Ah, temannya ini. Apakah dia benar – benar tak tahu? “Sera, bagaimana kalau kita berhenti membicarakannya dan melakukan hal lain yang menarik?” Nymphadora mengusulkan dengan putus asa. Serafina menelengkan kelapanya. “Seperti apa?” “Ah….” Dia terdiam. Mencari – cari sesuatu yang mungkin membuat sahabatnya ini tertarik. Serafina bukanlah peri yang memiliki hobi. Dia cinderung penyendiri meskipun dia tak akan canggung jika berkumpul dengan kawanan peri lainnya. Jadi, hal yang sangat menarik baginya, haruslah yang benar – benar menarik baginya. “bagaimana kalau berjalan – jalan di sekitar air terjun cahaya? Melihat peri yang bertugas membuat pelangi bersiap dan meluncur melaksanakan tugasnya.” “Kita sudah melihatnya berkali – kali. Apa menariknya hal itu?” “Lalu menurutmu apa yang harus kita lakukan di hari libur kita ini? Jarang sekali bukan, kita memiliki hari libur yang sama. Dan kita sudah jarang juga menghabiskan waktu bersama.” Mata Serafina berbina, membuat harapan Nymphadora melambung. Usahanya sukses! “Betul sekali! Kitas udah jarang melakukannya. Jadi bagaimana kalau kau menceritakan apapun yang kau tahu tentang energi peri dan aku akan mendengarkamu dengan baik. Terdengan menyenangkan, bukan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD